Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menilai bahwa pemerintah perlu mengkaji dengan cermat sebelum mengumumkan soal kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12% di awal 2025.
Rizal mengatakan bahwa penerapan tarif PPN 12% pada barang-barang mewah akan mendorong penerimaan negara.
Peningkatan aktivitas ekonomi dan konsumsi masyarakat menjadi pendorong utama kenaikan penerimaan. Namun, belum ada rincian khusus mengenai kontribusi tarif PPN untuk barang mewah.
“Penerapan PPN 12% untuk barang mewah merupakan langkah strategis yang bertujuan meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani mayoritas masyarakat,” ucapnya, Sabtu (14/12/2024).
Rizal menyebut bahwa kebijakan ini mencerminkan pendekatan selektif, di mana barang kebutuhan pokok, utilitas dasar, dan layanan publik seperti pendidikan serta kesehatan tetap bebas pajak.
Dengan demikian, kata Rizal pemerintah menunjukkan upaya melindungi daya beli masyarakat kelas menengah dan bawah. Apalagi tahun depan harus dilakukan perhatian lebih terhadap capaian konsumsi rumah tangga yang tinggi.
Namun demikian, Rizal melanjutkan bahwa kebijakan ini tidak lepas dari risiko. Peningkatan tarif pada barang mewah dapat menekan konsumsi barang-barang tersebut, terutama di sektor otomotif premium dan perhiasan, yang berpotensi memengaruhi pendapatan sektor terkait.
Selain itu, dia mengatakan bahwa jika tidak diimplementasikan dengan tepat, kebijakan ini dapat memicu persepsi ketidakadilan, terutama jika cakupan barang yang dikenakan PPN 12% tidak jelas atau berubah-ubah.
Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa penting bagi pemerintah untuk memastikan kebijakan ini disosialisasikan dengan baik dan diterapkan secara konsisten.
“Transparansi mengenai alasan pemilihan barang yang dikenakan PPN 12% dan pengawasan pelaksanaannya harus diutamakan, agar tidak menimbulkan ketidakpastian di pasar,” ucapnya.
Tidak hanya itu, dia mengatakan bahwa langkah ini juga harus didukung oleh evaluasi berkala untuk memastikan dampak positif lebih besar daripada potensi efek negatifnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa pemerintah bakal mengumumkan soal kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di awal 2025 pada pekan depan, Senin (16/12/2024).
Hal itu diungkap Airlangga usai menggelar rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto bersama dengan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Jumat (13/12/2024).
“Ini akan dimatangkan lagi, perhitungannya difinalisasi, akan diumumkan hari Senin jam 10. Nanti diundang,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/12/2024).
Airlangga mengatakan bahwa pemerintah bakal ikut mengumumkan sejumlah paket kebijakan ekonomi lain, sekaligus mengumumkan perincian kebijakan PPN 12%.
Adapun mengenai payung hukum peraturan teknis amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu bakal dituangkan dalam dua peraturan, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) serta Peraturan Pemerintah (PP).
“Payung hukumnya ada PMK, ada yang PP,” ungkap Politisi Partai Golkar itu.
Airlangga memastikan bahwa kenaikan tarif PPN tidak bakal berdampak ke bahan pokok penting, karena sejatinya bahan pokok penting tidak terkena PPN.
Pria yang pernah menjadi Menteri Perindustrian itu irit berbicara terkait dengan kebijakan PPN 12% yang akan diumumkan pekan depan.
“Nanti diumumkan di kantor Kemenko. Nanti kami undang,” pungkasnya.
Untuk diketahui, kenaikan tarif PPN menjadi 12% adalah amanat dari UU HPP yang diteken pada 2021. Sebelumnya, kenaikan PPN dari 10% ke 11% sudah lebih dulu diterapkan pada April 2022.