Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara
Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
BEBERAPA
bulan terakhir publik sempat menarik napas lega setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang sebelumnya dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dalam perkara kebijakan impor gula. Meski tidak terbukti memperkaya diri, kebijakan yang ia ambil dinilai merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah.
Putusan itu memicu kontroversi nasional: apakah seorang pejabat publik harus dipidana meski niatnya adalah menjaga stabilitas pasokan pangan dan mencegah lonjakan harga di tengah ancaman krisis global?
Di tengah proses banding itu, Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatifnya untuk menghentikan penuntutan, yang oleh sebagian pihak dibaca sebagai bentuk koreksi terhadap kekakuan hukum formal.
Di tengah refleksi publik terhadap kasus Tom Lembong itulah, bangsa ini kembali diguncang oleh vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap mantan Direktur Utama PT
ASDP
Indonesia Ferry,
Ira Puspadewi
.
Vonis tersebut bukan hanya soal satu orang, satu kasus, atau satu keputusan akuisisi korporasi. Ia menjelma menjadi cermin lebih besar tentang cara negara ini memperlakukan para profesional yang bekerja di sektor publik, tentang batas kabur antara risiko bisnis dan tindak pidana korupsi, serta tentang ketakutan baru yang mengancam keberanian melakukan transformasi di tubuh Badan Usaha Milik Negara.
Kasus ini menjadi perhatian luas setelah konten kreator dan analis kebijakan publik, Ferry Irwandi, membacakan surat pribadi Ira dari balik Rutan KPK. Dalam surat tersebut, Ira menyampaikan kepedihan yang mencabik nalar publik, dimana dirinya divonis meski tidak ditemukan satu rupiah pun aliran dana pribadi dari keputusan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).
PPATK, KPK, hingga penggeledahan kantor dan rumah tidak menemukan bukti penerimaan pribadi atau indikasi memperkaya diri. Namun hukuman tetap jatuh atas dasar kelalaian yang dianggap menguntungkan pihak lain.
Paradoks inilah yang membuat peristiwa ini mengguncang kepercayaan publik. Sebab selama kepemimpinan Ira, ASDP mencatatkan laba tertinggi dalam sejarah perusahaan, keluar dari kondisi “mati suri” menjadi perusahaan feri negara yang agresif, modern, dan berdaya saing.
Transformasi itu tidak tercapai melalui retorika, tetapi melalui keputusan bisnis yang berani dan penuh risiko. Dan di saat keberanian itu membawa keuntungan bagi negara, keterlibatan hukum pidana justru menghentikannya dengan palu vonis.
Di sinilah ironi terbesar muncul. Aksi korporasi yang didesain untuk memperkuat kemampuan ASDP dalam menjaga layanan publik bagi daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar kini ditafsirkan sebagai tindakan melawan hukum.
ASDP selama ini melayani lebih dari 300 lintasan kapal feri, di mana lebih dari 70 % di antaranya merupakan rute rugi, tetapi tetap harus dijalankan demi logistik pangan, obat-obatan, pendidikan, dan stabilitas harga di wilayah 3T.
Dalam suratnya, Ira menulis, “Kalau ASDP berhenti melayani daerah 3T, harga telur bisa naik tiga kali lipat.” Artinya, setiap keputusan bisnis ASDP tidak semata soal laba, tetapi soal pengabdian dan mandat konstitusional negara.
Namun keputusan akuisisi PT JN yang bertujuan memperkuat portofolio kapal untuk menjaga keberlanjutan lintasan subsidi, berakhir menjadi dakwaan kerugian negara. Bagian paling janggal terletak pada perbedaan valuasi yang nyaris tak masuk akal. Konsultan internasional seperti Deloitte dan PYC menilai nilai PT JN berada di kisaran Rp 1,2 triliun, sementara auditor KPK menilai nilai perusahaan tersebut hanya Rp 19 miliar.
Bagaimana mungkin perusahaan dengan pendapatan sekitar Rp 600 miliar per tahun dinilai hanya Rp 19 miliar? Di sinilah letak persoalan mendasarnya. Apakah kita sedang menilai kerugian negara atau sedang memproduksi kerugian logika publik?
Majelis hakim dalam amar putusannya mengakui tidak ada indikasi motif memperkaya diri maupun aliran dana pribadi. Namun tetap menjatuhkan vonis berdasarkan argumentasi bahwa keputusan tersebut termasuk kelalaian yang menguntungkan pihak lain. Pada titik ini, garis pemisah antara tindak pidana dan risiko manajerial menjadi kabur.
Jika semua keputusan bisnis harus bebas dari risiko, maka bisnis tidak lagi mungkin dilakukan. Jika pemimpin dipenjara karena keputusan yang memberikan manfaat tetapi berada dalam wilayah interpretasi berbeda, maka tidak ada ruang untuk
inovasi
. Dan jika setiap keputusan berani dapat dihadapkan pada ancaman pidana, maka akan jauh lebih aman untuk tidak mengambil keputusan sama sekali.
Reaksi publik pun terbagi tajam. Aparat penegak hukum menyambut putusan sebagai aksi pemberantasan korupsi, sementara akademisi dan praktisi manajemen justru melihatnya sebagai sinyal berbahaya bagi iklim profesionalisme di
BUMN
.
Salah satu suara paling keras datang dari Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, yang mengaku heran dan sedih. Menurutnya, keputusan akuisisi adalah aksi korporasi yang wajar dan strategis, bukan tindakan kriminal. Ia memperingatkan bahwa keputusan seperti ini akan membuat para profesional terbaik enggan kembali mengabdi pada negara.
Bayangkan seorang diaspora Indonesia yang sudah sukses di New York diminta pulang untuk membenahi BUMN yang sedang sekarat, mengerahkan kemampuan terbaiknya, menghasilkan laba tertinggi sepanjang sejarah, tetapi kemudian dipenjara karena perbedaan tafsir nilai aset. Apakah setelah menyaksikan kasus seperti ini, masih ada orang yang mau kembali?
Dampak kasus ini tidak berhenti pada satu tokoh. Ia berpotensi melumpuhkan keberanian para direksi dan pemimpin manajemen di BUMN. Jika setiap aksi transformasi berujung risiko penjara, maka pilihan paling aman adalah bersikap pasif, menjaga status quo, menghindari inovasi, dan membiarkan perusahaan berjalan tanpa arah.
Akibatnya, BUMN kembali tenggelam dalam pola lama, yaitu bersifat birokratis, lamban, dan tanpa terobosan. Negara akan kehilangan kemampuan bersaing, dan masyarakat akan menjadi korban dari stagnasi itu.
Kasus ini juga menguji sejauh mana hukum di Indonesia mampu menimbang keadilan substantif di atas keadilan prosedural. Keadilan tidak boleh hanya sebatas aturan hitam di atas putih, tetapi harus mempertimbangkan niat, dampak publik, dan konteks sosial. Kasus Ira adalah contoh nyata dari apa yang pernah digambarkan Lon L. Fuller dalam karyanya
The Morality of Law
(1964) sebagai benturan antara aturan hukum yang prosedural dengan moralitas kebijakan publik.
Fuller mengingatkan bahwa hukum tidak boleh hanya benar secara tekstual dan prosedural, tetapi harus mengabdi pada tujuan moral dan rasionalitas publik. Jika seorang pengambil kebijakan bertindak dalam itikad baik, berlandaskan kepentingan umum dan prinsip tata kelola yang baik, memidana tindakan tersebut justru bertentangan dengan moralitas hukum itu sendiri.
Dalam teori administrasi publik modern, Michael Lipsky (1980) menjelaskan bahwa kebijakan publik sering lahir di zona abu-abu, di tengah kondisi tekanan dan kompleksitas di mana kepatuhan mekanistik terhadap aturan tidak selalu menghasilkan keputusan yang paling baik bagi masyarakat. Para pengambil keputusan publik kerap menghadapi dilemma, memilih tindakan aman secara birokratis, atau mengambil keputusan berisiko demi menyelamatkan kepentingan publik yang lebih besar.
Karena itu, perlu koreksi terhadap penggunaan hukum pidana yang terlalu mekanistik, sebagai penegasan bahwa hukum tidak boleh melukai akal sehat dan tujuan keadilan substantif. Jika manajemen profesional yang berintegritas dihukum tanpa bukti keuntungan pribadi, maka hukum kehilangan arah moralnya.
Penegakan hukum anti korupsi memang mutlak penting, tetapi lebih penting lagi kemampuan untuk membedakan korupsi yang nyata dengan kegagalan atau risiko bisnis yang tidak memiliki motif kriminal. Tanpa perbedaan itu, kita mengorbankan esensi pembangunan nasional dan menakut-nakuti para pembawa perubahan.
Kasus Ira Puspadewi kini telah menjadi metafora perjalanan bangsa. Apakah Indonesia ingin membangun BUMN progresif yang berani mengambil risiko demi kepentingan nasional, atau memilih untuk mengekang transformasi dan memerangkap mereka yang berniat baik? Apakah negara ingin pemimpin visioner yang berlari cepat, atau birokrat penakut yang hanya menjaga keamanan jabatan?
Peristiwa ini mengajukan pertanyaan paling penting yang harus dijawab bersama: Apakah kita siap kehilangan orang-orang terbaik yang masih berani memperbaiki negeri ini? Jika aksi korporasi dipidana dan inovasi dibalas dengan penjara, maka masa depan BUMN hanya akan berisi ketakutan, bukan keberanian. Dan di titik itu, bangsa ini bukan hanya menghukum seorang individu, tetapi menghukum dirinya sendiri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.