Jember (beritajatim.com) – Setelah 72 tahun, dua bidang tanah kas dua desa di Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, Jawa Timur, diklaim oleh Indah Artiningsih dan kawan-kawan, ahli waris almarhum Emanoel Soepono Hardjo, seorang perwira Angkatan laut yang berdinas pada 1950-an di Surabaya.
Dua bidang tanah itu adalah tanah negara hak garap seluas kurang lebih 15 hektare dengan batas-batasnya, dan tanah negara bekas Acta Van Eigendom Nomer 3984 seluas 17.6703 meter persegi yang dalam surat tanah nomor 100 tertanggal 22 Juli 1927 atas nama Fritz Kin, seorang warga Eropa.
Farid Wajdi, kuasa hukum keluarga ahli waris mengatakan, telah terjadi jual beli tanah antara R. Emanoel Soepono Hardjo dengan Fritz Kin pada 14 Maret 1952. Balai Harta Peninggalan Jember juga telah menerbitkan surat keterangan tertanggal 2 Agustus 1952 dan ditandatangani oleh Wakil Balai Harta Peninggalan saat itu, Soesanto.
Emanoel kemudian menitipkan hak garap dua bidang ranah itu kepada Pemerintah Desa Lojejer dan Desa Ampel seluas 56,142 hektare pada 4 April 1953. Enam tahun kemudian, Pengadilan Negeri Jember menguatkan jual beli antara Emanoel dan Kin, tepatnya pada 25 Agustus 1959.
Puluhan tahun berlalu. Para ahli waris berusaha meminta kembali tanah tersebut dengan baik baik. “Kami sudah pernah mengirim surat klarifikasi kepada dua pemerintah desa ini, baik Lojejer maupun Ampel. Tapi enggak ada jawaban,” kata Farid, Senin (29/9/2025).
Farid meminta Komisi A DPRD Jember memfasilitasi penyelesaian persoalan dengan menghadirkan Pemerintah Desa Ampel dan Lojejer. Komisi A kemudian menggelar rapat dengar pendapat di DPRD Jember, Senin (29/9/2025).
Rapat tersebut dihadiri Camat Wuluhan Hanifah dan Kepala Desa Ampel Soleh. Kepala Desa Lojejer M. Sholeh absen.
Soleh mengaku tidak tahu soal urusan pinjam tanah itu. “Itu tadi ada surat perjanjian pinjam pinjam, saya enggak tahu sama sekali, karena saya belum lahir. Dan selama ini sudah ada di SPPT (Surat Penagihan Pajak Terutang). Setiap tahun saya bayar pajaknya,” katanya.
“Setahu saya, tanah itu mulai saya masih kecil sudah dipakai untuk pemerintahan desa (Ampel).Tanah itu letaknya di Desa Lojejer. Tetapi digunakan untuk kesejahteraan perangkat Desa Ampel waktu itu. Kalau luasnya kurang lebih 15-18 hektare,” kata Soleh. Ada 40 perangkat Desa Ampel yang menikmati tanah itu.
Soleh mengkui tanah tersebut tidak berstatus sertifikat hak milik. “Kalau mediasi, pemerintah Desa Lojejer dan Ampel harus sama-sama dihadirkan,” katanya.
Camat Wuluhan Hanifah berharap ada penggalian fakta lebih mendalam. “Saya pikir perlu juga krawangan tanah ditunjukkan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD),” katanya.
Namun, Sekretaris Komisi A Siswono berani memastikan dua bidang tanah yang diklaim ahli waris itu tidak akan tercatat di data aset pemerintah daerah sebagai tanah kas desa, karena belum bersertifikat hak milik.
“Tapi bagaimana mengoreksi sebuah sejarah? Oleh karenanya ini butuh penyampaian keterangan dari DPMD,” kata Siswono. Alfan Yusfi, anggota Komisi A, sepakat untuk memanggil DPMD Jember untuk mengklarifikasi persoalan ini.
Wigit Prayitno, kuasa hukum ahli waris lainnya, mengatakan, tak tertutup kemungkinan Pemkab Jember melepas tanah untuk masyarakat. “Buktinya tanah Ketajek. Jadi ini urusannya bukan urusan pribadi. Tanah itu bukan milik kepala desa,” katanya.
“Jadi sekali lagi kami tetap berharap membuka komunikasi. Kades Ampel maupun Lajejer juga tidak punya kewenangan untuk melepas. Demikian juga Bupati kalau mau melepas, nanti ada persetujuan Menteri Keuangan. Dari data-data yang kami sampaikan, lita harapkan persoalan ini bisa selesai dengan baik,” kata Wigit. [wir]
