Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Sahur Banyak Kok Cepat Lapar, Inikah Penyebabnya?

Sahur Banyak Kok Cepat Lapar, Inikah Penyebabnya?

Jakarta

Rasa lapar adalah respons alami tubuh yang dialami setiap orang. Respons ini muncul terutama setelah tidak makan dalam jangka waktu lama atau setelah melakukan aktivitas fisik yang menguras energi. Saat berpuasa, tubuh tidak mendapatkan asupan makanan dan minuman selama berjam-jam, sehingga rasa lapar bisa menjadi lebih intens.

Rasa lapar ini merupakan sinyal bahwa tubuh membutuhkan energi dan nutrisi untuk menjaga keseimbangan serta menjalankan fungsinya secara optimal. Saat puasa, rasa lapar akan berkurang atau hilang setelah makan sahur atau berbuka. Namun, jika tetap merasa lapar meskipun sudah mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak saat sahur, ada kemungkinan faktor lain yang mempengaruhinya.

Mekanisme Muncul Rasa Lapar dan Kenyang

Menurut staf ahli diet di The Ohio State University Wexner Medical Center, Candace Pumper, MS, RD, LD, setiap orang memiliki dorongan biologis yang berbeda untuk asupan makanan sehari-hari. Dorongan ini dikendalikan oleh organ dan jaringan yang menyampaikan informasi tentang keseimbangan energi tubuh ke sistem saraf pusat, yang pada akhirnya mengatur proses tersebut.

Dorongan untuk makan bergantung pada proses sadar dan tidak sadar. Sebagian berasal dari kebutuhan tubuh akan nutrisi tertentu, sementara sebagian lainnya dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan rangsangan sensorik.

“Apa yang kita sebut sebagai “homeostatis” dan “hedonis” berkaitan erat dengan proses-proses ini di dalam tubuh,” kata Pumper, dikutip dari salah satu tulisannya di laman The Ohio State University.

Adapun pengendalian nafsu makan secara homeostatis melibatkan komunikasi antara otak dan berbagai organ tubuh. Otak, usus, pankreas, hati, dan jaringan adiposa (lemak) menghasilkan hormon, peptida, serta neurotransmitter (pembawa pesan kimia) yang memengaruhi tingkat nafsu makan seseorang.

Misalnya, saat usus kosong, ia merangsang sinyal lapar dan meningkatkan keinginan untuk makan. Sebaliknya, ketika terdapat makanan di usus, ia mengirimkan sinyal kenyang untuk memberi tahu tubuh agar berhenti makan.

Secara bersamaan, sinyal-sinyal ini serta tindakan yang dilakukan berperan dalam mengatur energi dan metabolisme tubuh. Namun, jika regulasi sinyal ini terganggu, dapat terjadi perubahan berat badan yang ekstrem serta gangguan metabolisme.

Faktor lain yang dapat memengaruhi perubahan berat badan dan metabolisme meliputi tingkat aktivitas fisik, tingkat stres, kualitas tidur, fungsi tiroid, dan faktor genetik. Selain itu, perubahan hormonal (misalnya, sindrom pramenstruasi), kondisi emosional, dan cedera otak juga dapat memengaruhi nafsu makan serta keinginan untuk makan, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap perubahan berat badan.

Sementara aspek hedonis dari makanan sering kali dipelajari dalam kaitannya dengan indra, seperti penglihatan, penciuman, dan perasa. Aspek ini memberikan preferensi individu yang lebih bersifat sadar dalam memilih makanan. Respons ini cenderung mengabaikan status energi tubuh dan nilai gizi makanan.

Selain itu, aspek hedonis dalam asupan makanan juga dapat dipengaruhi oleh hormon nafsu makan di usus, seperti ghrelin, yang dilepaskan secara tidak sadar. Namun, pada akhirnya, preferensi rasa dan kenikmatanlah yang berperan dalam pemilihan makanan, bukan faktor kesehatan atau kebutuhan nutrisi yang optimal.

Senada, konsultan pencernaan dr Aru Ariadno, SpPD-KGEH, juga menyebutkan bahwa mekanisme rasa lapar dan kenyang dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk hormon pada tubuh.

Menurut National Library of Medicine, hormon adalah molekul kimia yang diproduksi oleh kelenjar endokrin, seperti kelenjar tiroid, pankreas, atau kelenjar adrenal, dan dilepaskan langsung ke dalam aliran darah.

Hormon berfungsi sebagai pembawa pesan yang mengatur berbagai proses tubuh dengan berikatan pada reseptor spesifik di sel target. Setelah berikatan, hormon memicu berbagai respons, seperti mengatur metabolisme, pertumbuhan, keseimbangan energi, serta fungsi reproduksi.

Dipengaruhi Hormon

Adapun salah satu hormon yang berperan dalam rasa lapar adalah ghrelin, yang diproduksi dan dilepaskan oleh lambung. Kadar ghrelin meningkat sebelum makan atau saat berpuasa dan menurun setelah makan.

Joseph Proietto, profesor emeritus di University of Melbourne di Departemen Kedokteran Austin Health dan seorang ahli endokrinologi dalam Diabetes dan Obesitas, mengatakan hormon ghrelin merangsang rasa lapar dengan memasuki otak dan bekerja pada neuron di hipotalamus atau bagian kecil di dasar otak yang berperan penting dalam mengatur berbagai fungsi tubuh dengan meningkatkan aktivitas sel saraf yang memicu rasa lapar serta menurunkan aktivitas sel saraf yang menghambatnya.

Saat lambung kosong, pelepasan ghrelin meningkat, sedangkan saat lambung terisi, pelepasan hormon tersebut menurun. Selain ghrelin, terdapat hormon usus yang berperan dalam mengontrol rasa kenyang, seperti GLP-1 (Glucagon-Like Peptide-1), PYY (Peptide YY), dan CCK (Cholecystokinin).

Adapun GLP-1 dilepaskan oleh usus setelah kontak langsung dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Hormon ini berfungsi memperlambat pengosongan lambung, meningkatkan sensitivitas insulin, dan mengurangi rasa lapar.

Sementara itu, PYY dan CCK dilepaskan setelah makanan yang mengandung protein dan lemak masuk ke usus. Kedua hormon ini memperlambat pengosongan lambung dan mengurangi asupan makanan, sehingga membantu menjaga keseimbangan energi.

Leptin, hormon lain yang berperan dalam pengaturan berat badan, diproduksi oleh jaringan lemak atau adiposa. Hormon ini berfungsi sebagai penanda penyimpanan energi jangka panjang dengan memberi sinyal rasa kenyang ke otak. Semakin sedikit lemak tubuh yang dimiliki seseorang, semakin rendah pula kadar leptin dalam darah.

Saat berpuasa, kadar leptin menurun, yang menyebabkan peningkatan rasa lapar. Kadar leptin yang sangat rendah bisa menjadi tanda adanya defisiensi leptin bawaan, yang dapat menyebabkan rasa lapar ekstrem.

Selain leptin, insulin juga berperan dalam mengatur energi dan metabolisme. Hormon ini diproduksi oleh pankreas sebagai respons terhadap perubahan penyimpanan energi. Seperti leptin, kadar insulin dalam tubuh sebanding dengan jumlah lemak tubuh.

Kadar insulin yang tinggi menekan rasa lapar, sementara kadar yang rendah dapat meningkatkan nafsu makan. Insulin berperan dalam mengatur kadar gula darah serta menyimpan gula dan lemak sebagai cadangan energi.

Namun, kadar gula darah yang tinggi sering kali memicu rasa lapar berlebihan. Berbeda dengan leptin, kadar insulin yang beredar dalam tubuh lebih berkaitan dengan lemak visceral, yaitu lemak yang tersimpan di dalam rongga perut, dibandingkan dengan lemak subkutan yang berada di bawah kulit.

“Banyak faktor yang mempengaruhi (rasa lapar dan kenyang) termasuk juga hormon-hormon. Hormon tiroid pada hipertiroid. Hormon serotonin yang menurun pada stres, hormon leptin pada kondisi kurang tidur, dan lainnya,” kata dr Aru saat dihubungi detikcom, Kamis (20/3/2025).

“Selain itu kondisi gula darah yang meningkat akibat gangguan pada insulin yg mengakibatkan gula tidak bisa digunakan oleh sel-sel juga bisa menyebabkan rasa lapar. Selain itu juga dipengaruhi kondisi fisiologi normal di mana sudah saatnya tubuh butuh energi setelah berpuasa atau setelah melakukan olahraga atau kegiatan fisik lainnya,” lanjutnya.

Hormon-hormon yang berpengaruh pada rasa lapar dan kenyang. Infografis: Suci Risanti Rahmadania/detikHealth

Penyebab Lapar yang Terus-menerus Meski Sudah Makan

Rasa lapar yang muncul meskipun sudah makan bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari gangguan kesehatan hingga kondisi psikologis. Dalam dunia medis, kondisi ini dikenal sebagai polifagia.

Beberapa penyakit yang dicurigai sebagai penyebab polifagia adalah diabetes dan hipertiroidisme. Pada diabetes, tubuh tidak dapat menggunakan gula sebagai sumber energi sehingga sel-sel tubuh terus mengirimkan sinyal lapar ke otak.

Sementara itu, hipertiroidisme menyebabkan metabolisme tubuh meningkat, sehingga pembakaran kalori lebih cepat dan tubuh membutuhkan lebih banyak energi, yang akhirnya memicu rasa lapar.

“Kondisi yang makan berlebih bisa disebut polifagia apapun sebabnya. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut,” kata dr Aru.

Selain gangguan kesehatan yang mendasari, terdapat beberapa faktor lain yang juga dapat menyebabkan rasa lapar setelah makan.

“Bisa karena stres, kurang tidur, diet ketat, dehidrasi, dan lain-lain,” lanjutnya.

Hal tersebut juga didukung oleh sebuah studi yang berjudul ‘Lifestyle Determinants of the Drive to Eat: a Meta Analysis’ yang dipublikasikan di The American Journal of Clinical Nutrition. Studi tersebut menemukan bahwa gaya hidup yang buruk, termasuk kurang tidur tidak hanya berkorelasi dengan obesitas, tetapi juga kemungkinan berkontribusi mendorong makan berlebihan. Studi ini dilakukan di laboratorium terkontrol yang melibatkan individu sehat. Studi ini juga dianalisis dengan menggunakan 3 meta-analisis dengan model efek acak.

Begitu juga dengan stres yang dapat memengaruhi preferensi makanan. Sebuah artikel berjudul ‘Why Stress Causes people to Overeat’ yang dilansir Harvard Health Publishing menyebut, sejumlah penelitian (banyak di antaranya dilakukan pada hewan) menunjukkan bahwa tekanan fisik atau emosional dapat meningkatkan konsumsi makanan tinggi lemak, gula, atau keduanya.

Kadar kortisol yang tinggi, dikombinasikan dengan kadar insulin yang meningkat, diduga menjadi penyebabnya. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa ghrelin, yang dikenal sebagai ‘hormon lapar’, mungkin turut berperan dalam mekanisme ini.

Kaitannya dengan Sistem Imun

Selain menyebabkan rasa lapar sering muncul, gaya hidup yang buruk juga dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Dikutip dari Hopkins Medicine, sistem kekebalan tubuh bekerja untuk mencegah masuknya kuman dan zat asing lainnya ke dalam tubuh serta menghancurkan apa pun yang berhasil masuk.

Sistem kekebalan tubuh terdiri dari jaringan, sel, dan organ yang kompleks. Fungsinya adalah melindungi tubuh dari infeksi serta berbagai kondisi lainnya. Jika sistem imun tidak berfungsi dengan baik, tubuh dapat berisiko terserang penyakit. Terdapat sejumlah faktor yang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh seseorang. Selain penyakit atau kondisi tertentu, kebiasaan atau pola hidup yang buruk juga bisa melemahkan sistem imun tubuh.

Contohnya, seperti kurang tidur. Dikutip dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, bukti ilmiah menunjukkan bahwa tidur memiliki pengaruh yang kuat terhadap fungsi kekebalan tubuh. Bahkan penelitian menunjukkan bahwa kurang tidur dapat memengaruhi berbagai bagian sistem kekebalan tubuh yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam gangguan kesehatan.

Tak hanya itu, kebiasaan atau pola hidup yang buruk seperti gampang stres juga dapat melemahkan sistem imun tubuh menurut American Psychological Association (APA).

Pola Makan Sehat Perbaiki Daya Tahan Tubuh

Selain stres dan kurang tidur, masih banyak kebiasaan hidup buruk yang dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan gaya hidup sehat, termasuk mengadopsi pola makan yang baik. Beberapa jenis makanan dan bahan alami diketahui dapat mendukung atau meningkatkan daya tahan tubuh, salah satunya adalah kunyit (Curcuma longa Linn. syn. Curcuma domestica Val.). Kunyit memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan, termasuk meningkatkan imunitas tubuh dan stamina.

Pakar herbal dan dokter saintifikasi jamu, dr Rianti Maharani, M.Si, FINEM, AIFO-K menjelaskan bahwa kunyit telah lama digunakan selama ribuan tahun terutama di wilayah Asia Selatan dan Tenggara, termasuk Indonesia. Bahan alami telah lama digunakan sebagai pengobatan tradisional dan bahan masakan.

Menurut dr Rianti, kunyit digunakan untuk meningkatkan imunitas, meredakan inflamasi, mendukung pencernaan, memperbaiki stamina, hingga menjaga kesehatan kulit. Hal ini, lanjutnya, karena kunyit memiliki senyawa aktif utama kurkumin, yang dapat mengurangi peradangan, melawan radikal bebas, mendukung metabolisme, hingga melindungi kesehatan otak dan jantung.

“Penggunaan kunyit sebagai suplemen atau dalam bentuk makanan dapat memberikan banyak manfaat kesehatan yang telah terbukti melalui berbagai penelitian ilmiah. Penting untuk mengonsumsinya dengan bijak dan sesuai dosis yang disarankan,” katanya saat dihubungi detikcom, Jumat (21/3/2025).

Pendapat ini sejalan dengan sebuah studi tahun 2020 yang berjudul ‘Turmeric and Its Major Compound Curcumin on Health: Bioactive Effects and Safety Profiles for Food, Pharmaceutical, Biotechnological and Medicinal Applications’, dipublikasikan di Frontiers in Pharmacology. Studi tersebut menemukan bahwa kunyit atau nama latinnya Curcuma longa telah dikaitkan dengan sifat anti-inflamasi, antikanker, antidiabetik, antidiare, antimikroba, antivirus, dan antioksidan, yang berperan dalam mendukung dan memperkuat sistem imun.

Fakta-fakta kunyit dan manfaatnya. Infografis: Suci Risanti Rahmadania/detikHealth

Cara Terbaik Mengonsumsi Kunyit

Menurut dr Rianti, untuk mendapatkan manfaat maksimal dari kunyit, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Sebagian besar manfaat kesehatan dari kunyit berasal dari senyawa aktif yang disebut kurkumin, yang memiliki sifat antiinflamasi, antioksidan, dan berbagai efek positif lainnya.

Namun, kurkumin memiliki bioavailabilitas yang rendah, artinya tubuh tidak dapat menyerapnya dengan baik jika dikonsumsi begitu saja. Adapun salah satu cara mengonsumsinya adalah mengombinasikan kunyit dengan lada hitam.

“Mengapa? Lada hitam mengandung senyawa aktif piperin, yang dapat meningkatkan penyerapan kurkumin hingga 2.000 persen lebih baik. Menggabungkan kunyit dengan merica hitam adalah cara yang sangat efektif untuk memaksimalkan manfaat kurkumin dalam tubuh,” kata dr Rianti.

“Pilih suplemen kurkumin yang mengandung piperin atau bentuk kurkumin yang telah dipatenkan, seperti Sido Muncul Natural Sari Kunyit Plus. Konsumsi sesuai dosis yang disarankan pada kemasan,” katanya lagi.

(suc/up)

Merangkum Semua Peristiwa