Viral Penjarahan saat Bencana Banjir Sumatera, Psikolog Singgung Survival Instinct

Viral Penjarahan saat Bencana Banjir Sumatera, Psikolog Singgung Survival Instinct

Jakarta

Belakangan, narasi ‘penjarahan’ menjadi perbincangan hangat di tengah bencana alam yang terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Imbasnya, muncul pro kontra terkait situasi ini di media sosial.

“Ini point valid bgt, salah satu alasan adanya penjarahan ya karena pemerintahnya juga ngsk gercep melakukan distribusi bantuan juga kan,” tulis salah satu warganet, dikutip detikcom, Rabu (3/12/2025).

“Tetap saja tidak boleh dibenarkan tindakan seperti itu. Mintalah secara baik-baik dalam bentuk utang. Insyaallah pasti akan bantu,” tulis akun lain.

“Nggak semua orang yg menjarah benar” butuh, bisa jadi hanya memanfaatkan situasi,” tambah lainnya.

Psikolog Psikolog klinis, Maharani Octy Ningsih mengatakan perilaku korban bencana alam dalam mengambil barang, terutama kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman merupakan bentuk mode bertahan hidup atau survival instinct.

“Kebutuhan dasar ini yang tidak terpenuhi karena beberapa kendala seperti akses terputus, menyebabkan bantuan terlambat datang, mereka tidak tahu kapan pertolongan akan tiba,” kata Rani kepada detikcom, Rabu (3/12/2025).

“Hal demikian akan memicu datangnya stres dan kecemasan yang cukup tinggi, sehingga akan mempengaruhi perilaku mereka dalam bertindak,” sambungnya.

Mereka yang terpaksa melakukan penjarahan tersebut, lanjut Rani, hanya ingin memenuhi kebutuhan dasar mereka. Inilah yang harus dibedakan, apakah aksi dilakukan dalam koridor oportunistik atau hanya terpaksa memenuhi kebutuhan.

“Perilaku oportunistik disini mengambil barang yang tidak terkait keselamatan, seperti elektronik atau rokok. Kedua hal ini bisa muncul bersamaan, tetapi konteks bencana sering membat motivasi bertahan hidup lebih dominan,” tegasnya.

Kapan Survival Instinct Ini Muncul?

Rani menambahkan survival instinct ini muncul ketika seseorang merasa kelangsungan hidupnya terancam dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

“Dalam situasi bencana, tubuh dan otak masuk ke mode darurat. Berperan mempengaruhi reaksi stres dan keputusan manusia,” kata Rani.

“Ketakutan dan kecemasan yang tinggi, membuat otak lebih fokus pada keselamatan mereka. Hilangnya rasa aman, yang membuat norma sosial melemah sementara,” sambungnya.

Ketika melihat orang lain mulai mengambil-ambil barang untuk sekadar bertahan hidup, biasanya akan ‘menularkan’ ke lainnya.

“Dinamika yang sering terjadi ini mereka berada pada situasi panik kolektif,” tutupnya.

Halaman 2 dari 2

(dpy/kna)