Jakarta –
Sosok terduga pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta dikenal pendiam. Rekan sekolah yang bersangkutan juga menyebut ia sempat menjadi korban bullying atau perundungan sesama teman kelasnya.
“Dia memang terkenal kalau dia itu pendiam,” kata Raka, siswa di SMAN 72, dalam wawancara dengan 20detik.
“Sudah jadi sasaran bullying, teman-teman sekelasnya,” timpal yang lain.
Hal yang sama juga dibenarkan Kinza, rekan terduga pelaku yang sempat bermain bersama. “Dia orangnya pendiam tapi kalau misalkan dulu masih ceria kalau main sama saya sama kakak kakak saya juga,” terangnya.
Psikolog anak dan remaja Sani Budiantini Hermawan menekankan anak yang cenderung introvert lebih sulit terbuka terkait kondisi psikis.
“Anak yang cenderung introvert biasanya lebih sulit terbuka dibandingkan anak ekstrovert. Ditambah lagi kalau sistem di rumah tidak kondusif misalnya orang tua sibuk dan kurang berdialog, maka tekanan itu semakin berat,” ujarnya, saat dihubungi detikcom Senin (10/11/2025).
Terlebih, bila yang bersangkutan sempat menjadi korban perundungan. Walhasil, tekanan sosial yang ia dapatkan juga tidak tertangani.
“Ketika anak menjadi korban bully, ia bisa menyimpan emosi yang sangat dalam. Kalau tidak ada tempat aman untuk berdialog dan menyalurkan perasaannya, emosi itu bisa meledak dalam bentuk perilaku agresif,” jelasnya.
Hal ini menunjukkan perilaku anak yang kemudian muncul adalah bukti dari kegagalan sistem. Anak ditekankan Sani tidak bisa serta-merta dilihat sebagai tindakan pelaku tunggal.
Menurutnya, hal ini justru menjadi gambaran anak merupakan korban dari sistem pendidikan yang belum mampu memberikan ruang aman bagi peserta didik.
“Kalau kita berbicara mengenai anak, mari kita berhati-hati. Terduga pelaku yang masih berstatus siswa juga merupakan korban dari sistem. Kita tidak bisa langsung menyalahkan anak, karena mungkin saja sistem di sekitarnya belum terwujud dengan baik,” lanjut dia.
Ia juga menyarankan, orang tua perlu lebih aktif menjangkau anak dengan pendekatan yang hangat dan tidak menghakimi.
“Kalau anaknya pendiam, sulit bercerita, orang tua perlu memancing dengan cara yang lebih asertif. Misalnya lewat hobi, ngobrol santai sambil minum kopi, atau lewat cerita masa lalu orang tua sendiri,” ucapnya.
Menurutnya, membangun trust adalah kunci utama agar anak merasa aman untuk terbuka.
“Kalau orang tua suka bocor rahasia, suka menghakimi atau intimidatif, anak akan makin tertutup. Boro-boro mau cerita, dia malah menjauh,” ujarnya.
“Jadi orang tua harus introspeksi dulu, bagaimana cara mendekati anak, dan pastikan bisa menjaga rahasianya.”
Kasus di SMAN 72 Jakarta seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak. Bahwa di balik setiap tindakan ekstrem, sering kali ada kisah panjang tentang anak yang merasa sendiri, tidak punya tempat aman untuk bicara.
“Kita tidak hanya bicara soal sanksi atau hukuman, tapi juga pencegahan. Anak-anak harus punya ruang aman untuk bicara, merasa didengar, dan didampingi,” tutupnya.
Peristiwa ini menurutnya bukan sekadar soal ledakan di sekolah, tapi tentang bagaimana sistem pendidikan, keluarga, dan masyarakat sering kali gagal mendengar suara anak.
Halaman 2 dari 2
(naf/kna)
