Bisnis.com, JAKARTA— Aplikasi pesan instan WhatsApp menjadi saluran paling sering digunakan pelaku penipuan (scammer) di Indonesia sepanjang tahun terakhir.
Berdasarkan laporan terbaru State of Scams in Indonesia 2025 yang dirilis Global Anti-Scam Alliance (GASA) dan Indosat Ooredoo Hutchison, sebanyak 89% responden yang mengalami percobaan penipuan mengaku dihubungi melalui WhatsApp.
Temuan ini memperlihatkan mayoritas penipuan di Indonesia terjadi lewat platform dengan fitur Direct Message (DM), seperti aplikasi pesan instan dan SMS. Sebanyak 85% upaya scam dalam 12 bulan terakhir terjadi melalui platform yang memungkinkan komunikasi langsung antara korban dan pelaku.
Selain WhatsApp, Telegram (40%), Facebook (37%), Gmail (32%), dan Instagram (28%) juga termasuk kanal populer bagi scammer. Sementara itu, TikTok (13%), X (9%), WeChat (3%), Tinder (2%), dan Outlook.com (2%) menempati urutan berikutnya.
Laporan yang melibatkan 1.000 responden dewasa di Indonesia itu juga mengungkapkan Rp49 triliun (setara US$3,3 miliar) telah dicuri oleh para scammer sepanjang tahun terakhir. Sekitar 14% orang dewasa Indonesia mengaku kehilangan uang akibat penipuan, dengan nilai rata-rata kerugian mencapai Rp1,72 juta per korban.
Millennial menjadi kelompok yang paling banyak kehilangan uang, rata-rata mencapai Rp1,95 juta, lebih tinggi dibandingkan generasi baby boomers yang kehilangan sekitar Rp1 juta. Bahkan, orang yang mengaku bisa mengenali penipuan pun masih kehilangan uang, dengan rata-rata kerugian sekitar Rp576 ribu per tahun.
Dalam laporan tersebut disebutkan, dua pertiga orang Indonesia mengaku pernah mengalami percobaan penipuan dalam setahun terakhir, dengan rata-rata 2,2 kali kejadian per tahun.
Jenis penipuan yang paling sering ditemui adalah investasi bodong (63%), belanja online palsu (55%), dan penipuan donasi atau amal (55%).
Lebih dari separuh korban (63%) menyatakan mereka sudah melaporkan kasus tersebut, tetapi banyak yang kecewa karena laporan dianggap tidak ditindaklanjuti atau terlalu rumit untuk diproses. Sebanyak 23% korban bahkan mengaku tidak tahu ke mana harus melapor.
GASA pun memberikan sepuluh rekomendasi utama untuk menekan kasus penipuan, antara lain:
Memberdayakan Konsumen (Empowering Consumers)
1. Meluncurkan kampanye nasional terpadu dan permanen untuk meningkatkan kesadaran akan penipuan.
2. Mendirikan saluran bantuan nasional bagi korban penipuan, yang dapat diakses secara daring maupun melalui telepon.
3. Membuat sistem dukungan terpadu bagi korban yang menyediakan bantuan finansial, hukum, dan psikologis.
Menciptakan Internet yang Lebih Aman (Creating a Safer Internet)
4. Membangun perlindungan infrastruktur bersama penyedia telekomunikasi dan teknologi untuk memblokir penipuan sebelum mencapai konsumen.
5. Meningkatkan kemampuan pelacakan penipuan lintas negara dengan mewajibkan transparansi dari penjual, platform, dan penyedia layanan pembayaran.
Memperkuat Kerja Sama (Strengthening Cooperation)
6. Membentuk jaringan internasional pusat-pusat nasional anti-penipuan, yang menggabungkan penegakan hukum, keamanan siber, dan keahlian sektor swasta.
7. Mengembangkan pusat data global untuk berbagi informasi penipuan guna mendeteksi penipuan lintas negara secara waktu nyata.
8. Menuntut penyedia layanan agar bertanggung jawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas penipuan yang terjadi melalui platform mereka.
9. Memungkinkan tindakan pencegahan: memberi kewenangan bagi penyedia layanan untuk memperingatkan, memblokir, dan menutup aktivitas penipuan tanpa risiko tanggung jawab hukum yang berlebihan.
10. Menciptakan jaringan global untuk investigasi dan penuntutan penipuan guna menargetkan kejahatan terorganisir lintas yurisdiksi.
