Blitar (beritajatim.com) – Wajah pelayanan kesehatan di Kabupaten Blitar kembali tertampar oleh realitas pahit di lapangan. Di saat pemerintah mendengungkan jargon jaminan kesehatan, Endang Susianis, seorang warga miskin asal Desa Gembongan, Kecamatan Ponggok, justru harus bertaruh nyawa melawan birokrasi yang kaku dan anggaran daerah yang diklaim habis.
Kasus memilukan ini terungkap saat keluarga Endang mengadu kepada Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, pada Jumat (21/11/2025). Endang yang dalam kondisi kritis membutuhkan pertolongan medis segera namun terbentur administrasi jaminan kesehatan.
Derita Endang bermula dari ketidakmampuan ekonomi. Upaya keluarganya mendapatkan hak kesehatan seolah menemui jalan buntu di setiap lini.
Endang sempat mencoba untuk mendaftar PBI (Pusat) namun proses pendaftaran memakan waktu lama, tidak relevan dengan urgensi penyakit yang dialaminya. Perempuan itu pun juga sempat mendaftar PBID (Daerah) namun harapan mendapat bantuan iuran dari Pemkab Blitar pupus seketika. Alasannya klasik yakni kuota habis dan tidak ada anggaran.
Akhirnya Endang mau tidak mendaftar kepesertaan BPJS Mandiri. Namun dalam keputusasaan, keluarga memaksakan diri mendaftar mandiri. Sayangnya, mereka kembali terpukul oleh regulasi bahwa kepesertaan baru aktif setelah masa tunggu 14 hari.
Bagi pasien kritis seperti Endang, waktu 14 hari adalah pertaruhan hidup dan mati. Ia hanyalah satu dari sekian banyak potret warga Kabupaten Blitar yang menjadi korban dari apa yang dinilai sebagai “kealpaan” pemerintah daerah dalam memprioritaskan kesehatan warganya.
Merespons aduan tersebut, Nurhadi tidak bisa menyembunyikan kegeramannya. Politisi Partai Nasdem yang dikenal dekat dengan wong cilik ini menilai Pemkab Blitar gagal hadir di tengah kesulitan warganya.
Menurutnya, kasus Endang tidak akan terjadi jika Kabupaten Blitar sudah mencapai status Universal Health Coverage (UHC). Dengan status UHC, warga miskin yang sakit bisa langsung didaftarkan dan aktif kepesertaannya hari itu juga (non-cut off), tanpa harus menunggu 14 hari.
“Saya kira Pemkab harus mengupayakan supaya bisa tercapai UHC. Supaya ketika masyarakat miskin sakit, tidak perlu menunggu 14 hari untuk bisa ditangani. Ini masalah nyawa,” kritik Nurhadi tajam.
Nurhadi lantas membandingkan Kabupaten Blitar dengan daerah tetangga yang dinilai lebih peduli pada kesehatan warganya. Kota Blitar, serta Kota dan Kabupaten Kediri, telah sukses mencapai UHC, sehingga warganya terlindungi.
Ketimpangan ini, menurut Nurhadi, bukan semata-mata soal kemampuan anggaran, melainkan niat dan keberpihakan politik (political will) kepala daerah.
“Ini kan soal niat, soal kemauan untuk menolong warganya. Buktinya daerah tetangga bisa. Kalau alasannya anggaran tidak cukup, ya itu masalah political will. Bisa di-refocusing anggaran yang tidak urgent,” tegasnya.
Legislator Senayan ini mendesak Pemkab Blitar segera menata ulang prioritas anggaran. Ia mengingatkan bahwa kesehatan adalah hak dasar yang tidak bisa ditawar.
“Kesehatan itu nomor satu, utama. Kalau orang sehat, orang bisa bekerja, bisa memiliki penghasilan. Jangan sampai ada lagi warga miskin yang harus meregang nyawa hanya karena menunggu aturan administrasi 14 hari,” pungkas Nurhadi. [owi/beq]
