Surabaya (beritajatim.com) – Sentimen warga Surabaya terhadap organisasi Madas kian tajam pasca-kejadian lansia 80 tahun di Dukuh Kuwukan 27, Sambikerep yang diseret keluar dari rumahnya sendiri pada 6 Agustus 2025.
Diketahui, Lansia bernama Elina itu mendapat aksi kekerasan dari sekelompok orang yang diduga merupakan anggota Madas (Masyarakat Madura asli).
Selain mendapat aksi kekerasan, barang-barang Elina dan keluarga juga hilang. Bahkan, rumah yang sudah menjadi tempat berlindung Elina dan keluarga sejak tahun 2011 itu dibongkar paksa. Peristiwa ini lantas dilaporkan ke Polda Jatim dan masih dalam tahap penyelidikan.
Peristiwa naas yang dialami Elina lantas viral di media sosial. Berbagai kalimat kecaman dan hinaan dilontarkan oleh netizen kepada anggota Madas. Puncaknya ratusan orang mengatasnamakan Arek Surabaya mendatangi kantor organisasi Madas di Jalan Marmoyo, Wonokromo, Jumat (26/12/2025). Mereka menuntut agar organisasi yang meresahkan warga agar dibubarkan.
Dosen Hukum Universitas Negeri Malang, Adinda Dwi Larasati mengatakan, peristiwa demo oleh ratusan arek Surabaya ke kantor organisasi Madas itu merupakan sinyal adanya rasa tidak puas dari warga kepada Pemerintah dalam menangani dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh para oknum anggota ormas.
Menurut Adinda, warga Surabaya saat ini tengah jengah oleh perilaku premanisme yang dibungkus dengan baju ormas. Berbagai oknum anggota ormas kerap menggunakan organisasi untuk melakukan perbuatan yang meresahkan. Seperti pungutan liar, arogansi untuk melumpuhkan Surabaya, penolakan parkir digital di tempat usaha hingga peristiwa nenek Elina.
“Ormas juga kerap digunakan bagi para penguasa dan pengusaha untuk mengamankan kepentingan pribadi dengan instan. Dengan cara menakut-nakuti, menindas, hingga mengintimidasi. Seperti yang terjadi di peristiwa Nenek Elina,” kata perempuan yang akrab dipanggil Dinda ini.
Dinda menjelaskan, dalam peristiwa Nenek Alina, sengketa hak tanah atau bangunan seharusnya diselesaikan di ranah hukum privat dengan melewati sistem peradilan secara perdata. Namun, Dinda menyadari jika proses hukum yang sesuai aturan tidak semudah mengerahkan anggota ormas untuk tujuan yang sama.
Massa dari Arek Surabaya berdemo di depan kantor Madas di Jalan Marmoyo, Wonokromo
“Menggunakan ormas sebagai eksekutor lapangan itu sama seperti mengangkangi kewenangan Pengadilan Negeri,” imbuh Dinda.
Menurut Adinda, Peristiwa Nenek Elina bisa menjadi gerbang konflik antar suku yang semakin besar. Dalam situasi yang kian memanas, Adinda menyarankan agar pihak kepolisian segera bertindak cepat menangkap pelaku pengrusakan rumah dan kekerasan kepada Nenek Elina. Termasuk juga menangkap aktor intelektualnya.
“Sekarang isunya membesar, dari urusan sengketa hak menjadi urusan antar suku. Jangan sampai kita terjebak pada politik adu domba. Kembalikan ke asal muasalnya, ini sengketa hak. Bukan sengketa antar suku,” jelasnya.
Sebagai praktisi hukum, Adinda menilai ketegasan aparat dan negara dalam menegakan aturan bisa melokalisir dan memperkecil konflik di kalangan arus bawah, terutama ormas kesukuan lain.
“Pemkot Surabaya juga harus tegas. Jangan biarkan ada gerakan balas dendam dari ormas lain yang mengatasnamakan suku tertentu. Pihak kepolisian juga harus tepat dalam melakukan proses hukum. Sehingga isu kesukuan tidak semakin melebar dan bisa redam,” tuturnya.
Dosen Universitas Negeri Malang itu juga mengingatkan kedepan ormas harus mematuhi Peraturan Daerah (Perda) Jawa Timur No 11 tahun 2022 tentang pemberdayaan organisasi kemasyarakatan. Supaya peraturan tersebut berjalan maksimal, peran Bakesbangpol sebagai leading sector harus diperkuat. Terutama dalam bidang pembinaan.
Jadi kedepan memang harus ada perbaikan. Dari Pemerintah Daerah lewat Bakesbangpol, pihak kepolisian yang menegakan aturan, juga masyarakatnya sendiri. Sehingga kedepan tidak ada lagi sentimen isu tertentu di Surabaya maupun di Indonesia,” pungkas Adinda. [ang/suf]
