STT GDC Incar Pembiayaan Hijau, Modal untuk Ekspansi Data Center

STT GDC Incar Pembiayaan Hijau, Modal untuk Ekspansi Data Center

Bisnis.com, JAKARTA— Industri pusat data atau data center di Indonesia tengah memasuki fase baru dengan pembiayaan hijua sebagai salah satu kanal mendapatkan modal untuk ekspansi. 

Country Head ST Telemedia Global Data Centres (STT GDC) Indonesia, Hendrikus Gozali, mengatakan bank-bank lokal kini mulai merangkul pembiayaan untuk infrastruktur digital. 

Hal ini menandai pergeseran dari pola pembiayaan tradisional yang selama ini lebih banyak mengalir ke sektor pertambangan dan infrastruktur fisik.

Menurut Hendrikus, terdapat dua perubahan besar dalam model pembiayaan yang kini menguntungkan pengembang pusat data, yakni adopsi konsep pembiayaan hijau dan struktur pembayaran yang lebih fleksibel.

“Mereka juga beralih dari amortisasi kaku ke model pembayaran penuh. Jadi ini sangat membantu pusat data untuk berkembang,” kata Hendrikus dalam acara Citi Data Center Day di Jakarta pada Senin (27/10/2025).

Lebih lanjut, Hendrikus mengungkapkan STT GDC secara global berkomitmen terhadap inisiatif hijau dan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). 

Baginya, komitmen terhadap ESG bukan hanya kewajiban korporasi, tetapi juga tanggung jawab moral. 

Pendekatan tersebut, kata Hendrikus, membuat STT GDC semakin menarik bagi lembaga keuangan yang mencari proyek-proyek berkelanjutan.

Hendrikus menilai dorongan adopsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan beban kerja GPU (graphics processing unit) telah mengubah kebutuhan teknis pusat data secara drastis.

Kenaikan kebutuhan daya terus berlanjut seiring perkembangan teknologi chip AI. 

Perubahan cepat ini membuat pengembang pusat data tidak hanya memikirkan modal proyek, tetapi juga strategi land banking (pengamanan lahan) dan power banking (jaminan pasokan listrik).

“Di sinilah biaya akan diinvestasikan. Jadi, saya pikir menarik, land banking dan power banking. Power banking artinya Anda perlu memiliki daya,” ucap Hendrikus.

Menurut Hendrikus, lembaga keuangan perlu memahami karakteristik bisnis pusat data yang sangat dinamis, baik dari sisi teknis maupun model kepemilikan dan kemitraan teknologi. 

Tidak semua bank merespons dengan cara yang sama. Beberapa bank regional atau berbasis Tiongkok dinilai masih berhati-hati, sementara lembaga keuangan dari Timur Tengah dan Eropa menunjukkan minat lebih besar tergantung pada struktur proyek dan mitra teknologinya.

Hendrikus menyebut tantangan terbesar industri pusat data bukan berasal dari sisi teknologi, melainkan faktor eksternal seperti geopolitik, tarif, dan kebijakan kedaulatan data. Selain itu, perubahan kebijakan energi dan tarif di negara tetangga dapat berdampak pada efisiensi dan valuasi aset.

Karena itu, Hendrikus menilai penting adanya koordinasi kebijakan publik dan dukungan pemerintah terhadap investor.

Meski menghadapi berbagai tantangan, Hendrikus optimistis terhadap prospek industri pusat data di Indonesia. Dia melihat perhatian pemerintah terhadap pengembangan pusat data dan AI semakin meningkat.

“Indonesia sekarang, pemerintah sangat tertarik dengan pusat data. Mereka sedang banyak bekerja. Mereka benar-benar ingin menjadi negara AI pertama di Asia Tenggara,” ujarnya.