Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Tata Kelola Intelijen Pasca-Revisi UU TNI Nasional 1 April 2025

Tata Kelola Intelijen Pasca-Revisi UU TNI
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        1 April 2025

Tata Kelola Intelijen Pasca-Revisi UU TNI
Abahroji, Adalah Seorang Konten Kreator Bekerja pada Perusahaan Konsultan Strategis
WALI KOTA
Yogyakarta Hasto Wardoyo menggegerkan jagat pemberitaan. Bekas Bupati Bantul yang seorang dokter tersebut mengatakan akan menurunkan intelijen untuk mendeteksi warung-warung nakal yang menjual di luar harga normal atau ‘Nuthuk’.
Hal tersebut ia lakukan untuk menghindari citra negatif Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata.
Langkah Hasto, menurut saya, inovatif dan patut diapresiasi. Pada konteks daerah, Hasto memanfaatkan intelijen sebagai dasar kebijakan untuk kesejahteraan ekonomi dan melindungi masyarakat.
Sebagai pengambil kebijakan pada level daerah, Hasto memahami fungsi intelijen sehingga bisa memanfaatkan produk intelijen tersebut untuk menunjang tugas-tugasnya sebagai kepala daerah.
Di daerah, di tingkat kabupaten atau provinsi kita mengenal Komite Intelijen Daerah (Kominda), forum koordinasi para pimpinan penyelenggara intelijen negara di tingkat daerah.
Sementara di pusat ada Komite Intelijen Pusat (Kominpus). Merujuk pada Peraturan Presiden No 67 Tahun 2013 tentang
Badan Intelijen Negara
, disebutkan Komite Intelijen memiliki tugas melakukan rapat koordinasi membahas dan menetapkan permasalahan strategis yang memengaruhi keamanan wilayah, membahas permasalahan aktual yang memengaruhi keamanan nasional.
Dalam rapat tersebut dilakukan sinkronisasi, harmonisasi produk intelijen untuk kemudian dirumuskan kegiatan operasional dan tindakan bersama yang harus dilakukan.
Informasi keamanan nasional tersebut akan tergambar dari hasil koordinasi lintas lembaga intelijen negara, sehingga bisa dijadikan pemetaan oleh pengambil kebijakan.
Namun tidak semua pimpinan, baik nasional dan daerah menggunakan produk intilijen secara baik. Hal tersebut bisa dilatarbelakangi validitas dan kualitas produksi intelijen yang tidak teruji dan minimnya profesionalisme lembaga.
Sehingga menimbulkan
distrust
pengguna akhir atau
end user
produksi intelijen tersebut. Cara pandang pimpinan terhadap ancaman juga menjadi variabel produk intelijen tersebut digunakan atau tidak atau bisa karena perbedaan pandangan politik si pembuat kebijakan.
Presiden Soekarno pernah tidak percaya dengan hasil produk intelijen, Badan Rahasia Negara Indonesia (BERANI), lembaga yang didirikan Zulkifli Lubis yang diresmikan pada 7 Mei 1946.
Zulkifli adalah seorang militer yang memiliki kemampuan teknis intelijen didikan Pembela Tanah Air (PETA) Jepang.
Stabilitas politik yang tidak terkendali dan kepentingan golongan yang tidak terkontrol pada Era Parlementer mendorong Soekarno membentuk lembaga intelijen baru yang dipimpin Menteri Pertahanan oleh Amir Syarifuddin yang disebut Badan Pertahanan B dipimpin oleh sipil.
Soekarno kemudian menggabungkan personel BERANI dan Badan Pertahanan B menjadi Bidang V di bawah kementerian pertahanan dengan pimpinannya seorang jenderal polisi pada1947.
Intelijen di era awal kemerdekaan memang terjadi militerisasi mengingat ancaman saat itu adalah ancaman perang dari luar selain ancaman disintegrasi dari dalam.
Tokoh militer seperti Zulkifli Lubis dan Dr. Sucipto kemudian bersaing untuk mendapatkan legalitas Presiden Soekarno.
Era Soekarno ini, para pengamat menyebutnya dengan Militerisasi Intelijen (Relasi Intellijen dan Dan Negara 1945-2004, Andi Wijayanto & Artanti Wardani, Pacivis UI 2008).
Situasi berubah pasca-Dekrit 1950, di mana kebijakan Soekarno berorientasi pada sipil dan konsolidasi politik dalam negeri.
Meskipun Ancaman perang masih ada, tapi tak sehebat sebelum 1950. Karena itulah relasi intelijen dan negara terbangun nuansa konsolidasi politik.
Para pemerhati intelijen mengasosiasikan intelijen saat itu dengan intelijen politik. Soekarno membuat Badan Pusat Intilijen (BPI) dengan menunjuk Menteri Luar Negeri Subandrio sebagai kepalanya.
Subandrio yang berhaluan kiri, menggunakan BPI untuk mengawasi tokoh-tokoh politik yang dianggap musuh oleh dirinya dan Soekarno. BPI menyebar agen-agen intelijen ke berbagai dinas-dinas intelijen untuk memperkuat posisi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Perbedaan orientasi politik juga telah mendorong Presiden Soeharto untuk mengubah struktur intelijen negara.
Cara pandang Soeharto terhadap ancaman yang muncul saat itu menjadikan intelijen tidak hanya sebagai instrumen politik, tapi juga menjadikan intelijen sebagai konsolidasi militer.
Para pengamat mengklasifikasi periode ini sebagai Negara Intelijen. Jenderal Soeharto yang berlatarbelakang militer menjadikan intelijen sebagai instrumen untuk mengendalikan lawan-lawan politik yang mencoba menentang kebijakannya.
Sejak Peristiwa Gestapu atau Gerakan 30 September 1965 sampai Reformasi 1998, Soeharto mampu mendalilkan bahwa keamananan dan ketertiban masyarakat hanya bisa dikendalikan oleh kekuatan militer.
Militer masuk pada ruang sosial politik dan mengatur tata kehidupan masyarakat sipil. Dengan dalih keamanan nasional, Soeharto juga membentuk Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Komando Operasi Tinggi (KOTI).
Kopkamtib melakukan Operasi Intelijen, Operasi Tempur dan Operasi teritorial dan semuanya berada di bawah komando Angkat Darat dengan dibantu Angkatan Laut dan Udara. Kopkamtib adalah era baru diawalinya doktrin keamanan nasional berada di tangan militer (ABRI).
Dengan justifikasi melawan paham komunisme yang mengancam kedaulatan ideologi negara, keamanan dan ketahanan nasional, Presiden Soeharto melucuti agen-agen Badan Pusat Intilijen di bawah kendali militer dengan membentuk Badan Kooordinasi Intelijen (BAKIN) pada 22 Mei 1967 yang langsung berada di bawah kendalinya dan berfungsi mengendalikan simpul-simpul intelijen pada divisi militer dan institusi sipil.
Soeharto melakukan militerisasi BAKIN dengan menempatkan jenderal-jenderal kepercayaannya. Kopkamtib bukan hanya berperan menghadapi musuh dari external (perang), tapi juga menjadi alat mengontrol aktivitas intelijen.
Selama 32 tahun, Soeharto menggunakan alasan keamanan nasional, intelijen di bawah kendali militer bisa memasukan seseorang ke dalam penjara. Dengan dalih keamanan nasional, pers harus berhenti terbit dan patuh keinginan presiden atau kroninya.
Intelijen digunakan untuk mengontrol aktivitas lawan politik dan tokoh masyarakat yang vokal tanpa aturan hukum yang jelas. Intelijen menjadi aktivitas hitam mengerikan yang meninggalkan sejarah kelam dan traumatik pada bangsa ini.
Pascapenetapan
revisi UU TNI
, kekhawatiran munculnya intelijen hitam kembali menguak. Ini tidak terlepas dari lembaga Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai koordinator intelijen negara masuk pada 15 lembaga yang boleh diduduki oleh tentara aktif.
Setelah 26 tahun Reformasi, ada 9 kepala BIN yang telah menjabat (7 Purnawirawan TNI dan 2 Purnawirawan polisi). Namun, tidak ada satupun sipil yang pernah menjadi kepalanya.
Untuk menjaga kredibilitas intelijen diperlukan wadah organisasi intelijen modern, intelijen yang menjaga profesialisme, menghormati hak asasi manusia dan tetap meyakini kerahasiannya serta tata kelola yang demokratis, patuh pada institusi politik dan negara.
Komunitas masyarakat sipil sejak reformasi terus mendorong pentingnya penataan intelijen negara yang transparan dan lepas dari intervensi politik.
Pasca-Reformasi, kita memiliki Undang-undang No. 17 Tahun 2011 yang mengatur peran intelijen negara dalam tata ketatanegaraan Indonesia.
Undang-undang ini mengatur lembaga-lembaga yang boleh melakukan aktivitas intelijen, yakni fungsi intelijen militer dilakukan oleh (BAIS), Intelijen Kepolisian (Intelkam), Intelijen Kejaksaan (Jamintel) dan Intelijen Kementerian/Non Kementerian yang diatur oleh peraturan pemerintah.
Sementara yang melakukan koordinasi dan komunikasi intelijen di Pusat adalah Badan Intelijen Negara (BIN).
Undang-undang tersebut tidak mengatur bagaimana koordinasi antarkomunitas intelijen tersebut dalam memberikan produksi intelijen kepada presiden.
Dan bagaimana Kominpus memberikan rekomendasi kepada presiden dan kebijakan apa yang harus dilakukan oleh presiden dalam merespons hasil aktivitas intelijen tersebut.
Hasil riset penulis, pada 2023 misalnya, koordinasi komunitas intelijen dalam mengantisipasi dan memetakan potensi ancaman radikalisme pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) cukup lemah sekali.
Komunitas intelijen, BIN, BAIS TNI dan Baintelkam POLRI serta BNPT belum memiliki skema bersama dalam memetakan potensi radikalisme yang berujung pada terorisme selama 2018-2022 (Peran Intelijen Dalam Deteksi Dini Ancamanan Radikalisme di BUMN).
Begitupun lemahnya koordinasi komunitas intelijen dalam mengantisipias potensi ancaman ekonomi utamanya saat ini berupa penyelundupan,
transnational organized crime, trade-based money laundering.
Ketidaktegasan dan deferensiasi tugas dan wewenang di antara komunitas intelijen tersebut menimbulkan konflik kepentingan yang mengarah pada tindakan kekerasan antara sesama lembaga. (Aldila Kun, Penguatan Tata Kelola Komunitas Intelen Dalam Sistem Keamanan Nasional di Indonesia, Jurnal Syntax Literate, Vol 8 No.3 2023)
Undang-Undang tersebut juga dianggap belum mengatur soal sumber daya manusia, penganggaran dan pengawasan terhadap kerja-kerja intelijen negara.
Komunitas Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Pertahanan yang merupakan gabungan LSM, pakar dan aktivis yang peduli pertahanan dan keamanan sampai saat ini masih menyoroti tata kelola penganggaran dan pengawasan external intelijen.
Belum ada mekanisme yang jelas bagaimana mengevaluasi lembaga telik sandi tersebut agar tidak dijadikan kepentingan politik dan kelompok tertentu.
Atas desakan tersebut, DPR baru saja memiliki Tim Pengawas (Dilantik pada Desember 2024) yang terdiri dari perwakilan partai politik. Namun, Tim Pengawas yang berjumlah 13 orang tersebut tidak melibatkan unsur masyarakat ataupun akademisi sebagai anggotanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Merangkum Semua Peristiwa