Surabaya (beritajatim.com) – Terdakwa penggelapan di Surabaya, Siti Hadijah, mengajukan pleidoi atas tuntutan satu tahun empat bulan penjara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tony Herlix SH MH. Dalam sidang yang berlangsung Rabu (9/4/2025), kuasa hukum Siti Hadijah menyebut perkara yang menjerat kliennya merupakan persoalan perdata, bukan pidana.
Dalam pembelaan (pledoi) yang dibacakan kuasa hukum Hendra Sasmita dan Anthonius Bambang, SH di hadapan majelis hakim yang diketuai Ega Shaktiana, dijelaskan bahwa hubungan hukum antara Siti Hadijah dan pelapor merupakan kerjasama permodalan dengan dasar hukum yang sah.
“Dengan adanya Surat Perjanjian Kerja tertanggal 22 November 2021, sangatlah jelas dan terang bahwa kerjasama antara Terdakwa dengan pelapor didasarkan pada itikad baik untuk melakukan kerjasama permodalan sebesar Rp135 juta dengan pemberian keuntungan sebesar Rp13.500.000,” ujar Hendra dalam pledoinya.
Ia menegaskan bahwa kerjasama tersebut memenuhi syarat perjanjian sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata tentang kebebasan berkontrak.
“Artinya hal ini telah sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata yaitu kesepakatan para pihak. Pasal 1338 KUHPerdata yaitu Kebebasan Berkontrak. Asas ini menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hendra menyampaikan bahwa Siti Hadijah telah membayarkan keuntungan sebesar Rp 13.500.000 kepada saksi Akhmad Samsuri melalui Wawan Ariono. Menurutnya, hal itu menunjukkan tidak ada niat jahat atau tindakan pidana yang dilakukan.
“Permasalahan perkara aquo adalah masalah hutang-piutang yang masuk dalam ranah perkara perdata yaitu wanprestasi dan Terdakwa Siti Hadijah tidak dapat dituntut secara pidana. Hal ini telah sesuai dan berdasarkan pada Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” tegasnya.
Dalam pledoi tersebut, Hendra juga mengutip beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang memperkuat dalil pembelaan, di antaranya Putusan MA Nomor Register: 325K/Pid/1985 dan 93K/Kr/1969 yang menyatakan bahwa sengketa hutang-piutang merupakan perkara perdata, serta Putusan Nomor: 1601 K/Pid/1990 yang menegaskan bahwa wanprestasi tidak dapat dikriminalisasi.
“Bahwa di dalam fakta persidangan tidak diketemukan adanya unsur actus reus (tindak pidana) dan mens rea (niat jahat) dari Terdakwa. Ini dibuktikan dengan adanya pembayaran bunga serta niat baik untuk melunasi pinjaman,” ujar Hendra.
Diketahui, Siti Hadijah merupakan Direktur CV FIRA KARYA yang mendapat proyek pengadaan Belanja Habis Pakai (BHP) IV A dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jember senilai total Rp 194.452.500. Karena keterbatasan modal, Siti meminjam dana Rp 135 juta dari Akhmad Samsuri, yang diberikan secara bertahap melalui transfer dan tunai.
Pinjaman tersebut disertai dengan Surat Perjanjian Kerja bertanggal 22 November 2021, dengan bunga 10 persen dan masa pengembalian 30 hari kalender. Pembayaran bunga dilakukan lebih awal oleh Siti melalui Wawan Ariono dan telah diakui oleh saksi di persidangan pada 5 Maret 2025.
“Bahwa Siti Hadijah telah memberikan bunga atau keuntungan sebelum 30 hari kalender yaitu sebesar Rp13.500.000 yang dititipkan melalui Wawan Ariono. Hal ini juga telah diakui oleh Wawan Ariono maupun istri dari Akhmad Samsuri di depan persidangan dan majelis hakim,” tutup Hendra. [uci/beq]
