Tak Cukup Bukti, KPK Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi Tambang dan Suap Eks Bupati Konawe

Tak Cukup Bukti, KPK Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi Tambang dan Suap Eks Bupati Konawe

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan perkara dugaan korupsi perizinan pertambangan dan suap di lingkungan Pemerintah Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) itu dilakukan setelah penyidik tidak menemukan dasar hukum yang cukup, khususnya terkait pembuktian kerugian keuangan negara.

“Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat, karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, pasal 2 pasal 3 nya, yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” kata Budi dalam keterangannya, Minggu, 28 Desember.

Selain persoalan alat bukti, KPK juga mempertimbangkan aspek waktu terjadinya perkara. Menurut Budi, dugaan tindak pidana tersebut terjadi pada 2009, sehingga beririsan dengan ketentuan daluwarsa, terutama pada perkara suap.

Budi menegaskan, penghentian penyidikan bukan semata-mata untuk menghentikan proses hukum, melainkan sebagai bentuk penegakan prinsip kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terlibat dalam perkara tersebut.

“Artinya, pemberian SP3 ini untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait. Karena setiap proses hukum harus sesuai dengan norma-norma hukum,” ucap Budi.

“Hal ini juga sesuai dengan azas-azas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” tambahnya.

Sebelumnya, KPK sempat mengusut dugaan korupsi pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi serta izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi dari Pemerintah Kabupaten Konawe Utara tahun 2007-2014.

Dalam kasus ini, mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman diduga menerima suap hingga Rp13 miliar dari sejumlah pengusaha yang diberi izin pertambangan di wilayahnya.

Akibat perbuatannya, dia kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan dianggap telah merugikan negara hingga Rp2,7 triliun.

Angka ini disebut KPK berasal dari penjualan produksi nikel yang melalui proses yang tidak sesuai aturan. Aswad diduga mencabut kuasa pertambangan secara sepihak yang mayoritas dikuasai PT Antam.

Dari seluruh izin yang diterbitkan, beberapa perusahaan telah sampai tahap produksi hingga diekspor.

Dia kemudian disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.