Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Mahkamah Agung Soroti Dugaan Spionase ByteDance, TikTok Bakal Dijual di AS?

Mahkamah Agung Soroti Dugaan Spionase ByteDance, TikTok Bakal Dijual di AS?

Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Agung Amerika Serikat berpeluang besar mendukung penerapan undang-undang yang mengarah pada penutupan atau penjualan aplikasi TikTok, aplikasi video pendek populer yang dimiliki oleh perusahaan China, ByteDance.

Kemungkinan ini dikarenakan kekhawatiran mengenai potensi ancaman terhadap keamanan nasional, dengan sejumlah hakim mempertanyakan apakah aplikasi tersebut dapat dieksploitasi oleh pemerintah China untuk memata-matai warga Amerika atau melakukan operasi pengaruh.

Melansir dari Reuters, Minggu (12/1/2025) pada sidang yang berlangsung lebih dari 2 jam sembilan hakim Mahkamah Agung mendalami argumen mengenai undang-undang yang disahkan Kongres AS yang mewajibkan TikTok untuk divestasi atau dilarang beroperasi di AS. 

Pemerintah AS berpendapat bahwa undang-undang tersebut perlu ditegakkan demi melindungi data pribadi warga negara dari potensi penyalahgunaan oleh pemerintah Tiongkok, yang memiliki kendali atas ByteDance.

Ketua Mahkamah Agung, John Roberts, mengajukan pertanyaan kritis kepada pengacara TikTok, Noel Francisco, mengenai potensi ancaman yang ditimbulkan oleh hubungan antara ByteDance dan pemerintah China. 

“Apakah kita seharusnya mengabaikan fakta bahwa induk utama, pada kenyataannya, tunduk pada pekerjaan intelijen untuk pemerintah Tiongkok?” tanyanya. 

Sejumlah hakim konservatif, termasuk Brett Kavanaugh, menyoroti risiko jangka panjang dari pengumpulan data pengguna TikTok, khususnya terkait dengan generasi muda yang sangat aktif di aplikasi tersebut. 

Kavanaugh menekankan potensi penggunaan informasi pribadi untuk tujuan spionase atau manipulasi dalam jangka panjang.

“informasi tersebut dari waktu ke waktu untuk mengembangkan mata-mata, untuk mengubah orang, untuk memeras orang – orang yang satu generasi dari sekarang akan bekerja di FBI atau CIA atau Departemen Luar Negeri,” ucapnya.

Di sisi lain, pihak TikTok dan penggunanya berargumen bahwa undang-undang tersebut melanggar perlindungan Amandemen Pertama terhadap kebebasan berbicara, dengan menekankan bahwa aplikasi ini adalah salah satu platform komunikasi paling populer di AS. 

Francisco berpendapat bahwa undang-undang ini mengancam kebebasan berbicara, dengan menyatakan bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk membatasi pidato warga Amerika yang berinteraksi di platform tersebut.

Mengutip sikap Trump terhadap kasus tersebut, Francisco meminta para hakim untuk menunda sementara undang-undang tersebut.

“yang akan memungkinkan Anda untuk mempertimbangkan dengan saksama masalah penting ini dan, untuk alasan yang dijelaskan oleh presiden terpilih, berpotensi untuk membatalkan kasus tersebut,” ujarnya.

Namun, para jaksa mengungkapkan kekhawatiran bahwa data yang dikumpulkan oleh TikTok dapat digunakan oleh China untuk tujuan spionase dan operasi pengaruh yang dapat membahayakan keamanan nasional.