Pasuruan (beritajatim.com) – Universitas Wijaya Putra (UWP) menggelar seminar bertajuk “Keputusan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, bertempat di Desa Gambiran, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan.
Acara ini menghadirkan para narasumber dari kalangan akademisi hingga pejabat daerah yang membahas dinamika terbaru dalam sistem pemilu nasional Indonesia pasca keluarnya dua putusan penting Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu pembicara utama, Dr. Suwarno Abadi, Ahli Hukum Tata Usaha Negara dari Fakultas Hukum UWP, menyoroti bahwa Putusan MK Nomor 90 dan 62/PUU-XXI/2023 menjadi titik balik dalam arah pencalonan presiden. Menurutnya, dua putusan tersebut memunculkan perdebatan terkait batas usia dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
“UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah diuji sebanyak 33 kali dan selalu ditolak, namun kali ini ada celah yang terbuka tanpa pendampingan kuasa hukum,” ungkap Dr. Suwarno. Ia menilai hal tersebut menandakan adanya kemungkinan perubahan arah politik hukum yang signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dari sisi legislatif daerah, Anggota DPRD Kabupaten Pasuruan dari Fraksi PDI Perjuangan, Andri Wahyudi, menyatakan bahwa pasal-pasal dalam UU Pemilu memang menunjukkan kecenderungan untuk menghapus ambang batas. Ia memperkirakan, jika presidential threshold benar-benar dihapus, maka konstelasi Pilpres 2029 akan sangat berbeda dari sebelumnya.
“Putusan MK itu bersifat final dan mengikat, jadi kami di PDI Perjuangan siap mendukungnya meskipun revisi UU tentu harus dilakukan secara prosedural,” jelas Andri. Ia juga menambahkan bahwa sistem ambang batas 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional perlu dikaji ulang dengan cermat untuk memastikan kesetaraan dalam kontestasi pemilu.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Dr. Kasiman dari Fraksi Gerindra. Ia menilai bahwa presidential threshold adalah elemen penting dalam menjaga stabilitas politik nasional. Aturan ini dianggap sebagai filter untuk menghindari fragmentasi politik yang berlebihan akibat terlalu banyak calon presiden.
“Tujuan dari threshold adalah menyaring calon presiden agar tidak terjadi fragmentasi yang berlebihan. Jika dihapuskan, harus ada pertimbangan hukum dan politik yang mendalam,” tegas Kasiman. Ia menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden tetap berlandaskan pada semangat UUD 1945.
Bupati Pasuruan, Rusdi Sutedjo, yang turut hadir, memberikan perspektif politik praktis terhadap isu ini. Ia menekankan pentingnya sinergi antara pemahaman hukum dan kemampuan membaca peta politik nasional.
“Hukum adalah produk dari kesepakatan politik antara DPR, Presiden, dan Pemerintah, jadi tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik itu sendiri,” ujar Rusdi. Menurutnya, putusan MK yang menghapus threshold dapat membuka peluang lebih luas bagi rakyat kecil untuk ikut berpartisipasi dalam kontestasi nasional.
Ia menambahkan bahwa meskipun putusan MK bersifat final, implementasinya tetap memerlukan proses kajian lanjut di DPR. Rusdi juga mengajak mahasiswa hukum menjadikan isu ini sebagai bahan studi kritis dalam pembelajaran ketatanegaraan.
Seminar ini dianggap sebagai forum penting yang mampu menjadi ruang refleksi akademik serta diskusi publik yang konstruktif. “Ini menjadi ruang strategis untuk meninjau arah sistem pemilu agar lebih inklusif dan demokratis,” tandas Rusdi Sutedjo. [ada/suf]
