Jakarta –
Seseorang yang pernah terkena COVID-19 dan masih mengalami gejala dalam enam bulan hingga dua tahun setelahnya, kemungkinan kecil ‘sembuh’ dari Long COVID. Kondisi ini dikaitkan dengan gejala yang menetap pasca terkena SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19 hingga sistem imun melemah.
Temuan baru para peneliti di Inggris dan Amerika Serikat menemukan tren kasus long COVID meningkat.
“Bagi pasien yang telah berjuang selama lebih dari dua tahun, peluang untuk pulih sepenuhnya akan sangat tipis,” kata Manoj Sivan, profesor kedokteran rehabilitasi di Universitas Leeds dan salah satu penulis temuan baru yang dipublikasikan di The Lancet.
Sivan menyebut sejumlah keluhan yang masih dialami penyintas COVID-19 adalah:
Kondisi kronis ensefalomielitis mialgik/sindrom kelelahan kronisFibromyalgia
Seseorang bahkan perlu waspada mengalami long COVID bila gejala tidak kunjung hilang lebih dari tiga bulan.
Umumnya keluhan berikut akan terus bertahan. Apa saja?
Kelelahan ekstremBrain fog atau sulit fokus pada sesuatu halSesak napasNyeri sendi
Gejalanya bisa ringan hingga sangat parah, dan belum ada tes diagnostik atau perawatan yang bisa menunjukkan diagnosis tersebut.
Satu studi di Inggris menunjukkan hampir sepertiga dari mereka yang melaporkan gejala pada 12 minggu, pulih setelah 12 bulan. Sementara yang lain, terutama di antara pasien dengan perawatan di rumah sakit, menunjukkan tingkat pemulihan jauh lebih rendah.
Dalam sebuah studi Kantor Statistik Nasional Inggris, 2 juta orang melaporkan sendiri gejala COVID jangka panjang atau long COVID pada Maret lalu. Sekitar 700.000, atau 30,6 persen di antaranya mengatakan mereka pertama kali mengalami gejala setidaknya tiga tahun sebelumnya. Secara global, perkiraan yang diterima menunjukkan 65 juta hingga 200 juta orang mengalami long COVID.
“Itu bisa berarti antara 19,5 juta hingga 60 juta orang menghadapi gangguan selama bertahun-tahun berdasarkan perkiraan awal,” kata Sivan.
Amerika Serikat dan beberapa negara seperti Jerman terus mendanai riset long COVID. Namun, lebih dari dua 24 pakar, advokat pasien, dan eksekutif farmasi mengatakan kepada Reuters bahwa dana dan perhatian untuk kondisi tersebut semakin berkurang di negara-negara kaya lain, yang secara tradisional mendanai penelitian berskala besar.
Pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, hal itu tidak pernah ada. “Perhatian telah bergeser,” kata Amitava Banerjee, seorang profesor di University College London yang memimpin uji coba besar obat-obatan yang digunakan kembali dan program rehabilitasi.
Ia mengatakan long COVID harus dilihat sebagai kondisi kronis yang dapat diobati untuk meningkatkan kehidupan pasien daripada disembuhkan, seperti penyakit jantung atau radang sendi.
“Sangat melumpuhkan,” demikian pengakuan Leticia Soares (39) dari Brasil, yang terinfeksi pada 2020 dan telah berjuang melawan kelelahan hebat dan nyeri kronis sejak saat itu.
Pada hari yang baik, ia menghabiskan waktu lima jam di luar tempat tidur. Ketika ia dapat bekerja, Soares menjadi salah satu pemimpin dan peneliti di Patient-Led Research Collaborative, sebuah kelompok advokasi yang terlibat dalam tinjauan bukti COVID jangka panjang yang diterbitkan baru-baru ini di Nature.
Soares mengatakan ia yakin pemulihan jarang terjadi lebih dari 12 bulan. Beberapa pasien mungkin mendapati gejala mereka mereda, lalu kambuh lagi, semacam remisi yang dapat disalahartikan sebagai pemulihan.
“Ini sangat melumpuhkan dan mengisolasi. Seseorang bisa menghabiskan waktu setiap kali bertanya-tanya, ‘Apakah kondisi saya akan memburuk setelah ini?'” katanya, menggambarkan pengalamannya sendiri.