Ujian Netralitas TNI di Balik Polemik Pembatalan Mutasi Perwira Tinggi

Ujian Netralitas TNI di Balik Polemik Pembatalan Mutasi Perwira Tinggi

Ujian Netralitas TNI di Balik Polemik Pembatalan Mutasi Perwira Tinggi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Polemik pembatalan mutasi tujuh perwira tinggi (pati) TNI oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto sehari setelah diputuskan menimbulkan tanda tanya besar soal netralitas dan tata kelola internal militer.
Pembatalan tersebut dinilai sejumlah pihak bukan hanya persoalan administratif, tetapi memunculkan spekulasi adanya
intervensi politik
dalam tubuh TNI.
Awalnya, rotasi dan mutasi ratusan perwira tinggi tertuang dalam Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025 tertanggal 29 April 2025.
Sebanyak 237 pati dimutasi, terdiri dari 109 dari matra AD, 64 dari AL, dan 64 dari AU.
Namun, sehari berselang, pada 30 April 2025, Mabes TNI menerbitkan surat baru bernomor Kep/554A/IV/2025 yang meralat mutasi terhadap tujuh perwira tinggi.
Salah satu nama yang dibatalkan mutasinya adalah Letnan Jenderal Kunto Arief Wibowo, yang sebelumnya dimutasi dari jabatan Pangkogabwilhan I menjadi Staf Khusus KSAD.
Jika mutasi itu tidak dibatalkan, posisi anak Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno itu bakal digantikan oleh Laksamana Muda Hersan, mantan ajudan Presiden Joko Widodo.
Fakta ini menyulut spekulasi publik soal keterlibatan kepentingan eksternal dan tarik-menarik politik dalam pengambilan keputusan di tubuh TNI.
Apalagi, proses mutasi hingga pembatalan terjadi di tengah isu gugatan pencopotan Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya sebagai Wakil Presiden, yang dilontarkan oleh Forum Purnawirawan TNI.
 
Co-founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) Dwi Sasongko menilai, pembatalan mutasi dalam waktu singkat memberikan kesan bahwa keputusan itu diambil secara terburu-buru dan tidak transparan.
“Ketika sebuah keputusan penting seperti ini diralat dalam waktu singkat, muncul kesan bahwa kebijakan tersebut diambil secara terburu-buru, tidak transparan, atau bahkan dipengaruhi oleh kepentingan di luar institusi,” kata Dwi, kepada Kompas.com, Minggu (4/5/2025).
Menurut Dwi, mutasi dalam tubuh TNI seharusnya merupakan hasil dari proses yang matang, berdasarkan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja, kebutuhan organisasi, dan pertimbangan strategis jangka panjang.
ISDS pun menggarisbawahi pentingnya reformasi menyeluruh dalam tata kelola TNI agar kejadian serupa tidak terulang pada masa mendatang.
Dwi menyebutkan, ada lima langkah strategis yang perlu segera dilakukan.
Pertama, memperkuat sistem perencanaan dan evaluasi pengembangan SDM berbasis merit.
Kedua, menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam setiap keputusan strategis.
Ketiga, meningkatkan independensi TNI dari intervensi politik.
“TNI harus tetap berada dalam koridor
profesionalisme militer
, tidak menjadi alat kekuasaan ataupun tergoda oleh tarik-menarik kepentingan politik,” tegas Dwi.
Langkah keempat adalah membangun budaya institusional yang menjunjung tinggi konsistensi, integritas, dan kehormatan.
Terakhir, memperkuat mekanisme koreksi internal melalui unit evaluasi independen dan objektif.
“Jika terjadi kekeliruan dalam pengambilan keputusan, ralat memang bisa menjadi langkah korektif, tetapi harus disertai evaluasi menyeluruh agar tidak terulang,” ujar dia.
Dwi juga mengingatkan bahwa perubahan mendadak dalam penempatan jabatan bisa berdampak serius pada moral para perwira dan prajurit.
Ketidakpastian dalam proses pembinaan karier dapat menurunkan motivasi dan merusak stabilitas internal.
“Ketidakpastian dalam penempatan jabatan bisa menurunkan motivasi dan memunculkan spekulasi liar di lingkungan internal maupun eksternal,” kata Dwi.
Dia menilai, keputusan revisi mutasi ini tidak bisa dipandang sebagai kesalahan administratif belaka, melainkan berpotensi mengganggu kredibilitas institusi yang menjunjung tinggi prinsip disiplin.
“Dalam konteks reformasi militer dan profesionalisme TNI, hal ini merupakan kemunduran yang perlu mendapat perhatian serius,” ujar Dwi.
 
ISDS mengingatkan para purnawirawan TNI, untuk tidak menyeret institusi militer ke dalam dinamika politik praktis.
“Purnawirawan diharapkan untuk tidak menyeret-nyeret TNI ke politik, apalagi proses manajemen TNI dinodai oleh politik. Kita harus sama-sama menjaga TNI,” kata Dwi.
Dwi menilai, meskipun ada klarifikasi resmi dari TNI bahwa pembatalan mutasi tidak terkait dengan urusan politik, persepsi publik tetap sulit dibendung.
“Namanya politik itu persepsi. Sah-sah saja kalau masyarakat punya persepsi seperti itu. Letjen TNI Kunto merupakan anaknya Pak Try Sutrisno dan Laksda TNI Hersan itu adalah mantan ajudan Presiden Jokowi. Sehingga bila masyarakat akhirnya memiliki spekulasi sendiri tentang mutasi tersebut ya tidak bisa disalahkan,” ucap dia.
Meski begitu, Dwi menegaskan bahwa ISDS tidak ingin masuk dalam pusaran spekulasi, dan tetap fokus pada dorongan agar sistem manajemen SDM TNI berjalan profesional dan netral dari pengaruh politik.
“Tujuan ISDS adalah sistem manajemen SDM TNI yang profesional, lepas dari politik. Karena dinamika politik akan terus ada,” pungkas dia.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menilai batalnya mutasi ini mencerminkan lemahnya kepemimpinan Panglima TNI dan potensi tergerusnya profesionalisme militer.
“Mutasi prajurit aktif tidak seharusnya dipengaruhi oleh opini masyarakat sipil atau tekanan politik. Ini preseden buruk bagi profesionalisme TNI,” kata Hasanuddin, Sabtu (3/5/2025).
Menurut politikus PDI-P itu, perubahan surat keputusan secara cepat dan tidak konsisten bisa mengganggu stabilitas internal serta kepercayaan publik terhadap TNI sebagai institusi pertahanan negara.
“Menurut hemat saya, kepemimpinan Panglima TNI saat ini tidak baik. Seharusnya sejak awal beliau menolak mutasi Letjen Kunto jika itu memang tidak berdasarkan kepentingan organisasi,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.