Skandal Mafia Tanah Green Eleven Beji: Direktur PT MAG Dilaporkan ke Polres Pasuruan

Skandal Mafia Tanah Green Eleven Beji: Direktur PT MAG Dilaporkan ke Polres Pasuruan

Pasuruan (beritajatim.com) – Kasus dugaan penggelapan aset properti mencuat di Desa Kenep, Kecamatan Beji, yang melibatkan lahan seluas 4,2 hektare. Pemilik lahan resmi melaporkan Slamet Supriyanto selaku Direktur PT Metsuma Anugra Graha (MAG) atas dugaan penyerobotan hak milik.

Kekecewaan mendalam dirasakan korban karena kepercayaan yang diberikan justru berujung pada pengalihan aset secara sepihak. Korban menyebut bahwa harta kekayaannya kini telah diakui oleh pihak lain tanpa adanya persetujuan resmi sebelumnya.

“Setelah saya berikan kepercayaan malah membelot, jadi harta saya diakui tanpa sepengetahuan saya,” ujar pemilik tanah, Hendro Andri Yuwono.

Modus operandi yang dilakukan diduga melibatkan jaringan mafia tanah untuk mengubah status dokumen kepemilikan. Hendro menuding adanya keterlibatan sejumlah oknum notaris yang membantu proses perubahan Sertifikat Hak Milik (SHM) menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Pihak pelapor menegaskan bahwa meskipun status dokumen diubah, keaslian sertifikat awal tetap menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Ia mengklaim terdapat 11 petak tanah yang proses administrasinya dilakukan secara ilegal oleh sindikat tersebut.

“Dari saya punya SHM dirubah SHGB, semua main mafia cari notaris yang bisa dibuat kerjasama,” lanjut Hendro Andri Yuwono.

Investigasi mandiri yang dilakukan korban mengungkap fakta mengejutkan mengenai nama-nama yang tercantum dalam sertifikat baru. Diduga terdapat oknum anggota kepolisian yang bertugas di wilayah Kejayan yang ikut memiliki sertifikat hasil rekayasa tersebut.

Secara total, lahan yang dipermasalahkan mencakup 39 sertifikat SHM dan 6 dokumen Latter C yang berlokasi di wilayah Beji. Korban memastikan bahwa seluruh dokumen Latter C tersebut telah dimanipulasi untuk kepentingan pihak terlapor.

“Semuanya direkayasa, bahkan setelah ditelusuri ada SHM yang atas nama oknum polisi yang tugas di Kejayan,” tegas Hendro.

Sejarah sengketa ini bermula ketika lahan tersebut sempat dikelola oleh pihak pengembang dari Gresik namun tidak berjalan lancar. Hendro akhirnya menarik kembali asetnya dan menebus 30 sertifikat di Bank BTN Malang dengan uang pribadi sebesar Rp1,5 miliar.

Setelah penebusan tersebut, Slamet Supriyanto datang menawarkan kerja sama pengelolaan lahan dengan janji pembayaran yang besar. Terlapor menjanjikan uang ganti rugi senilai Rp7,5 miliar kepada korban dalam jangka waktu lima tahun.

“Setelah semua saya serahkan sertifikat itu, dia janji akan memberikan ganti rugi Rp7,5 miliar dengan jangka waktu 5 tahun,” tutur Hendro.

Namun, hingga batas waktu yang ditentukan, janji pembayaran tersebut tidak kunjung dipenuhi oleh pihak direktur PT MAG. Terlapor selalu berdalih bahwa kegagalan pembayaran disebabkan oleh para pembeli unit rumah yang belum melunasi kewajiban mereka.

Kuasa hukum korban mendesak pihak kepolisian untuk segera mengusut tuntas siapa saja aktor di balik layar kasus ini. Pihaknya berharap proses hukum dapat mengembalikan hak-hak kliennya yang telah dirampas selama bertahun-tahun.

“Kami ingin agar pihak kepolisian membuka tabir kebenaran yang selama ini klien kami sudah bersabar,” ucap pengacara pelapor, Eko Handoko.

Polres Pasuruan melalui bagian Humas mengonfirmasi bahwa berkas laporan terkait kasus perumahan Green Eleven ini sudah diterima. Saat ini, kepolisian tengah fokus mengumpulkan data dan bukti-bukti lapangan untuk memperjelas perkara.

Langkah selanjutnya dari kepolisian adalah melakukan pemanggilan terhadap pihak terlapor untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Proses penyelidikan akan terus berjalan guna memastikan ada tidaknya unsur pidana dalam peralihan hak tanah tersebut.

“Kami membenarkan adanya laporan tersebut dan saat ini sedang melakukan mengumpulkan data dari terlapor,” pungkas Kasi Humas Polres Pasuruan, Joko. [ada/beq]