Surabaya (beritajatim.com) – Sidang perkara kepailitan PT Mas Murni Indonesia Tbk, pemilik Garden Palace Hotel Surabaya, berlangsung panas. Pihak debitur dan kreditur kompak memprotes proses verifikasi piutang serta rekomendasi pembubaran perusahaan yang dinilai janggal.
Usai sidang, kuasa hukum PT Mas Murni, Aldrian Vernandito, mengungkap adanya dugaan kejanggalan serius dalam proses verifikasi piutang. Ia menyebut tidak pernah ada pencocokan piutang antara kurator dan debitur, namun secara tiba-tiba muncul daftar piutang tetap serta rekomendasi pembubaran perusahaan.
“Tiba-tiba kurator mengeluarkan rekomendasi pengakhiran, lalu hakim pengawas mengusulkan pembubaran. Padahal tidak ada verifikasi ulang seperti yang kami minta secara resmi,” tegas Aldrian usai sidang.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan kredibilitas surat rekomendasi yang menyebut pencocokan piutang telah dilakukan. “Kapan kami mencocokkan piutang? Itu pertanyaan besar yang sampai hari ini belum dijawab oleh kurator maupun hakim pengawas,” ujarnya.
Selain verifikasi piutang, Aldrian menyoroti inkonsistensi pengadilan dalam memberikan akses terhadap dokumen sidang. “Sebelumnya majelis memperbolehkan dokumen rekomendasi diminta melalui panitera, tapi ketika kami ajukan permintaan resmi, justru tidak diberikan. Ini membingungkan dan merusak transparansi hukum,” tambahnya.
Ia juga menilai pemanggilan sidang awal cacat hukum, karena dilakukan bukan oleh juru sita sebagaimana diatur dalam hukum acara. “Pemanggilan sidang bukan dilakukan oleh juru sita, sehingga sejak awal sudah cacat secara formil,” tegas Aldrian.
Kuasa hukum itu menilai tim kurator gagal melindungi hak-hak kreditur dan pemegang saham. Padahal, aset perusahaan seperti gedung di Embong Malang dan Garden Palace Hotel masih tersedia namun belum dimaksimalkan dalam proses pemberesan.
Tak hanya dari pihak debitur, keberatan juga datang dari perwakilan kreditur. Kuasa hukum salah satu koperasi kreditur, Arief Syahrul Alam, menuturkan adanya laporan dugaan pemalsuan dokumen daftar piutang tetap yang sudah disampaikan ke Polda Jawa Timur. Bahkan, kata Arief, kurator yang sama pernah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri atas perkara serupa.
“Ada dua laporan di Bareskrim, dan biayanya diambil dari Boedel Pailit, masing-masing Rp1 miliar dan Rp1,5 miliar. Padahal enam kreditur lain belum dibayar, tetapi kurator mengklaim sudah melakukan pemberesan,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa prioritas pemberesan seharusnya diberikan kepada kreditur preferen seperti pajak dan buruh, bukan membebankan biaya hukum yang belum jelas dasarnya pada aset pailit. “Separatis punya hak tanggungan, lalu bagaimana dengan yang konkuren?” tegas Abah Alam.
Sebagai informasi, PT Mas Murni Indonesia Tbk adalah perusahaan terbuka yang tercatat di Bursa Efek Indonesia sejak 1994, bergerak di bidang perhotelan dan properti. Dua aset utamanya adalah Garden Palace Hotel di Jalan Yos Sudarso dan gedung di Jalan Embong Malang, Surabaya.
Pandemi COVID-19 menjadi titik balik krisis keuangan perusahaan. Operasional hotel lumpuh, banyak karyawan dirumahkan, hingga akhirnya beberapa eks-karyawan mengajukan permohonan PKPU karena keterlambatan pembayaran pesangon. Meski sebagian kewajiban telah dibayar sesuai perjanjian, kesalahan teknis transfer akibat rekening yang ditutup sepihak dijadikan dasar untuk mempailitkan perusahaan. (uci/kun)
