Kediri (beritajatim.com) – Sebagai daerah agraris, Kabupaten Kediri menyimpan potensi pertanian yang luas, mulai dari padi, sayur-mayur hingga tanaman perkebunan. Namun, dinamika cuaca yang tidak menentu dan ancaman penyakit tanaman kerap menjadi tantangan tersendiri bagi para petani. Dalam kondisi seperti ini, perhatian dan langkah konkret dari pemerintah daerah dinilai sangat krusial.
Irham Abimnyu, pegiat pertanian organik di Kediri, mengungkapkan keresahannya soal minimnya respons dari dinas pertanian terhadap kebutuhan lapangan. Pria yang akrab disapa Bimbim ini menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih peka terhadap siklus tanam dan tantangan iklim yang makin sulit diprediksi.
“Harusnya dinas pertanian disini itu peka oh pak ini musim tidak menentu coba pertanian itu metodenya perenggangan tanah trus pemilihan benih yang kuat dengan antraks. Keduanya itu ada regulasi perputaran tanamnya ini dari Baskoro didadekne Perkasa. Ketiga ada perputaran rolling, keempatnya PH-nya harus betul-betul dijaga lha disitu baru ada petani,” jelasnya, pada Sabtu (14/6/2025).
Menurutnya, jika perlu, Kabupaten Kediri harus memiliki sistem respons cepat seperti layanan darurat namun khusus untuk masalah pertanian. Ia menamai gagasannya sebagai “Tani Siaga”.
“Maka dari itu kita dorong Mas Bup (panggilan akrab Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana), kita buat namanya apa ya, Tani Siaga. Tani siaga maksudnya Mas Bup punya dinas pertanian yang siaga koyok (seperti) hal di desa ada Halo Masbub, nah disini harus ada Halo Petani,” terang Bimbim dengan semangat.
Salah satu ancaman terbesar bagi tanaman di Kediri adalah penyakit antraknosa, yang disebabkan oleh jamur dan bisa mengakibatkan kerugian besar dalam waktu singkat. Menurut Bimbim, penyakit ini sebenarnya bisa dikendalikan dengan cara-cara alami.
“Sebenarnya penyakit antraknosa bisa dikendalikan dengan menggunakan bahan-bahan organik seperti kulitnya jahe dan kulitnya bawang putih, kemudian difermentasi dan dijadikan fungisida,” tuturnya.
Namun, ia menyayangkan bahwa metode-metode alami ini seringkali tidak dipercaya oleh petani lain jika hanya disampaikan dari sesama petani. Kepercayaan justru lebih besar jika datang dari petugas penyuluh lapangan (PPL) atau dinas pertanian.
“Lha lek sing omong sesama petani kan nggak digugu, kalau sing ngomong wong PPL, wong dinas yang betul-betul dia itu sebagai narasumber dan pengawalan ketahanan pangan di Kediri harusnya mereka itu yang lebih berkembang,” pungkasnya. [nm/ian]
