Saat Sains, Tradisi, dan Negara Bersua di Tengah Cuaca Ekstrem

Saat Sains, Tradisi, dan Negara Bersua di Tengah Cuaca Ekstrem

Jakarta, Beritasatu.com – Hujan turun lebih awal di banyak wilayah Indonesia tahun ini. Dari Sumatera hingga Papua, awan menggulung seolah menyampaikan satu pesan yang sama tentang kewaspadaan.

Di tengah meningkatnya potensi bencana hidrometeorologi, wacana mitigasi kini tak lagi berbicara soal alat deteksi semata. Ia merembet ke ranah yang lebih luas yakni narasi masyarakat, cerita turun-temurun, bahasa lokal, dan kebijaksanaan yang lama hidup di antara desa-desa rawan bencana.

Integrasi Sains dan Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana

Di Jakarta, akhir Oktober 2025 lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar sebuah webinar yang membicarakan isu ini secara terang-terangan. Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara, membuka diskusi dengan pernyataan yang terasa seperti menandai babak baru dalam riset kebencanaan Indonesia. “Dikotomi tradisi dan sains sudah seharusnya berakhir,” katanya dilansir laman BRIN yang dikutip Beritasatu.com, Jumat (21/11/2025).

Menurutnya, bencana di Indonesia tak mungkin dibaca hanya dari sudut satelit atau peta geologi. Narasi masyarakat yang hidup bertahun-tahun di kawasan rawan harus ikut duduk di meja pembahasan. Tradisi, katanya, bukan lawan dari sains, tetapi pintu masuk.

Ia menunjuk contoh klasik tetapi tetap relevan yakni smong di Aceh. Cerita lisan tentang air besar yang tiba-tiba datang setelah gempa bukan sekadar mitos penyintas. Tradisi itu terbukti menjadi alarm sosial yang menyelamatkan ribuan orang saat tsunami 2004.

Para peneliti geoteknologi yang bekerja bersama timnya memadukan narasi tersebut dengan pembacaan geologi. Hasilnya bukan hanya penjelasan ilmiah, tetapi pemahaman utuh tentang hubungan masyarakat dengan alam.

“Kita tidak bisa mengandalkan laboratorium tanpa memahami pengalaman warga yang hidup berdampingan dengan risiko,” ucap Herry.

Peran BRIN dalam Riset Kebencanaan Terpadu

Pernyataan itu mengalir ke rencana aksi yang lebih konkret. BRIN bersiap membuka call for collaboration pada 2026 dengan tema ekologi dan lingkungan. Intinya riset kebencanaan ke depan harus lintas disiplin. Bahasa, geologi, antropologi, klimatologi, sampai tradisi lisan harus saling bekerja dan tidak berjalan sendiri-sendiri.

Fondasi Budaya Lokal dalam Pemahaman Risiko

Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN Sastri Sunarti melanjutkan gagasan tersebut. Indonesia, katanya, negara yang fondasi kebencanaan dan budaya lokalnya sama-sama kuat. Pada satu sisi, ada ancaman patahan megathrust Mentawai yang terus dikaji para seismolog. Pada sisi lain, masyarakat di pesisir Sumatera punya memori kolektif yang terekam dalam pantun, cerita pelaut, atau simbol alam seperti surutnya air secara tiba-tiba.

“Edukasi yang menggabungkan keduanya justru membuat masyarakat tenang dan sigap,” ucapnya.

Pendekatan BMKG: Teknologi dan Bahasa Lokal

Sementara itu, BMKG punya gagasan serupa yang sudah lama hidup dalam praktik. Ketua Tim Kerja Mitigasi Tsunami Hindia Pasifik BMKG Suci Dewi Anugrah menegaskan, alat prediksi tanpa kepekaan budaya sering mandek di lapangan. Ia mengenang beberapa kasus ketika peringatan dini tak ditanggapi karena masyarakat tak merasa dekat dengan bahasa teknis yang digunakan.

“Kalimat sederhana dalam bahasa daerah sering lebih ampuh,” katanya dilansir dari laman BRIN.

Suci menambahkan, tokoh adat dan pemuka komunitas memainkan peran besar sebagai jembatan ilmu dan tindakan. Tanpa itu, sirine bisa berbunyi, tetapi warga bisa saja tidak bergerak.

Arsitektur Tradisional dan Adaptasi Lingkungan

Peneliti BRIN Asep Supriadi menekankan pentingnya menjadikan kearifan lokal lebih dari sekadar ornamen riset. Arsitektur tradisional yang terbukti tahan gempa, misalnya, harus kembali dipertimbangkan dalam perencanaan permukiman. Rumah-rumah panggung di banyak daerah bukan hasil estetika belaka, melainkan respon adaptif terhadap tanah labil, banjir, atau gempa.

“Pemerintah dan masyarakat perlu menjaga keberlanjutan kearifan seperti ini,” ujarnya. Ia mengingatkan tradisi tak boleh diperlakukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai strategi bertahan hidup.

Cuaca Ekstrem dan Respons Pemerintah

Sementara BRIN dan BMKG menguatkan dimensi pengetahuan dan budaya, ancaman nyata datang dari lapangan. Pada pertengahan November, tanah di Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Cilacap, bergerak dan meruntuhkan permukiman. Longsor itu menelan korban, memaksa operasi pencarian berlangsung hari demi hari.

Kesiapsiagaan Pemerintah dan Instruksi Mitigasi

Di lokasi itulah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memimpin apel kesiapsiagaan. Lumpur masih basah, garis polisi membentang, dan suara mesin ekskavator terus bekerja. Tito berkata operasi SAR akan diperpanjang jika korban belum semua ditemukan. “Ini hari ketujuh. Kalau belum, kita tambah tiga hari,” ujarnya dilansir dari Antara, Rabu (19/11/2025).

Tito membawa pesan yang lebih luas dari sekadar kondisi Cilacap. Ia menyebut laporan BMKG yang menunjukkan potensi hujan lebat di hampir seluruh wilayah Indonesia, yakni Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku Selatan, hingga Papua Selatan.

“Ini harus jadi perhatian semua daerah,” katanya.

Pulau Jawa, yang penduduknya padat dan topografinya beragam, disebut paling rentan. Setiap tahun, daerah-daerah seperti Banjarnegara, Purworejo, hingga Cilacap menghadapi siklus yang nyaris sama yakni lereng menjadi licin ketika hujan deras datang berturut-turut.

Ia meminta pemerintah daerah segera memetakan titik rawan dan mempertimbangkan relokasi bagi permukiman di zona merah. Pernyataan ini sejalan dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto agar kepala daerah memanfaatkan data BMKG mengenai wilayah rawan banjir dan longsor dalam penyusunan kebijakan mitigasi.

“Daerah harus siap logistik, siap apel siaga, dan siap bergerak cepat,” ujar Tito.

Sebaran kejadian bencana alam periode 1 Januari – 15 Oktober 2025. – (Humas BNPB/Pusdatin BNPB)Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) dalam Penanganan Darurat

Sementara itu, Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani menjelaskan operasi yang sedang dijalankan lembaganya yakni Operasi Modifikasi Cuaca (OMC). Operasi ini berlangsung 16-22 November 2025 dari Bandara Husein Sastranegara, Bandung, bekerja sama dengan BNPB dan menggunakan dua pesawat.

Tujuannya bukan menghentikan hujan, tetapi meredistribusi curah hujan agar intensitasnya di wilayah rawan berkurang.

“Kami menargetkan pengurangan intensitas 30 sampai 50%,” kata Faisal.

OMC dimaksudkan untuk mengurangi hambatan proses pencarian korban dan mencegah longsor susulan, terutama karena prakiraan menunjukkan hujan sedang hingga lebat masih mungkin terjadi di Cilacap pada 19-22 November 2025. Di tengah medan yang rentan, sedikit pengurangan curah hujan bisa berarti waktu tambahan bagi tim penyelamat.

Selain itu, BMKG tetap memperbarui data atmosfer harian sebagai dasar keputusan instansi terkait. Data ini menjadi pegangan pemerintah daerah untuk menentukan apakah warga harus diungsikan, alat berat dipindahkan, atau jalur evakuasi ditutup sementara.