Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Terkait Gugatan 44 Warga Pulosari, Ini Pandangan Ahli Hukum Agraria

Terkait  Gugatan 44 Warga Pulosari, Ini Pandangan Ahli Hukum Agraria

Surabaya (beritajatim.com) – Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Mataram Prof. Dr. Widodo Dwi Putro, SH.,M.Hum memberikan pandangan terkait gugatan yang diajukan 44 warga Pulosari yang mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) melawan PT. Patra Jasa.

Prof Widodo merupakan ahli Hukum Agraria, Filsafat Hukum & Etika Profesi Hukum di Mahkamah Kehormatan
Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Prof Widodo menjelaskan tentang apa itu Hak Guna Bangunan (HGB) ditinjau dari Hukum Agraria. Menurut dia, HGB ini diatur dipasal 35 sampai pasal 40 Undang-Undang Nomer 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal sebagai UUPA.

Ahli melanjutkan, HGB adalah hak yang dimiliki untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas yang bukan tanahnya sendiri. Lalu, apa akibat hukumnya jika HGB ini ditelantarkan dalam kurun waktu yang lama?

Lebih lanjut ahli menjawab, dalam UUPA dipasal 35 disebutkan diberikan waktu selama 30 tahun bisa diperpanjang selama 20 tahun dan bisa diperbaharui selama 30 tahun.

“Apabila tanah ditelantarkan, menurut hukum agraria, berlaku Asas Rechtsverwerking artinya dia dianggap melepaskan haknya secara diam-diam,” papar ahli.

“Kalau saya pemegang HGB, saya diberi Hak Prioritas. Misalnya, sebelum dua tahun, saya telah mengajukan perpanjangan HGB sebelum masa berlakunya berakhir,” kata ahli.

Tetapi, lanjut ahli, kalau saya menelantarkan tanah, dipasal 40 UUPA yang mengatur ketentuan untuk menjamin kelangsungan penguasaan tanah dengan HGB, termasuk peraturan-peraturan lain misalnya PP nomor 36 tahun 1998 dan yang terbaru PP nomor 20 tahun 2021.

” Meski saya pemegang hak prioritas namun karena saya menelantarkan tanah, terhadap tanah-tanah yang diindikasikan sebagai tanah terlantar, maka terhadap tanah-tanah yang terlantar tersebut tidak boleh diperpanjang karena telah terpenuhi syarat Rechtsverwerking di dalamnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, sambung ahli, hak prioritas yang dimiliki menjadi hilang karena adanya Acquisitive verjaring.

Sedangkan Acquisitive Verjaring ini adalah cara memperoleh hak milik atas suatu benda melalui daluwarsa atau verjaring. Dalam konsep ini, penguasaan benda harus dilakukan secara terus menerus dan beritikad baik.

“Timbulnya Acquisitive Verjaring ini, karena ada yang menguasai tanah terlantar selama 20 tahun maka terbitlah HGB yang baru,” ulas ahli.

Sedangkan Rechtsverwerking adalah kebalikan dari Acquisitive Verjaring.

Dalam Rechtsverwerking, karena seseorang dianggap menelantarkan tanah dalam kurun waktu yang lama, maka hilanglah atau dianggap melepaskan haknya secara diam-diam.

Ahli juga menjelaskan apa itu hak absolut adalah non derogable right sedangkan hak prioritas adalah apakah ia dapat diperpanjang atau tidak, ada syaratnya.

“Syaratnya, apakah dia memanfaatkan tanah itu secara baik, sesuai perijinan dan peruntukan HGB tersebut. Kalau orang itu menelantarkan tanahnya maka ia akan memperoleh prioritas untuk hilang haknya,” jelas ahli.

Bahkan jika mengacu pada pasal 40 UUPA, sambung ahli, maka penelantaran tanah termasuk salah satu syarat hapusnya HGB.

Ahli dalam persidangan ini juga menjelaskan perbedaan lain antara Hak Prioritas dengan Hak Absolut di dalam mendapatkan hak atas suatu tanah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terkait perbedaan antara Hak Prioritas dengan Hak Absolut di dalam mendapatkan hak atas suatu tanah di Indonesia, ahli pun menjabarkan, bahwa hak absolut adalah hak mutlak, tidak bersifat kondisional.

“BPN akan memperpanjang HGB, walaupun orang tersebut menelantarkan tanah. Mengapa tidak absolut? Tanah di Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UUPA, bahwa tanah itu bersifat sosial,” jelas ahli.

Masih menurut keterangan ahli, walaupun ada Sertifikat Hak Milik (SHM) apalagi SHGB, jika tanah ditelantarkan dalam kurun waktu yang lama, bisa menyebabkan rechtsverwerking.

Lalu, bagaimana status tanah jika SHGB nya sudah berakhir dan tidak diperpanjang? Terkait hal ini, dapat dilihat penjelasannya dipasal 35 sampai pasal 40 UUPA.

HGB menurut ahli adalah mendirikan bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri. Dan berdasarkan PP nomor 40 tahun 1996, kemudian didalam PP nomor 18 tahun 2021.

“Berdasarkan dua peraturan pemerintah ini, walaupun hak mendirikan bangunan bukan diatas tanahnya, harus dicek, bagunan itu berdiri diatas tanah apa, diatas tanah siapa,” ulas ahli.

Apakah HGB itu berdiri diatas tanah negara, lanjut ahli. Kemudian, apakah HGB itu berdiri diatas tanah hak pengelolaan atau HPL.

Syarat ketiga, sambung ahli, apakah HGB itu berdiri diatas hak milik? Kalau HGB itu berdiri diatas tanah negara maka statusnya kembali menjadi tanah negara, kalau tanah itu berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang misalnya karena ditelantarkan. Jadi kesimpulannya, harus dilihat darimana perolehan hak atas tanah tersebut.

Lalu, bagaimana syarat hapusnya HGB berdasarkan Hukum Agraria dan UUPA?

“Kalau haknya sudah berakhir atau tanah itu ditelantarkan, disitulah syarat hapusnya HGB. Jika tanah tersebut diatas tanah negara, tidak serta merta akan kembali menjadi tanah negara,” tegas ahli.

Berkaitan dengan HGB diatas tanah negara ini, ahli secara tegas mengkoreksi banyaknya pendapat yang menyebutkan bahwa tanah itu akan menjadi tanah negara, termasuk BPN.

Lebih lanjut ahli menerangkan, BPN bahkan banyak praktisi yang menganggap bahwa tanah negara adalah tanah yang dimiliki oleh negara.

“Setelah UU nomer 5 tahun 1960 tentang UUPA, sudah tidak berlaku domain verklaring, agrarisch besluit nomer 118 tahun 1870,” ungkap ahli.

Berdasarkan Agrarisch Besluit nomor 118 tahun 1870 ini, lanjut ahli, semua tanah harus dibuktikan hak eigendomnya.

“Apabila tidak bisa dibuktikan hak eigendomnya, akan menjadi domain negara. Artinya apa, ketika jaman kolonial dikenal hak milik negara. Dan inilah yang disebut Lands staatsdomenin,” ungkap ahli.

Setelah berlaku UUPA, sambung ahli, negara tidak lagi memiliki hak atau tidak ada lagi hak milik negara, tetapi negara mempunyai hak untuk menguasai. Hal ini bisa dilihat dipasal 2 ayat (2) UUPA.

Masih menurut penjelasan ahli, dalam pasal 2 ayat (2) UUPA ini, negara hanya mengatur dan menyelenggarakan, persediaan, menggunakan, peruntukan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.

Kemudian, lanjut ahli, negara hanya mengatur hubungan-hubungan orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

“Lalu, negara yang menentukan serta mengatur hubungan orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa,” jabar ahli lagi.

Jadi, lanjut ahli, berdasarkan pasal 2 ayat (2) UUPA ini negara hanya menguasai. Namun faktanya masih banyak papan peringatan yang dipasang pada tanah-tanah terlantar bahwa tanah itu milik negara.

Luvino Siji Samura, salah satu kuasa hukum 44 warga Pulosari yang mengajukan gugatan diperkara ini lalu bertanya, jika negara tidak memiliki hak untuk memiliki setelah adanya UUPA, lalu bagaimana jika ada perolehan hak yaitu SHGB di mana perolehan hak ya berasal dari tanah negara, bagaimana perekatan haknya? Siapa yang berhak atas tanah tersebut?

Menanggapi hal ini, secara tegas ahli menyatakan, di sinilah dibutuhkan duty of care atau asas kehati-hatian dalam hukum perdata, terutama jika HGB itu berada di atas tanah negara.

Penulis jurnal Menimbang Prinsip Duty of Care : Pembeli Melawan Pembeli Dalam Sengketa Jual Beli Tanah – Jurnal Yudisial tahun 2017 ini kembali melanjutkan, tanah tidak boleh ditelantarkan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak memperpanjang atau jangka waktunya (HGB) telah berakhir dan tidak diperpanjang lalu kembali ke tanah negara, berarti tanah negara itu adalah tanah yang tidak dilekati hak atas apa pun di atasnya.

Hal ini bisa dilihat di beberapa literatur bahwa tanah negara setelah UUPA adalah tanah yang tidak dilekati hak atas apa pun sehingga akan menjadi tanah negara bebas. [uci/ian]

 

Merangkum Semua Peristiwa