Bisnis.com, JAKARTA – Kecelakaan pesawat JetBlue Airbus A320 yang mengakibatkan belasan penumpang dilarikan ke rumah sakit kini memicu perdebatan teknis serius di industri penerbangan.
Seorang pakar radiasi menuding bahwa kegagalan sistem navigasi pesawat tersebut tidak hanya disebabkan oleh cuaca atau kesalahan teknis biasa, melainkan dampak dari sinar kosmik yang memancar dari ledakan bintang atau supernova.
Melansir dari Space Senin (08/12/2025), insiden ini terjadi pada 30 Oktober saat pesawat dalam perjalanan dari Cancun menuju Newark.
Pesawat tiba-tiba menukik tajam ribuan kaki tanpa peringatan. Hal itu menyebabkan kepanikan dan guncangan hebat yang mencederai sekitar 20 orang, di mana 15 di antaranya harus mendapatkan perawatan rumah sakit akibat luka serius termasuk cedera kepala.
Beruntung sang pilot berhasil menstabilkan pesawat dan melakukan pendaratan darurat di Tampa.
Pihak Airbus sebelumnya mengaitkan insiden tersebut dengan “radiasi matahari yang intens” yang mengganggu peralatan navigasi pesawat. Namun, pakar ruang angkasa dan radiasi dari University of Surrey Clive Dyer memberikan analisis berbeda yang menyoroti kerentanan infrastruktur teknologi penerbangan modern.
Dyer menilai tingkat radiasi matahari lokal pada tanggal kejadian tidak cukup besar untuk memicu malfungsi fatal pada pesawat. Sebaliknya, dia meyakini bahwa pesawat tersebut terpapar aliran partikel berenergi tinggi dari supernova di galaksi lain.
“Sinar kosmik dapat berinteraksi dengan mikroelektronika modern dan mengubah status sirkuit,” kata Dyer dikutip dari Space.com.
Secara teknis, Dyer menjelaskan fenomena yang disebut sebagai bit flip. Partikel proton yang dilontarkan supernova dengan kecepatan cahaya dapat menembus atmosfer dan sistem pesawat, lalu mengubah data biner dalam sirkuit elektronik.
“Mereka [sinar kosmik] dapat mengacaukan informasi dan membuat segala sesuatunya salah. Namun, mereka juga dapat menyebabkan kegagalan perangkat keras ketika mereka menginduksi arus dalam perangkat elektronik dan membakarnya,” papar Dyer.
Analisis ini membawa implikasi serius bagi manajemen risiko di sektor manufaktur pesawat terbang. Meskipun sinar kosmik secara konstan menabrak atmosfer bumi, sebagian besar tidak memiliki daya rusak yang cukup untuk menjatuhkan pesawat komersial. Akan tetapi, lonjakan energi dari supernova menghadirkan ancaman yang berbeda dibandingkan suar matahari.
Dyer memperingatkan bahwa industri penerbangan mungkin telah mengalami fase “kepuasan diri” selama dua dekade terakhir. Pasalnya, absennya peristiwa cuaca matahari yang ekstrem dalam 20 tahun terakhir membuat standar proteksi elektronik mungkin tidak lagi memprioritaskan mitigasi terhadap gangguan kosmik tingkat tinggi.
“Ini bergantung pada produsen untuk memproduksi elektronik yang tangguh, terutama pada unit-unit yang kritis bagi keselamatan,” tegas Dyer. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)
