Liputan6.com, Jakarta Guru Besar ilmu Hubungan Internasional dari Universitas St.Petersburg, Connie Bakrie, menyatakan perkembangan keamanan global yang makin menuju pada multipolaritas membutuhkan kekuatan seimbang untuk menciptakan stabilitas.
“Aliansi Rusia-Belarusia-China mewakili kekuatan yang tangguh untuk stabilitas regional dan keseimbangan kekuatan global,” kata Connie Bakrie dalam keterangannya, Senin (4/11/2024).
Connie menyatakan pandangannya itu disampaikan juga ketika mengikuti Konferensi Internasional tentang Keamanan Eurasia, yang berlangsung di Minsk, Belarusia, pekan lalu.
Konferensi Keamanan Eurasia itu digelar selama 2 hari, yaitu 31 Oktober sampai 1 November 2024. Konferensi tersebut dihadiri oleh perwakilan pejabat politik, keamanan, pakar dan juga analis isu pertahanan keamanan dari sekitar 30 negara.
Tujuan dari digelarnya konferensi tersebut adalah untuk mengadakan diskusi yang lebih intensif mengenai prospek masa depan keamanan di kawasan Eurasia, khususnya dalam konteks perkembangan keamanan global yang dirasa sedang mengalami krisis akibat kontradiksi politik dan militer antar negara-negara kunci dunia. Konferensi ini juga diharapkan bisa menjadi jembatan komunikasi bagi negara-negara tersebut.
Menurut Connie Bakrie, gabungan kemampuan militer, teknologi canggih, dan posisi strategis dari Rusia, Belarusia, China bisa menciptakan front yang tangguh dan solid serta mampu menantang dominasi Barat.
“Hubungan yang mendalam dengan wilayah lain di Asia, membentuk kembali dinamika strategis kawasan dan sekitarnya,” kata Connie.
Lebih lanjut, analis pertahanan militer dan intelijen itu menjelaskan bahwa saat ini ada pergeseran paradigma tatanan dunia, dari corak monosentrisme yang didominasi oleh kekuatan Barat pascaperang dingin, menjadi ke multipolar yang muncul dari kebangkitan China, Rusia, dan negara-negara lain.
Oleh karena itu, pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana cara untuk meminimalkan risiko keamanan di tengah transisi tatanan dunia yang semakin intensif tersebut.
“Bagaimana menghidupkan kembali diplomasi ketika semua pihak fokus pada penguatan militer untuk menciptakan deterrence effect?” katanya.