Tag: Benjamin Netanyahu

  • Hamas Tegaskan Pembebasan Sandera Dilaksanakan Sesuai Jadwal, Gencatan Senjata Terus Berjalan – Halaman all

    Hamas Tegaskan Pembebasan Sandera Dilaksanakan Sesuai Jadwal, Gencatan Senjata Terus Berjalan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Hamas mengonfirmasi pada Kamis (13/2/2025) bahwa mereka akan membebaskan sandera Israel sesuai dengan perjanjian gencatan senjata di Gaza.

    Keputusan ini diumumkan setelah pembicaraan dengan mediator dari Mesir dan Qatar yang berkomitmen untuk mengatasi hambatan dalam implementasi kesepakatan tersebut.

    Dalam pernyataan yang dipublikasikan melalui Telegram, Hamas menegaskan bahwa diskusi dengan para mediator berlangsung dalam suasana positif.

    “Saudara-saudara yang menjadi mediator di Mesir dan Qatar telah menegaskan bahwa mereka akan menindaklanjuti semua ini untuk menyingkirkan hambatan dan menutup kesenjangan,” demikian bunyi pernyataan tersebut, dikutip dari Al Jazeera.

    Lebih lanjut, Hamas menegaskan kembali komitmennya untuk melaksanakan perjanjian gencatan senjata sesuai dengan kesepakatan awal.

    “Oleh karena itu, Hamas menegaskan kembali posisinya untuk terus melaksanakan perjanjian sesuai dengan apa yang telah ditandatangani, termasuk pertukaran tahanan sesuai dengan jadwal yang ditentukan,” tambahnya.

    Sebelumnya, pada Senin, Hamas menyatakan bahwa mereka menunda pembebasan sandera berikutnya sebagai tanggapan atas dugaan pelanggaran Israel terhadap kesepakatan gencatan senjata, dikutip dari Anadolu Anjansi.

    “Penyerahan tahanan Zionis yang dijadwalkan akan dibebaskan Sabtu depan…akan ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut,” demikian pengumuman juru bicara militer Hamas, dikutip dari Palestine Chronicle.

    “Kami menegaskan komitmen kami terhadap ketentuan perjanjian selama pendudukan berkomitmen terhadapnya,” tambahnya.

    Selama gencatan senjata berlangsung, Hamas mencatat Israel telah melanggar beberapa kesepakatan.

    Di antaranya, serangan terhadap warga sipil dan penolakan akses terhadap bantuan kemanusiaan, seperti tenda dan karavan bagi warga yang mengungsi di Gaza.

    Pelanggaran ini telah didokumentasikan dengan baik oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia, wartawan, dan telah disebutkan oleh pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    Menurut Hamas, Israel telah melanggar kesepakatan tepat 15 menit setelah gencatan senjata dimulai pada 19 Januari 2025 pukul 08.30 pagi, waktu setempat.

    Atas keputusan Hamas yang menunda pertukaran sandera, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengancam akan mengakhiri kesepakatan gencatan senjata jika Hamas tidak membebaskan tawanan sesuai batas waktu yang ditentukan pada Sabtu siang.

    Ancaman Netanyahu ini membuat ribuan warga Israel melakukan aksi demo ke jalan pada minggu ini, dikutip dari Al-Arabiya.

    Mereka mendesak pemerintah untuk tetap berpegang pada kesepakatan agar pertukaran sandera tetap berlangsung.

    Sebagai informasi, gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan telah berlangsung sejak 19 Februari 2025.

    Sejak kesepakatan gencatan senjata berlangsung, sebanyak ratusan tahanan Palestina di penjara Israel telah dibebaskan dan Hamas memberikan imbalan 16 warga Israel serta 4 pekerja Thailand.

    Dengan adanya kesepakatan gencatan senjata ini, menghentikan perang Israel yang telah menewaskan lebih dari 48.200 orang.

    Di mana sebagian besar korban merupakan wanita dan anak-anak.

    (Tribunnews.com/Farrah)

    Artikel Lain Terkait Gencatan Senjata Gaza dan Konflik Palestina vs Israel

  • Hamas Tak Ingin Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kolaps    
        Hamas Tak Ingin Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kolaps

    Hamas Tak Ingin Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kolaps Hamas Tak Ingin Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kolaps

    Jakarta

    Kelompok Hamas menyatakan pihaknya tidak ingin kesepakatan gencatan senjata di Gaza kolaps. Hal ini disampaikan kelompok milisi Palestina itu pada hari Kamis (12/2), menjelang batas waktu hari Sabtu untuk membebaskan lebih banyak sandera Israel.

    Hamas setuju berdasarkan kesepakatan itu untuk membebaskan tiga sandera lagi pada hari Sabtu mendatang. Namun, pekan ini Hamas mengatakan menangguhkan penyerahan tersebut karena apa yang dikatakannya merupakan pelanggaran Israel terhadap ketentuan tersebut.

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump menanggapi dengan mengatakan semua sandera harus dibebaskan paling lambat hari Sabtu siang atau dia akan “membiarkan kekacauan terjadi.” Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan negaranya akan melanjutkan “pertempuran sengit” jika Hamas tidak memenuhi batas waktu tersebut.

    “Kami tidak tertarik dengan kolapsnya perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza, dan kami sangat menginginkan penerapannya dan memastikan bahwa pendudukan (Israel) mematuhinya sepenuhnya,” kata juru bicara Hamas Abdel-Latif Al-Qanoua, dilansir kantor berita Reuters dan Al Arabiya, Kamis (13/2/2025).

    “Bahasa ancaman dan intimidasi yang digunakan oleh Trump dan Netanyahu tidak mendukung pelaksanaan perjanjian gencatan senjata,” kata al-Qanoua.

    Delegasi Hamas yang dipimpin oleh kepala kelompok itu di Gaza, Khalil Al-Hayya, bertemu dengan para pejabat keamanan Mesir pada hari Rabu lalu untuk mencoba memecahkan kebuntuan.

    Seorang pejabat Palestina yang familiar dengan pembicaraan tersebut, mengatakan kepada Reuters bahwa mediator Mesir dan Qatar sedang berusaha menemukan solusi untuk mencegah terjadinya kembali pertempuran.

    Dalam sebuah pernyataan, Hamas mengatakan para mediator memberikan tekanan agar kesepakatan gencatan senjata dilaksanakan sepenuhnya, memastikan Israel mematuhi protokol kemanusiaan, dan melanjutkan pertukaran sandera Israel yang ditahan di Gaza dengan tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel pada hari Sabtu.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • 5 Tindakan Israel yang Bisa Menjadi Bukti Pelanggaran Gencatan Senjata di Gaza – Halaman all

    5 Tindakan Israel yang Bisa Menjadi Bukti Pelanggaran Gencatan Senjata di Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Nasib perjanjian gencatan senjata di Gaza menjadi tidak menentu setelah Hamas mengatakan Israel melanggar ketentuan perjanjian tersebut.

    Akibat pelanggaran itu, Hamas mengumumkan akan menunda pembebasan tawanan Israel.

    Menanggapi hal ini, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan akan melanjutkan perang jika tawanan tidak dibebaskan pada Sabtu (15/2/2025) mendatang.

    “Jika Hamas tidak mengembalikan sandera kami pada Sabtu siang, gencatan senjata akan berakhir, dan IDF akan kembali bertempur sengit hingga Hamas akhirnya dikalahkan,” ujar Netanyahu dalam pidato video pada Selasa (11/2/2025).

    Presiden AS Donald Trump, yang dikenal sebagai pendukung Netanyahu, menambahkan bahwa Israel seharusnya membiarkan kekacauan terus terjadi jika tawanan tidak dibebaskan sesuai batas waktu.

    Juru bicara sayap bersenjata Hamas, Brigade Qassam, Abu Obeida, menegaskan bahwa kepemimpinan mereka memantau pelanggaran Israel yang dianggap tidak mematuhi perjanjian.

    Padahal, Hamas menegaskan bahwa mereka telah memenuhi semua kewajiban yang disepakati, tambah Obeida.

    Mengutip Middle East Eye, berikut 5 tindakan yang dilakukan Israel yang membuat Hamas menyimpulkan bahwa gencatan senjata telah dilanggar:

    1. Serangan Berlanjut ke Gaza

    Meskipun pertempuran secara resmi dihentikan, pasukan Israel tetap melancarkan serangan udara dan menembaki warga Palestina sejak gencatan senjata berlaku pada 19 Januari 2025.

    Warga Palestina juga melaporkan sering mendengar pesawat nirawak Israel terbang di atas Gaza.

    Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan bahwa sejak gencatan senjata dimulai, 92 orang telah tewas dan 822 orang terluka akibat tindakan militer Israel.

    Hamas juga menyatakan bahwa Israel menunda pemulangan warga Palestina yang mengungsi ke Gaza utara, yang merupakan salah satu komitmen utama dalam perjanjian gencatan senjata.

    2. Menghalangi Bantuan Kemanusiaan

    Salah satu tuduhan utama Hamas adalah bahwa Israel menghalangi aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza.

    Berdasarkan perjanjian, Israel harus mengizinkan 600 truk bantuan masuk setiap hari.

    Namun, menurut pejabat kota Gaza, wilayah tersebut hanya menerima 100 hingga 150 truk setiap harinya, jauh di bawah jumlah yang dijanjikan.

    Kantor media pemerintah Gaza melaporkan bahwa dari 12.000 truk bantuan yang seharusnya dikirimkan, hanya 8.500 yang berhasil masuk.

    Israel juga diduga memblokir pengiriman 60.000 rumah mobil, 200.000 tenda, serta mesin berat yang dibutuhkan untuk membersihkan puing-puing. 

    3. Kekurangan Bahan Bakar dan Perlengkapan Vital

    Kantor media pemerintah Gaza menuduh Israel menghalangi masuknya bahan bakar, generator, serta panel surya yang diperlukan untuk mengoperasikan rumah sakit dan layanan penting lainnya.

    Hanya 15 truk bahan bakar yang diizinkan masuk setiap hari, meskipun kesepakatan menyatakan harus ada 50 truk.

    4. Penundaan Pembebasan Tahanan

    Selama gelombang ketiga pertukaran tahanan, Israel menunda pembebasan tahanan Palestina selama lebih dari enam jam.

    Dalam beberapa kasus, tahanan dipindahkan ke Gaza tanpa persetujuan atau koordinasi yang jelas.

    Hamas juga menyatakan Israel kerap menunda merilis daftar nama tahanan yang akan dibebaskan.

    5. Pernyataan Trump yang Kontroversial

    Pernyataan Presiden Trump yang berencana mengambil alih Jalur Gaza dan memindahkan penduduk Palestina ke Mesir dan Yordania memicu kekhawatiran bahwa perjanjian gencatan senjata akan terancam.

    Pernyataan ini dipandang oleh banyak analis sebagai faktor yang memperumit situasi, terutama jika diikuti dengan upaya pendudukan baru di Gaza.

    Pejabat Israel menyambut baik usulan Trump, dengan Menteri Pertahanan Israel, Katz, menginstruksikan tentaranya untuk mempersiapkan “keberangkatan sukarela” warga Palestina.

    Namun, implementasi rencana ini dianggap akan menjadi pelanggaran terhadap fase gencatan senjata berikutnya, yang berfokus pada pemulangan warga Palestina dan rekonstruksi Gaza.

    Lebih dari 47.000 warga Palestina telah tewas akibat perang di Gaza, sementara infrastruktur sipil di wilayah tersebut juga rusak parah.

    Warga Palestina menegaskan bahwa mereka tidak akan meninggalkan tanah mereka, apa pun rencana yang ditawarkan.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Hamas Tak Ingin Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kolaps    
        Hamas Tak Ingin Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Kolaps

    Arab Saudi Sambut Usulan Trump Soal ‘Riviera’ di Gaza Arab Saudi Sambut Usulan Trump Soal ‘Riviera’ di Gaza

    Jakarta

    Seorang diplomat senior Arab Saudi mengatakan pemerintahnya akan menyambut baik “Riviera” di Gaza, tetapi tidak dengan mengusir orang-orang Palestina.

    Diplomat tersebut, Duta Besar Saudi untuk Inggris Pangeran Khalid bin Bandar menanggapi usulan terbaru Presiden AS Donald Trump agar Amerika Serikat mengambil alih Gaza dan mengembangkannya menjadi “Riviera Timur Tengah.” Riviera merupakan kawasan wisata terkenal di Italia.

    “Posisi pemerintah saya adalah bahwa kami akan menyambut riviera di Gaza. Saya pikir itu akan luar biasa,” kata Pangeran Khalid bin Bandar, dilansir Al Arabiya, Kamis (13/2/2025). “Tetapi kami tidak akan melakukannya dengan mengusir orang-orang Palestina, tentu saja tidak memindahkan mereka ke Saudi; mereka tidak ingin pindah,” ujarnya.

    “Anda tahu, itu tanah mereka, itu wilayah mereka. Mereka berhak mendapatkan semua yang terbaik yang dapat kita berikan untuk mereka di sana, dan kami akan menyambut baik upaya Amerika untuk memperbaiki situasi mereka di lapangan,” kata Pangeran Khalid dalam sebuah wawancara dengan London Broadcasting Company (LBC).

    Usulan Trump agar AS mengendalikan Gaza dan mengusir warga Palestina telah memicu kecaman keras di seluruh dunia Arab dan sebagian besar Eropa. Selama konferensi pers dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu minggu lalu, Trump menyebut Gaza sebagai lokasi pembongkaran dan menyarankan agar warga Palestina direlokasi ke negara lain untuk mendapatkan kondisi kehidupan yang lebih baik.

    Israel dan Netanyahu melangkah lebih jauh dengan menyarankan agar Arab Saudi mendirikan negara bagi warga Palestina di dalam kerajaan itu, yang memicu reaksi keras dan kecaman di seluruh dunia Arab.

    Ketika ditanya apakah Arab Saudi akan menyediakan relokasi sementara bagi warga Palestina, Pangeran Khalid mengatakan bahwa itu adalah keputusan yang harus diambil warga Palestina. “Anda tahu, kami senang menerima orang-orang dan kami adalah negara yang ramah. Jika ada situasi yang mengharuskan mereka datang ke Saudi, maka mereka dipersilakan untuk datang, tetapi saya rasa mereka tidak ingin pergi,” katanya.

    Diplomat Saudi itu menegaskan kembali sikap pemerintah Saudi terhadap konflik Arab-Israel yang telah konsisten selama beberapa dekade: “Sangat sederhana, solusi dua negara berdasarkan perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.”

    Namun, katanya, ini adalah perspektif Saudi. “Namun, perspektif yang penting adalah perspektif Palestina dan Israel. Mereka berdua perlu sepakat tentang solusi yang tepat. Dari sudut pandang kami, kami tidak melihat pilihan lain,” tandasnya.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Ancaman AS Tak Mempan, Afrika Selatan Terus Seret Israel ke Pengadilan atas Kasus Genosida Gaza – Halaman all

    Ancaman AS Tak Mempan, Afrika Selatan Terus Seret Israel ke Pengadilan atas Kasus Genosida Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Afrika Selatan bersikeras menolak mencabut gugatan kasus dugaan genosida oleh Israel di Jalur Gaza.

    Meski Amerika Serikat (AS) sudah menyampaikan ancaman berupa penghentian bantuan, Afrika Selatan tetap kokoh dalam pendiriannya.

    Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Ronald Lamola mengatakan “tidak ada kemungkinan” negaranya bakal mencabut gugatan yang diajukan di Mahkamah Internasional pada bulan Desember 2023 itu.

    “Teguh pada prinsip kami terkadang ada konsekuensinya, tetapi kami tetap tegas bahwa ini penting bagi dunia dan supremasi hukum,” kata Lamola kepada Financial Times, dikutip dari TRT World.

    Afrika Selatan menjadi negara pertama yang menyeret Israel ke Mahkamah Internasional atas kasus dugaan genosida di Gaza.

    Tekanan AS

    Pekan lalu Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang menghentikan pengiriman bantuan ke Afrika Selatan.

    Langkah itu diambil sebagai balasan atas gugatan kasus genosida dan  undang-undang pertanahan yang menurut AS merampas tanah minoritas warga kulit putih di Afrika Selatan.

    AS juga menuding Afrika Selatan bekerja sama dengan Iran untuk mengembangkan rencana dagang, militer, dan nuklir dengan Iran.

    “AS tidak bisa mendukung pelanggaran hak oleh pemerintah Afrika Selatan di negaranya atau kebijakan luar negerinya yang mengganggu AS, yang memberikan ancaman keamanan nasional kepada negara kita, sekutu kita, rekan kita di Afrika, dan kepentingan kita,” demikian perintah itu.

    Sementara itu, Lamola membantah tudingan AS mengenai kerja sama nuklir dengan Iran.

    “Meski kami punya hubungan baik dengan Iran, kami tidak punya program nuklir apa pun dengan Iran, tidak punya pula perdagangan untuk dibicarakan,” ujar Lamola.

    Mengenai undang-undang bidang pertanahan, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengatakan undang-undang itu ditujukan untuk menangani ketidakadlian apartheid pada masa lalu.

    Ramaphosa lalu menganggap tudingan AS adalah kebohongan dan misinformasi. Dia menyebut Afrika Selatan hanya menerima dana pencegahan HIV/AIDS dari AS.

    Afrika Selatan menjadi pelopor dalam gugatan kasus genosida Israel. Negara itu menuding Israel telah melanggar Konvensi Genosida 1948.

    Setelah Afrika Selatan, beberapa negara lain yang turut menggugat Israel adalah Nikaragua, Kolombia, Kuba, Libya, Meksiko, Spanyol, Belize, dan Turki.

    Sementara itu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan eks Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant atas kejahatan perang di Gaza.

    BBC melaporkan Trump membela Israel dengan cara menjatuhkan sanksi kepada para staf ICC.

    Puluhan negara, termasuk Inggris, Jerman, dan Prancis, kemudian bereaksi dengan cara mengungkapkan dukungannya kepada ICC. Menurut banyak negara itu, ICC adalah pilar penting dalam sistem pengadilan internasional.

    Adapun AS dan Israel tidak mengakui otoritas ICC yang punya kekuasaan untuk mengadili para individu atas kejahatan genosida, kemanusiaan, dan kejahatan perang.

    Saat ini ICC memiliki 125 anggota di seluruh dunia. ICC pekan lalu meminta para anggotanya untuk bersatu demi keadilan dan hak dasar umat manusia.

    ICC juga berjanji untuk terus menghadirkan keadilan dan harapan kepada jutaan korban kejabatan di seluruh dunia.

    (*)

  • Rencana Trump dan Bayang-bayang Kegagalan Normalisasi Saudi-Israel

    Rencana Trump dan Bayang-bayang Kegagalan Normalisasi Saudi-Israel

    Jakarta

    Usulan tentang masa depan warga Palestina dari Gaza tampaknya mulai bermunculan sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu di Washington pada pekan lalu.

    Pada hari Senin (10/02), Trump mengklarifikasi bahwa penduduk Palestina tidak akan diizinkan untuk kembali ke Jalur Gaza jika rencananya untuk mendapatkan dan membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat perang menjadi kenyataan.

    “Mereka akan memiliki tempat tinggal yang jauh lebih baik… di komunitas yang sedikit jauh dari tempat mereka kini berada, di mana semua bahaya ini muncul,” kata Trump kepada stasiun televisi AS, Fox News.

    Trump melihat negara-negara tetangga, seperti Mesir dan Yordania sebagai negara penampung utama bagi sekitar dua juta warga Palestina dari Gaza.

    Namun, para pakar hukum mengatakan bahwa mengusir warga Palestina dari Gaza melanggar hukum internasional. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan tentang “pembersihan etnis”.

    Gagasan kontroversial lainnya dikemukakan oleh PM Netanyahu. Belum lama ini, ia mengatakan kepada lembaga penyiaran Israel, Channel 14, bahwa “Saudi dapat mendirikan sebuah negara Palestina di Arab Saudi, mereka memiliki banyak lahan di sana.”

    Menanggapi hal ini, tidak hanya Mesir dan Yordania, tapi juga Arab Saudi menegaskan kembali bahwa menerima warga Palestina dari Gaza tidak akan terjadi.

    Penolakan Arab Saudi

    “Kerajaan menegaskan bahwa rakyat Palestina memiliki hak atas tanah mereka, dan mereka bukanlah penyusup atau imigran yang dapat diusir kapan pun pendudukan Israel yang brutal menginginkannya,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi yang diunggah di X.

    Kementerian Luar Negeri Arab Saudi juga menggarisbawahi bahwa “hak-hak rakyat Palestina akan tetap kokoh dan tidak akan ada yang bisa merampas hak-hak tersebut dari mereka, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.”

    Komentar-komentar yang disuarakan dengan tajam tersebut menandai perubahan haluan 180 derajat dari persahabatan diplomatik antara AS dan pemimpin de facto Arab Saudi Mohammed bin Salman, atau MBS, selama masa jabatan pertama Trump dari tahun 2017 hingga 2021.

    “Pada tahun 2017, banyak harapan ditumpukan pada Trump, terutama oleh MBS, yang masih mengonsolidasikan kekuasaannya,” kata Sebastian Sons, peneliti senior di lembaga pemikir Center for Applied Research in Partnership with the Orient (CARPO) yang bermarkas di Bonn, Jerman, kepada DW.

    Pada tahun-tahun berikutnya, hubungan politik dan ekonomi antara kedua negara semakin erat.

    Meski Trump berhasil menengahi hubungan diplomatik, yang dijuluki Perjanjian Abraham, antara Israel dan Sudan, Bahrain, Maroko, dan Uni Emirat Arab, ia tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan Arab Saudi sebelum ia digantikan oleh Joe Biden.

    Negosiasi AS antara Israel dan Arab Saudi terus berlanjut hingga serangan teror Hamas pada tanggal 7 Oktober yang memicu perang di Gaza.

    Sementara itu, setelah 15 bulan berlalu dan Trump kembali menjabat, banyak hal yang telah berubah.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Arab Saudi tak lagi pragmatis?

    “MBS tidak hanya tegas, tetapi juga sangat percaya diri. Ini dapat dilihat dari reaksinya terhadap pernyataan Trump dan Netanyahu mengenai warga Palestina dari Gaza,” kata Sebastian Sons.

    Dalam pandangan Sons, bagaimanapun juga, normalisasi dengan Israel tetap menjadi prioritas utama bagi Washington dan Yerusalem.

    “Lebih tinggi daripada untuk Arab Saudi saat ini,” kata Sons kepada DW.

    “Bagi Arab Saudi, normalisasi hubungan dengan Israel saat ini, dan penekanannya saat ini, adalah hal yang mustahil,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa “hal itu berarti kehilangan kredibilitas serta MBS tidak melihat Netanyahu dan Trump sebagai mitra yang dapat diandalkan untuk mewujudkan solusi dua negara.”

    Para pengamat lain juga setuju.

    “Rencana Trump terkait Gaza akan membuat normalisasi Saudi-Israel semakin sulit,” kata Anna Jacobs, peneliti Teluk dan peneliti non-residen di lembaga think tank yang berbasis di Washington, Arab Gulf States Institute, kepada DW.

    “Saudi telah memperjelas posisi mereka bahwa pemindahan paksa warga Palestina dari tanah mereka tidak dapat diterima,” katanya.

    Aziz Alghashian, peneliti senior di yayasan penelitian yang berbasis di Dubai, Observer Research Foundation, (ORF Middle East), juga mengamati bahwa Arab Saudi telah mengubah fokus politiknya dari pragmatisme menjadi ‘pertikaian’.

    “Saudi bersedia untuk berhadapan langsung dan berbeda pendapat dengan AS, bukannya bersikap pragmatis seperti di masa lalu,” katanya kepada DW.

    Menurutnya, kepercayaan diri ini didukung oleh dukungan publik berskala besar di Arab Saudi dan di seluruh negara Arab.

    “Sikap baru MBS sangat populer di jalanan Arab Saudi,” kata Alghashian.

    Namun, Sebastian Sons dari CARPO tidak mengesampingkan bahwa MBS dan Donald Trump pada akhirnya akan duduk bersama dan mencoba menemukan titik temu, karena keduanya juga perlu fokus pada kepentingan negara mereka.

    “Proyek perombakan ekonomi Arab Saudi, Visi 2030, perlu dijamin,” kata Sons, seraya menambahkan bahwa investasi AS adalah kunci dari proyek tersebut.

    Dan bagi AS, Arab Saudi tetap menjadi mitra utama di Timur Tengah.

    Sons memperkirakan Arab Saudi akan mengupayakan deeskalasi dalam waktu dekat yang dapat melengkapi kalkulasi politik Donald Trump.

    “Saya dapat membayangkan bahwa Trump juga berniat untuk mengajukan tuntutan maksimum untuk memperoleh setidaknya beberapa konsesi dari Arab Saudi,” kata Sons kepada DW.

    Namun, masih harus dilihat apakah hal ini juga mengarah pada pembahasan nasib warga Palestina di Gaza.

    Masa depan mereka masih dalam ketidakpastian setelah Hamas membatalkan gencatan senjata akhir pekan lalu. Saat ini, skenario terburuk bagi penduduk Gaza adalah kembalinya perang.

    Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Jadwal Masih Digodok, Israel Diklaim Akan Lancarkan Serangan Besar ke Iran Beberapa Bulan Lagi – Halaman all

    Jadwal Masih Digodok, Israel Diklaim Akan Lancarkan Serangan Besar ke Iran Beberapa Bulan Lagi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Laporan intelijen Amerika Serikat (AS) menyebutkan Israel akan melancarkan serangan besar ke fasilitas nuklir Iran tahun ini atau beberapa bulan lagi.

    Menurut laporan itu, menjelang lengsernya Presiden AS Joe Biden, Israel mulai mempertimbangkan menyerang Iran karena Iran mulai melemah. Keputusan rencana penyerangan itu dibuat Israel sekitar September 2024.

    Israel disebut mendesak pemerintahan Presiden Donald Trump agar mendukung serangan tersebut.

    Menurut Israel, Trump akan lebih bersedia membantu Israel jika dibandingkan dengan pendahulunya itu.

    Negara Zionis itu juga khawatir terlambat menghentikan kemajuan program nuklir Iran.

    Narasumber yang didapatkan The Wall Street Journal dari militer AS, misi itu akan rumit.

    Oleh karena itu, Israel barangkali akan membutuhkan bantuan AS dan senjata canggih untuk menyerang fasilitas nuklir Iran yang punya pertahanan kuat.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu belum bersedia buka suara tentang rencana serangan. Militer Israel juga memilih bungkam.

    Meski demikian, para pejabat Israel sudah menyampaikan pesan bahwa mungkin akan ada serangan yang lebih besar terhadap Iran.

    Para pejabat Trump disebut sudah mempertimbangkan kemungkinan Israel menyerang fasilitas nuklir Iran. Bahkan, mereka juga mempertimbangkan pasukan AS untuk ikut andil dalam serangan itu.

    Terlepas dari pertimbangan itu, Trump sudah mengaku lebih menyukai solusi diplomatik perihal program nuklir Iran.

    Menurut laporan intelijen, jadwal dan metode serangan Israel terhadap Iran akan bergantung pada sejumlah faktor.

    Faktor itu di antaranya perundingan antara AS-Israel dan nasib gencatan senjata di Gaza dan Lebanon.

    Pakar Israel mengatakan serangan Iran akan menargetkan beberapa area fasilitas nuklir Iran. Beberapa bagian fasilitas itu diamankan di dalam tanah.

    Serangan harus menyeluruh agar Iran tidak bisa membangun kembali fasilitas nuklirnya dengan cepat.

    Sementara itu, eks penasihat keamanan Netanyahu yang bernama Yaakov Amidror mengklaim Israel akan tertarik kepada perjanjian baru yang akan membuat Iran menghentikan program nuklirnya.

    “Jika perjanjian bagus tidak bisa dicapai, Israel akan terpaksa mengambil tindakan terhadap proyek nuklir Iran,” kata Amidror.

    Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi memperingatkan Israel agar tidak menyerang Iran lagi.

    Meski demikian, Aragchi mengatakan Iran sudah siap menghadapi berbagai skenario jika Israel nekat menyerang. Dia berujar serangan Israel bisa memicu “kobaran api yang lebih besar”.

    “Saya berharap Israel menahan diri agar tidak mengambil tindakan sembrono seperti itu karena tindakan itu bisa memicu perang berskala besar,” kata Araghci sekitar sebulan lalu dikutip dari The Times of Israel.

    Dia mengatakan Iran akan lebih suka menempuh jalur diplomasi. Iran juga akan berkonsultasi dengan para sekutunya, termasuk Tiongkok.

    Tahun lalu Israel sudah dua kali melancarkan serangan langsung terhadap Iran.

    Pada bulan April 2024 Israel menyerang sistem pertahanan di dekat fasilitas nuklir Iran. Lalu, pada bulan Oktober jet tempur Israel menyerang fasilitas militer dan sistem pertahanan yang melindungi kota-kota penting di Iran.

    Iran membantah berusaha membuat senjata nuklir. Namun, Israel berulang kali menuding Iran berusaha membuatnya. Senjata nuklir Iran akan menjadi ancaman besar bagi Israel.

    Saat ini hanya ada sedikit kemungkinan tercapainya perjanjian nuklir lantaran minggu lalu Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei menolak adanya perundingan.

    Sementara itu, Trump memberlakukan tekanan maksimal kepada Iran pada bulan-bulan pertamanya menjabat. Dia memilih perjanjian ketimbang serangan terhadap Iran.

    Trump turut berkata bahwa laporan apa pun mengenai rencana serangan AS dan Israel terhadap Iran adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan.

    (*)

  • Menentang Trump, Mesir-Yordania Ajak Negara Arab Rekonstruksi Jalur Gaza Tanpa Usir Penduduknya – Halaman all

    Menentang Trump, Mesir-Yordania Ajak Negara Arab Rekonstruksi Jalur Gaza Tanpa Usir Penduduknya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi membahas upaya membangun kembali Jalur Gaza melalui panggilan telepon dengan Raja Yordania Abdullah II pada hari Rabu (12/2/2025). 

    Panggilan telepon tersebut dilakukan setelah Raja Abdullah II melakukan kunjungan ke Gedung Putih untuk menemui Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    “Kedua pemimpin menekankan keinginan mereka untuk melakukan koordinasi bersama pada semua isu regional, dengan cara yang melayani kepentingan rakyat Mesir dan Yordania serta mendukung kepentingan rakyat Arab,” kata juru bicara resmi kepresidenan Mesir, Mohamed El-Shenawy, Rabu (12/2/2025).

    Al-Shennawy menegaskan Presiden El-Sisi dan Raja Abdullah II menekankan pentingnya penerapan penuh perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza, terus membebaskan tahanan, dan memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan dalam rangka upaya mengakhiri penderitaan kemanusiaan di Jalur Gaza.

    “Kedua pemimpin menekankan pentingnya memulai proses rekonstruksi Jalur Gaza segera dan tidak menggusur rakyat Palestina dari tanah mereka,” katanya.

    Mereka juga menekankan perlunya menghentikan praktik yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

    Selain itu, Mesir dan Yordania menyatakan keinginan mereka untuk bekerja sama erat dengan Presiden AS Donald Trump, dengan tujuan mencapai perdamaian abadi di kawasan Timur Tengah.

    Juru bicara tersebut juga mengungkapkan harapan kedua negara untuk mendirikan negara Palestina di perbatasan 4 Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sesuai dengan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang relevan.

    Dalam panggilan telepon tersebut, Presiden El-Sisi dan Raja Abdullah II membahas cara-cara untuk meningkatkan koordinasi dan konsultasi antara negara-negara Arab.

    Rencananya mereka akan mempersiapkan pertemuan puncak darurat Arab yang akan dihadiri oleh perwakilan dari Mesir, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yordania yang dijadwalkan akan diselenggarakan di Mesir pada 27 Februari 2025.

    Sebelumnya, Mesir dikabarkan akan mengusulkan untuk merekonstruksi Jalur Gaza selama lima tahun tanpa mengusir penduduknya seperti keinginan Donald Trump.

    “Usulan Mesir mengenai Gaza membayangkan rekonstruksi dimulai dari Rafah dan selatan dan berakhir di utara Jalur Gaza, dengan partisipasi negara-negara Arab, Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata sumber Mesir kepada Al Arabiya, Rabu.

    Usulan tersebut akan mencakup pekerjaan dalam dua tahap untuk menyingkirkan puing-puing dan membangun kompleks perumahan.

    Rincian usulan Mesir diperkirakan akan diumumkan minggu depan.

    Donald Trump Ingin Usir Warga Gaza dan AS Menduduki Jalur Gaza

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengatakan ingin menggusur warga Palestina dari Jalur Gaza dan memindahkan mereka secara permanen ke negara tetangga seperti Mesir dan Yordania.

    “Saya pikir akan ada sebidang tanah di Yordania dan Mesir tepat warga Palestina dapat tinggal,” kata Donald Trump setelah bertemu dengan Raja Yordania Abdullah II di Washington, Selasa (11/2/2025).

    “Saya yakin 99 persen bahwa kita akan mampu mencapai sesuatu dengan Mesir juga,” lanjutnya.

    Selain itu, Donald Trump menyatakan rencananya agar AS mengambil alih Jalur Gaza dan mengungkapkan kemungkinan untuk membeli wilayah tersebut.

    “Kami akan mengelola Jalur Gaza dengan sangat baik dan kami tidak akan membelinya,” ujarnya pada hari Selasa.

    Pernyataan Donald Trump memicu kemarahan dari negara-negara Arab dan internasional.

    Sementara itu sekutu Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendukung rencana AS untuk mengusir penduduk Gaza dan menduduki Jalur Gaza.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel

  • Israel Batalkan Cuti Tentara IDF Sebagai Persiapan Lanjutkan Perang Gaza, Netanyahu Manut Trump – Halaman all

    Israel Batalkan Cuti Tentara IDF Sebagai Persiapan Lanjutkan Perang Gaza, Netanyahu Manut Trump – Halaman all

    Israel Batalkan Cuti Tentara IDF Sebagai Persiapan Lanjutkan Perang Gaza

     
    TRIBUNNEWS.COM – Khaberni, mengutip media Israel mengungkapkan bahwa Komando Selatan Tentara Israel (IDF) membatalkan liburan para prajurit untuk bersiap di garis depan Jalur Gaza.

    Sumber media mengutip ini sebagai persiapan IDF untuk dimulainya kembali pertempuran di Jalur Gaza jika perjanjian gencatan senjata dan perdamaian gagal.

    Aksi IDF menyusul pengumuman Gerakan Perlawanan Palestina, melalui sayap militernya, Brigade Al-Qassam, yang menyatakan penundaan penyerahan tahanan Israel kepada tentara pendudukan hingga pemberitahuan lebih lanjut.

    Hamas menunda pembebasan berikutnya sandera Israel karena menilai Israel melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian gencatan senjata.

    Pelanggaran tersebut, kata Hamas, termasuk berlanjutnya serangan terhadap wilayah di Jalur Gaza dan mencegah penduduk di utara mencapai tempat tinggal asal mereka.

    SIAP MASUK GAZA – Foto file yang diambil dari Khaberni, Rabu (12/2/2025) menunjukkan tank-tank pasukan Israel bersiap memasuki Gaza pada Oktober 2023 setelah Operasi Banjir Al-Aqsa terjadi. Israel bersiap memasuki Gaza lagi pada pertengahan Februari 2025 seiring mandeknya negosiasi gencatan senjata dengan Hamas.

    Ancaman Netanyahu, Ikuti Saran Trump

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga sudah mengeluarkan pernyataan terkait situasi kelanjutan negosiasi gencatan senjata di Gaza dengan Gerakan Hamas.

    Setelah melakukan rapat dengan kabinet perangnya, Rabu (12/2/2025), Netanyahu dan kabinet perangnya, merujuk laporan media Israel, akan mengikuti pernyataan Presiden Donald Trump.

    Trump menyebut, jika sandera Israel yang berada di tangan Hamas tidak dibebaskan pada Sabtu (15/2/2025), sesuai jadwal, maka akan tercipta ‘Hell on Earth’ di Gaza, merujuk pada penggunaan kekuatan militer kembali ke wilayah kantung Palestina tersebut.

    “Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Kabinet Perangnya mematuhi pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai pembebasan semua tahanan yang tersisa Sabtu depan,” tulis laporan media Israel dikutip Khaberni, Rabu.

    Pihak Israel juga menilai, seruan Trump soal pengusiran warga Gaza ke lokasi lain, merupakan visi revolusioner.

    “Jika Hamas tidak membebaskan tentara kami yang diculik paling lambat Sabtu sore, gencatan senjata akan berakhir dan tentara akan kembali bertempur,” ancam Netanyahu.

    SANDERA ISRAEL DIBEBASKAN – Foto ini diambil pada Minggu (9/2/2025) dari publikasi resmi Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) pada Sabtu (8/2/2025), memperlihatkan tiga sandera Israel (kiri-kanan); Ohad Ben Ami, Eli Sharabi, Or Levy, berdiri dengan masing-masing diapit oleh dua anggota Brigade Al-Qassam selama pertukaran tahanan ke-5 pada Sabtu (8/2/2025) sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas di Jalur Gaza, dengan imbalan 183 tahanan Palestina. (Telegram Brigade Al-Qassam)

    Perintah Siaga

    Sebelumnya, Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz telah memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk bersiap dengan kemungkinan mereka kembali menyerang Jalur Gaza.

    Instruksi tersebut muncul setelah juru bicara Brigade Al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), Abu Ubaida mengatakan Hamas akan menunda pertukaran sandera pada Sabtu (15/2/2025) minggu ini karena Israel terus menerus melanggar perjanjian gencatan senjata.

    “Pengumuman Hamas untuk menghentikan pembebasan tahanan Israel merupakan pelanggaran total terhadap perjanjian gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan tahanan,” kata Yisrael Katz dalam sebuah pernyataan, Senin (10/2/2025).

    “Saya telah menginstruksikan tentara untuk bersiap pada tingkat kewaspadaan tertinggi terhadap kemungkinan skenario apa pun di Gaza, dan kami tidak akan membiarkan kembalinya kenyataan pada tanggal 7 Oktober,” lanjutnya.

    Sebelumnya, Abu Ubaida mengatakan Hamas memantau pelanggaran yang dilakukan oleh Israel dan telah dilaporkan kepada mediator Qatar, Mesir dan sekutu Israel, Amerika Serikat (AS).

    “Musuh (Israel) menunda pemulangan para pengungsi ke Jalur Gaza utara, dan menargetkan mereka dengan tembakan di berbagai wilayah di Jalur Gaza,” kata Abu Ubaida dalam pernyataannya di Telegram, Senin.

    Juru bicara tersebut juga menyebut pelanggaran lain yang dilakukan oleh Israel termasuk menghambat masuknya kebutuhan tempat berlindung seperti tenda, rumah prefabrikasi, bahan bakar, dan mesin pembersih puing untuk mengambil jenazah serta menghambat masuknya obat-obatan dan keperluan medis.

    “Penyerahan tahanan Zionis (Israel), yang dijadwalkan dibebaskan pada hari Sabtu, akan ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut. Pembebasan tahanan akan ditunda sampai pendudukan berkomitmen dan memberikan kompensasi atas minggu-minggu terakhir, secara retroaktif,” kata Abu Ubaida.

    Ia menegaskan Hamas berkomitmen terhadap ketentuan perjanjian gencatan senjata selama Israel juga mematuhinya.

    Sementara itu, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menanggapi pengumuman Hamas dengan mengatakan Israel bersikeras mematuhi perjanjian gencatan senjata.

    “Netanyahu memulai konsultasi keamanan di hadapan Menteri Pertahanan, Luar Negeri, dan Keuangan, serta Anggota Knesset Aryeh Deri,” lapor Otoritas Penyiaran Israel.

    Selain itu, Otoritas Penyiaran Israel melaporkan delegasi Israel telah kembali dari Doha dan kabinet keamanan akan bertemu pada hari Selasa (11/2/2025) untuk membahas tahap kedua kesepakatan tersebut.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

      
     
     

     
     

  • Sebut AS Munafik, Penulis Israel: Mengapa Donald Trump Tak Tampung Penduduk Gaza di Amerika Saja? – Halaman all

    Sebut AS Munafik, Penulis Israel: Mengapa Donald Trump Tak Tampung Penduduk Gaza di Amerika Saja? – Halaman all

    Penulis Israel: Mengapa Donald Trump Tak Tampung Penduduk Gaza di Amerika Saja?

     

    TRIBUNNEWS.COM – Seorang penulis Israel menilai, untuk membuktikan keseriusan niat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengusir penduduk Gaza ke luar negeri, ia harus memberikan contoh dengan mengeluarkan setengah juta visa imigrasi Amerika kepada warga Palestina di Jalur Gaza.

    Penulis dan pencatat jajak pendapat asal Israel tersebut, Sifer Plotzker menuangkan penilaian berbau sindiran itu di artikelnya di Yedioth Ahronoth dengan judul, “Beginilah cara Trump dapat melaksanakan rencananya untuk Jalur Gaza.”

    Seperti diketahui, Trump menyerukan pemindahan penduduk Jalur Gaza, dan meminta Yordania dan Mesir untuk menerima penduduk Gaza.

    Ia juga mengungkapkan – dalam konferensi pers dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu Selasa lalu di Washington, AS – niatnya untuk merebut Jalur Gaza setelah perang berakhir dan memindahkan penduduk Palestina dari sana, yang disambut dengan kritik internasional, khususnya dari dunia Arab.

    Trump juga tidak mengesampingkan kemungkinan pengerahan pasukan AS untuk mendukung pembangunan kembali Jalur Gaza.

    Atas itu, Trump mengharapkan Amerika Serikat memiliki “kepemilikan jangka panjang” di daerah kantong Palestina yang terkepung itu.

    USIR WARGA GAZA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Pemerintah AS dilaporkan berniat mengambil alih Jalur Gaza. (Instagram)

    Trump Harus Buktikan Keseriusan Omongannya

    Meskipun Plotzker meragukan kelayakan rencana Trump, dalam usulan yang tampaknya kontroversial, ia mengatakan kalau untuk membuktikan keseriusan niatnya, presiden AS tersebut harus menandatangani perintah eksekutif yang memberikan setengah juta visa imigrasi ke Amerika Serikat bagi warga Palestina di Jalur Gaza.

    Setelah AS melakukan hal tersebut, Selandia Baru, Spanyol, Norwegia, Uni Emirat Arab, dan negara-negara lain diharapkan akan mengikuti langkah AS tersebut dengan menerbitkan 200.000 visa imigrasi bagi warga Gaza.

    Ia menilai keputusan Trump ini akan sangat logis, karena – menurut penulis – membuka pintu Amerika Serikat bagi setengah juta warga Palestina dari Gaza akan menjadi preseden, mekanisme dan tanda untuk melaksanakan seluruh rencana Trump.

    Si penulis Israel bertanya, “Mengapa presiden AS memohon kepada negara-negara miskin untuk menampung warga Palestina yang tinggal di tenda-tenda sementara di Jalur Gaza, jika kekuatan dan kekayaan negaranya memungkinkannya untuk dengan mudah menampung sepertiga dari mereka?”

    Untuk mendukung argumennya, Plotzker menambahkan, “Tahun lalu saja, 3,5 juta warga negara tetangga berimigrasi ke Amerika Serikat, sebagian besar dari mereka tanpa visa masuk, apalagi visa imigran.”

    GAZA UTARA – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English yang diambil pada Senin (10/2/2025) menunjukkan keadaan kehancuran Gaza Utara setelah pasukan Israel mundur dari Koridor Netzarim pada hari Minggu (9/2/2025). (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English)

    Usulan AS Tanah Air Baru Warga Gaza, Bukti Trump Hipokrit 

    Selain itu, Plotsker percaya, jika rakyat Gaza menemukan rumah baru mereka di seberang Amerika, dan pada saat yang sama Amerika menguasai Gaza dalam waktu yang lama, mereka akan dapat kembali ke Gaza sebagai warga Amerika dari Gaza, berintegrasi dalam pembangunan kembali, dan menjadi tulang punggung “Jalur Gaza baru yang indah,” seperti yang dikatakan Trump.

    Plotsker juga mempromosikan idenya bahwa migrasi warga Palestina ke Amerika akan mengubah cara pandang warga Palestina yang menganggap meninggalkan Gaza sebagai pengungsian, karena menurutnya migrasi ke Amerika adalah hal yang diinginkan.

    Ia menambahkan, menggambarkan kepindahan keluarga Palestina dari tenda di reruntuhan Gaza utara ke lingkungan perumahan baru di Arizona sebagai “pengungsian” adalah hal yang menggelikan. 

    PENGUNGSI PALESTINA – Warga Palestina mengungsi dari kamp pengungsi Jenin pada 23 Januari 2025. Warga Palestina terpaksa mengungsi setelah pasukan Israel melancarkan serangan militer besar-besaran. (

    “Tidak ada pemimpin politik serius yang berani menyerukan warga Palestina untuk menolak kemungkinan masa depan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri, anak-anak dan cucu-cucu mereka, demi tinggal di tenda-tenda reyot dan menerima bantuan dari organisasi-organisasi bantuan,” tulis dia mengolok-olok ide Trump.

    Namun, di akhir artikel, Plotsker mengemukakan kalau ide dan usulannya agar AS menampung warga Gaza hanya sebagai argumen dan meng-counter ketidaknyataan ide dan seruan Donald Trump mengusir warga Palestina di Gaza.

    Bukan cuma untuk menunjukkan kalau Trump tidak realistis, argumen Plotsker juga untuk membuktikan kemunafikan ide Trump tersebut.

    “Peluang untuk menerapkan gagasan tersebut di bawah pemerintahan Trump, yang telah membela penutupan Amerika terhadap imigran, sangat mendekati nol, tetapi tanpanya, peluang untuk menerapkan komponen lain dari rencana rekonstruksi dan pembangunan Gaza juga nol, dan ini menunjukkan kemunafikan gagasan tersebut,” katanya.

    Si penulis Israel menyimpulkan artikelnya dengan menekankan kalau tidak ada rencana praktis lain sama sekali, dan tidak ada badan internasional atau Arab yang siap menanggung beban mengendalikan Gaza dan mengelola rekonstruksinya.

     

     

    (oln/khbrn/*)