Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

9 Mengapa Israel dan Hizbullah Sepakat Gencatan Senjata Sekarang? Internasional

9
                    
                        Mengapa Israel dan Hizbullah Sepakat Gencatan Senjata Sekarang?
                        Internasional

Mengapa Israel dan Hizbullah Sepakat Gencatan Senjata Sekarang?
Penulis
AKHIR
September lalu, di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah sudah nyaris tercapai.
BBC
melaporkan, saat itu para diplomat Amerika Serikat (AS) dan Inggris yakin gencatan senjata akan segera terjadi.
Para pihak yang terlibat dalam perang tampaknya sudah menunjukkan kesediaannya untuk menerima gencatan senjata yang didasarkan pada ketentuan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701, yang disahkan untuk mengakhiri perang Lebanon tahun 2006. Intinya adalah Hizbullah akan mundur dari perbatasan untuk digantikan pasukan penjaga perdamaian PBB dan Angkatan Bersenjata Lebanon. Ketika pasukan PBB dan Lebanon masuk, pasukan Israel secara bertahap akan keluar.
Namun, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kemudian naik ke podium Sidang Umum PBB dan menyampaikan pidato berapi-api yang menolak gagasan gencatan senjata. Seusai sidang itu, Netanyahu kembali ke hotelnya di New York dan dari sana dia memerintahkan pembunuhan terhadap Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah, bersama dengan sebagian besar para komandannya. Fotografer resmi Netanyahu mengabadikan momen saat Netanyahu memberi perintah pembunuhan itu.
Tentara Israel kemudian menjatuhkan sekitar 80 bom ke markas bawah tanah Hizbullah di pinggiran Beirut. Nasrallah dan sejumlah komandannya tewas. Rancangan kepakatan gencatan senjata itu pun buyar. Pembunuhan Nasrallah merupakan eskalasi besar dan pukulan telak bagi Hizbullah.
Dalam beberapa minggu setelahnya, militer Israel telah menimbulkan kerusakan besar pada organisasi militer Hizbullah. Kelompok itu memang masih menembakkan sejumlah roket ke perbatasan dan para kombatannya terus melawan pasukan invasi Israel. Namun Hizbullah bukan lagi ancaman besar bagi Israel.
Pada 26 November ini, Israel dan Hizbullah akhirnya menyepakati gencatan senjata selama 60 hari setelah lebih dari setahun terlibat konflik multifront.
Isi kesepakatan itu sama dengan rencangan yang gagal disepapakti akhir September itu, yaitu bahwa Israel akan secara bertahap menarik pasukannya dari Lebanon, dan Hizbullah akan sepenuhnya mundur ke sebelah utara Sungai Litani. Sementara itu, Angkatan Bersenjata Lebanon akan menempatkan pasukannya dan mengendalikan wilayah mereka sendiri. Presiden AS, Joe Biden, mengatakan bahwa AS, Prancis, dan sekutu lainnya telah berjanji untuk mendukung kesepakatan itu.
Profesor studi sejarah dan perdamaian di Universitas Notre Dame AS, Asher Kaufman, dalam artikelnya di
The Conversation US
 menjelaskan bahwa gencatan senjata itu terjadi karena bertemunya kepentingan Israel, Hizbullah, dan Iran – sponsor utama Hizbullah. Namun, walau kepentingan mereka bertemu, alasan mereka berbeda-beda.
 
Kaufman yang merupakan pakar konflik Lebanon dan perbatasan di Timur Tengah itu menjelaskan, bagi pemerintah Israel, masalah domestik turut berperan dalam pertimbagan untuk gencatan senjata itu. Pertama, Angkatan Pertahanan Israel (IDF) telah merasa kelelahan setelah lebih dari setahun berperang. Hal ini terutama dirasakan pasukan cadangan Israel, yang semakin banyak yang tidak hadir bertugas. Masyarakat umum Israel juga lelah dengan konflik itu. Mayoritas dari mereka mendukung gencatan senjata dengan Hizbullah.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga mempunyai masalah internal dalam pemerintahannya yang harus diatasi. Netanyahu mendapat tekanan dari sekutu ultra-Ortodoks dalam koalisi yang berkuasa untuk menyusun undang-undang yang mengecualikan orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks dari wajib militer.
Menurut Kaufman, meredakan ketegangan di perbatasan Lebanon akan mengurangi kebutuhan Israel akan pasukan aktif. Hal itu dapat membantu dalam mengatasi ketidakpuasan kelompok sekuler dan nasional-religius di IDF dan tidak setuju dengan pengecualian wajib militer untuk para pria ultra-Ortodoks. Jika perang dengan Hizbullah berakhir, kelompok tersebut mungkin lebih cenderung menerima kebijakan pengecualian itu.
Dari perspektif tentara Israel, kata Kaufman, perang di Lebanon semakin mencapai titik di mana hasilnya semakin kurang bernilai. Perang itu berhasil melemahkan posisi militer Hizbullah, tetapi tidak mampu menghancurkan kelompok itu sepenuhnya.
BBC
melaporkan, Netanyahu menyatakan keberhasilan operasi militer merupakan salah satu dari beberapa faktor yang meyakinkannya bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk berhenti. Agenda Israel di Lebanon memang lebih terbatas dibandingkan di Gaza dan wilayah pendudukan Palestina lainnya. Israel hanya ingin mengusir Hizbullah dari perbatasan utaranya sehingga memungkinkan warga sipil Israel kembali ke kota-kota dekat perbatasan.
Jika Hizbullah suatu saat terlihat sedang mempersiapkan serangan, Israel mengantongi surat persetujuan tambahan dari AS yang memberi lampu hijau untuk mengambil tindakan militer lagi.
Dalam pernyataan yang direkam untuk mengumumkan keputusannya, Netanyahu menyebutkan alasan mengapa sekarang adalah saat yang tepat untuk gencatan senjata. Israel, kata dia, telah mengguncang Beirut. Kini ada peluang untuk “memberikan jeda bagi pasukan kami dan menambah persediaan”.
Israel juga telah memutuskan koneksi antara Gaza dan Lebanon. Netanyahu mengatakan, Hamas akan mendapat tekanan yang lebih besar. 
 
Ada satu alasan lagi; Israel ingin berkonsentrasi pada apa yang disebut Netanyahu sebagai ancaman Iran. Menghancurkan Hizbullah berarti menghancurkan Iran. Hizbullah dibangun Iran untuk menciptakan ancaman tepat di perbatasan Israel. Hizbullah menjadi bagian terkuat dari poros perlawanan Iran, nama yang diberikan untuk jaringan pertahanan terdepan yang terdiri dari sekutu dan proksi.
Menurut Kaufman, di sisi Hizbullah, kelompok itu telah sangat dilemahkan karena perang yang mengikis kemampuan militernya. Sebelumnya, Hizbullah (sebagaimana ditegaskan berulang kali oleh Nasrallah) menyatakan bahwa gencatan senjata hanya akan terjadi jika hal itu terlebih dahulu tercapai antara Hamas dan Israel di Gaza. Namun, kini Hizbullah dan Iran bersedia memisahkan dua front tersebut, yang membuat Hamas berada dalam posisi yang lebih lemah karena kehilangan dukungan dari kelompok utama yang mereka andalkan, yaitu Hizbullah.
Hamas awalnya berharap bisa menarik Hizbullah dan kelompok-sekelompok yang seideologi dengan mereka di kawasan itu untuk terlibat dalam konfrontasi langsung dengan Israel ketika mereka meluncurkan serangan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.
Hizbullah dan faksi politik Lebanon lainnya juga menghadapi tekanan domestik yang kuat. Lebanon memiliki lebih dari 1 juta pengungsi akibat konflik tersebut – sebagian besar dari mereka orang-orang Syiah, aliran Islam yang menjadi tempat muasal Hizbullah. Kondisi di Lebanon telah meningkatkan risiko pertikaian sektarian antara Syiah dan faksi lain di negara itu. Bagi para pemimpin Hizbullah, mungkin inilah saat yang tepat untuk mengurangi kerugian dan mempersiapkan diri untuk bangkit kembali sebagai sebuah badan politik dan militer.
Sama seperti para pemimpin Hizbullah yang masih hidup, Iran juga menginginkan gencatan senjata. Hizbullah perlu jeda untuk memulihkan diri. Iran perlu menghentikan kerusakan geostrategis yang telah terjadi. Poros perlawanan mereka kehilangan daya gentarnya. Serangan rudal Iran terhadap Israel setelah pembunuhan Nasrallah tidak berhasil mengubah keadaan.
Dua orang merancang Hizbullah untuk menghalangi Israel tidak hanya menyerang Lebanon – tetapi juga menyerang Iran. Kedua perancang itu telah tewas dibunuh. Mereka adalah Qasem Soleimani, kepala Pasukan Quds Pengawal Revolusi Iran, yang tewas akibat serangan pesawat tak berawak AS di bandara Baghdad pada Januari 2020. Perintah pembunuhan Soleimani dikeluarkan Donald Trump dalam beberapa minggu terakhirnya di Gedung Putih pada akhir tahun masa jabatan pertamanya. Orang kedua adalah Hassan Nasrallah.
 
 
Setelah perang 2006, strategi pencegahan (
deterrence strategy
) Hizbullah dan Iran mampu menyamai Israel selama hampir 20 tahun. Namun, serangan Hamas pada 7 Oktober yang kemudian dibalas Israel membawa perubahan besar, termasuk keputusan Israel untuk menolak segala pembatasan terhadap perang yang mereka lakukan sebagai respons. AS, sekutu terkuat Israel, juga hampir tidak memberikan batasan pada pasokan maupun penggunaan senjata yang terus mereka salurkan.
Nasrallah dan Iran gagal memahami apa yang telah terjadi. Mereka tidak menyadari bagaimana Israel telah berubah. Mereka mencoba menekan Israel dengan perang gesekan dan sempat berhasil selama hampir satu tahun. Namun, pada 17 September, Israel membalik keadaan dengan meledakkan bom mini yang tertanam di jaringan
pager
jebakan yang sebelumnya berhasil dijual kepada Hizbullah melalui tipu daya intelijen Israel.
Hizbullah menjadi limbung. Sebelum mereka sempat bereaksi dengan senjata paling kuat yang diberikan Iran, Israel membunuh Nasrallah dan sebagian besar letnan utamanya, disertai serangan besar-besaran yang menghancurkan gudang senjata. Serangan itu diikuti dengan invasi ke Lebanon Selatan dan penghancuran besar-besaran desa-desa perbatasan Lebanon serta jaringan terowongan Hizbullah.
Menurut Kaufman, kesepakatan gencatan senjata itu terjadi juga saat Teheran bersiap menghadapi pemerintahan AS yang bisa mengambil posisi lebih keras terhadap Iran dan proksinya di kawasan, dimana Hizbullah merupakan salah satu yang paling berpengaruh.
Dengan presiden baru Iran, dan pemerintahan baru AS, gencatan senjata antara proksi utama Iran dan Israel mungkin menjadi langkah pertama bagi Teheran untuk membangun dialog konstruktif dengan Gedung Putih yang akan kembali dipimpin Trump.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.