Jakarta: Jaksa Agung ST Burhanuddin mengeluarkan pernyataan tegas yang menjadi sorotan publik. Burhanuddin menegaskan bahwa haram bagi jaksa untuk melimpahkan kasus pengguna narkoba ke pengadilan. Sebaliknya, bagi pengedar dan bandar narkoba, ia memastikan tuntutan hukuman mati akan terus dilakukan.
Menurut Burhanuddin, langkah ini merupakan bagian dari dukungannya terhadap penerapan keadilan restoratif atau restorative justice bagi korban penyalahgunaan narkoba. Pengguna narkoba harus dilihat sebagai korban, bukan pelaku kriminal.
“Untuk restorative justice, kami khususnya haram bagi jaksa untuk melimpahkan ke pengadilan bagi pengguna,” tegas Burhanuddin di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis 5 Desember 2024.
Baca juga: 2.900 Kampung Narkoba akan Diubah Menjadi Kampung Bebas Narkoba
Pendekatan Restoratif, Tapi Toleransi Nol untuk Bandar
Burhanuddin menyebut, pendekatan ini sesuai dengan amanat undang-undang yang mengklasifikasikan pengguna narkoba sebagai korban. Namun, ia menekankan sikap zero tolerance terhadap pengedar dan bandar narkoba.
“Jaksa penuntut umum sudah lima tahun ini melakukan zero tolerance. Kami melakukan penuntutan maksimal, dan setiap bulan kami menuntut hukuman mati untuk 20 hingga 30 perkara,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya koordinasi antara jaksa dan hakim dalam menerapkan hukuman maksimal kepada bandar narkoba, agar putusan pengadilan benar-benar mencerminkan ketegasan hukum.
Polemik: Solusi atau Kontroversi?
Pernyataan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, pendekatan restorative justice bagi pengguna dianggap sebagai langkah manusiawi dan efektif dalam memulihkan korban narkoba tanpa membebani sistem peradilan. Namun, di sisi lain, tuntutan hukuman mati bagi bandar menuai kritik dari sejumlah pihak yang menilai kebijakan ini tidak menyelesaikan akar permasalahan peredaran narkoba.
Jakarta: Jaksa Agung ST Burhanuddin mengeluarkan pernyataan tegas yang menjadi sorotan publik. Burhanuddin menegaskan bahwa haram bagi jaksa untuk melimpahkan kasus pengguna narkoba ke pengadilan. Sebaliknya, bagi pengedar dan bandar narkoba, ia memastikan tuntutan hukuman mati akan terus dilakukan.
Menurut Burhanuddin, langkah ini merupakan bagian dari dukungannya terhadap penerapan keadilan restoratif atau restorative justice bagi korban penyalahgunaan narkoba. Pengguna narkoba harus dilihat sebagai korban, bukan pelaku kriminal.
“Untuk restorative justice, kami khususnya haram bagi jaksa untuk melimpahkan ke pengadilan bagi pengguna,” tegas Burhanuddin di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis 5 Desember 2024.
Pendekatan Restoratif, Tapi Toleransi Nol untuk Bandar
Burhanuddin menyebut, pendekatan ini sesuai dengan amanat undang-undang yang mengklasifikasikan pengguna narkoba sebagai korban. Namun, ia menekankan sikap zero tolerance terhadap pengedar dan bandar narkoba.
“Jaksa penuntut umum sudah lima tahun ini melakukan zero tolerance. Kami melakukan penuntutan maksimal, dan setiap bulan kami menuntut hukuman mati untuk 20 hingga 30 perkara,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya koordinasi antara jaksa dan hakim dalam menerapkan hukuman maksimal kepada bandar narkoba, agar putusan pengadilan benar-benar mencerminkan ketegasan hukum.
Polemik: Solusi atau Kontroversi?
Pernyataan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, pendekatan restorative justice bagi pengguna dianggap sebagai langkah manusiawi dan efektif dalam memulihkan korban narkoba tanpa membebani sistem peradilan. Namun, di sisi lain, tuntutan hukuman mati bagi bandar menuai kritik dari sejumlah pihak yang menilai kebijakan ini tidak menyelesaikan akar permasalahan peredaran narkoba.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(DHI)