Sidang Vonis Lepas CPO, Marcella Bersaksi soal Rp60 M dan Ancaman Panitera Nasional 10 September 2025

Sidang Vonis Lepas CPO, Marcella Bersaksi soal Rp60 M dan Ancaman Panitera
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 September 2025

Sidang Vonis Lepas CPO, Marcella Bersaksi soal Rp60 M dan Ancaman Panitera
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, mengaku baru mendengar soal uang Rp60 miliar saat suaminya, Ariyanto Bakri atau Ary Bakri, sedang melakukan
video call
dengan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
Hal ini diungkapkan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi CPO.
“Ari lagi nyetir, ada telepon masuk, saya di samping Ari. Awalnya saya enggak catat. Tapi, kemudian… Di situ saya pertama kali dengar bahwa ada 20×3,” ujar Marcella saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
Baik Marcella maupun JPU tidak menyebutkan secara spesifik kapan
video call
ini dilakukan.
Namun, berdasarkan keterangan para saksi dalam persidangan, video call ini terjadi saat berkas perkara CPO korporasi ini sudah masuk ke dalam Pengadilan Tipikor di PN Jakpus, tetapi belum diputus.
Dalam
video call
yang sama, Marcella mengaku mendengar ancaman dari Wahyu kepada Ari.
Ancaman ini ditujukan pada klien Marcella yang merupakan korporasi yang menjual minyak goreng.
“Terus muncul, (dalam
video call
dengan Wahyu) jangan harap klien bisa juga jual minyak lagi,” jelas Marcella.
Rangkaian video call ini pernah disinggung juga oleh Ariyanto saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang pada Rabu (27/8/2025).
Pada sidang itu, Ariyanto mengaku tidak mengurus langsung perkara ini.
Pihak yang tercatat menjadi kuasa hukum pihak korporasi adalah Marcella Santoso, istri Ariyanto.
Dalam video call itu, Wahyu menegaskan bisa membereskan perkara yang tengah berjalan ini.
“Kemudian, dia (Wahyu) bilang, ‘Lebih baik, lo kasih gue saja kerjaan ini karena kerjaan ini, pasti gue pegang bisa beres,’” ujar Ariyanto menirukan ucapan Wahyu.
Uang Rp 60 miliar itu merupakan permintaan dari Wahyu Gunawan.
Awalnya, korporasi CPO hanya menyiapkan Rp 20 miliar.
Namun, Arif Nuryanta melalui Wahyu Gunawan meminta agar uang suap ini ditambah agar bisa dibagikan kepada tiga majelis hakim yang memutus perkara.
Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, didakwa menerima Rp 15,7 miliar; Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.