Setumpuk PR Registrasi SIM Card dengan Biometrik: Lansia, 3T, dan Keamanan

Setumpuk PR Registrasi SIM Card dengan Biometrik: Lansia, 3T, dan Keamanan

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tetapkan registrasi SIM card dengan biometrik pengenalan wajah mulai 1 Juli 2026, namun sejumlah hambatan harus diantisipasi agar program ini berjalan lancara.

Pakar Keterbukaan Informasi Publik dan Pelindungan Data Pribadi Alamsyah Saragih, menilai masih banyak aspek yang harus dipertimbangkan secara serius sebelum kebijakan tersebut diterapkan.

Menurut Alamsyah, biometrik memiliki risiko yang cukup besar. Biometrik bukanlah kata sandi yang bisa diganti apabila terjadi kebocoran data. Jika data biometrik bocor, risikonya bersifat seumur hidup.

“Ada tiga risiko yang harus diperhatikan bukan hanya pelanggaran privasi, tetapi juga eksklusi sosial dan mission creep,” ujarnya di acara talkshow bertajuk Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition yang digelar Komdigi di Jakarta, Rabu (17/12/2025)

Mantan Komisioner Ombudsman RI periode 2016–2021 itu menambahkan kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, pekerja informal, serta masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil berpotensi mengalami kesulitan dalam mengakses sistem biometrik.

Keterbatasan infrastruktur dan literasi digital di sejumlah daerah juga menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, kesiapan akses teknologi biometrik di Indonesia dinilai belum merata. Alamsyah mencontohkan potensi persoalan dalam kondisi darurat.

“Kalau ini tidak dimitigasi, ini akan jadi sumber keributan. Tidak kebayang misalnya ada bencana, handphone hilang, lalu orang harus pakai face recognition, tapi sistemnya belum jalan,”

Untuk menghindari berbagai risiko tersebut, Alamsyah menyarankan pemerintah melakukan simulasi kebijakan dengan berbagai skenario kasus sebelum implementasi penuh dilakukan. Simulasi ini penting untuk mengidentifikasi potensi masalah dan menyiapkan solusi yang adil bagi seluruh masyarakat.

Alamsyah juga menekankan pentingnya pembatasan tujuan penggunaan data biometrik secara tegas. Menurutnya, tanpa pembatasan yang ketat, data biometrik yang awalnya digunakan untuk verifikasi kepemilikan SIM berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan lain.

“Kalau tidak ada pembatasan, niscaya bisa digunakan untuk yang lain. Mau tidak mau pemerintah harus membatasi dengan sangat ketat dan membangunnya bersama pihak-pihak lain,” ujarnya.

Selain itu, jaminan hukum atas opsi non biometrik juga dinilai penting. Opsi ini diperlukan untuk memastikan keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu atau tidak memungkinkan menggunakan sistem biometrik, seperti lansia dan penyandang disabilitas.

Alamsyah menilai mitigasi harus menjadi prioritas utama sebelum kebijakan ini dijalankan.

Beberapa langkah mitigasi yang perlu dilakukan antara lain dasar hukum khusus dan pembatasan tujuan penggunaan biometrik, pemisahan database biometrik dan data komunikasi, penerapan enkripsi serta prinsip irreversibility, penguatan hak subjek data, penyediaan opsi non biometrik dan kebijakan inklusif, pengawasan independen, sanksi tegas, serta audit berkala, dan larangan penggunaan biometrik untuk surveillance massal

Perlu diperhatikan praktik pengawasan massal selama ini justru paling banyak dilakukan oleh aparat negara.

“Perilaku surveillance massal ini paling banyak dilakukan oleh aparat. Be careful kalau untuk tujuan itu. Kalau mau dilakukan, harus ada aturan yang jelas, sementara aturan untuk surveillance massal itu belum ada,” tegasnya.

Alamsyah juga menguraikan sejumlah poin regulasi yang dinilai belum siap. Pertama, belum adanya pasal eksplisit yang membatasi penggunaan biometrik SIM card hanya untuk registrasi SIM, sehingga membuka risiko function creep ke ranah lain seperti perpajakan, intelijen, dan profiling.

Kedua, belum terdapat larangan tegas terkait integrasi database biometrik dengan data komunikasi.

Ketiga, opsi nonbiometrik belum dijamin secara eksplisit dalam regulasi yang ada.

Keempat, hak warga sudah diatur dalam UU PDP, namun mekanisme implementasinya masih lemah dan penegakannya belum teruji.

Terakhir, pengawasan independen masih menjadi persoalan. Otoritas pelindungan data pribadi saat ini masih berada di bawah eksekutif dan belum setara dengan Data Protection Authority (DPA) di Eropa yang bersifat independen.

Diketahui, Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah,mengatakan sistem biometrik akan ditetapkan mulai 1 Juli 2026 dan wajib digunakan untuk seluruh pendaftaran kartu baru.

Kebijakan ini diambil sebagai respons atas kondisi keamanan digital Indonesia yang dinilai memprihatinkan.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga saat ini kerugian akibat kejahatan digital atau digital scam telah mencapai Rp8,7 triliun. Sebanyak 399.780 konsumen tercatat telah melaporkan kasus penipuan digital kepada OJK. (Nur Amalina)