Bisnis.com, JAKARTA — Rusia mengembangkan layanan internet satelit baru yang ditargetkan menjadi pesaing Starlink milik Elon Musk.
Kepala Badan Antariksa Rusia (Roscosmos), Dmitry Bakanov, mengatakan proyek ini dipercepat untuk mengejar ketertinggalan dari SpaceX, yang sudah lebih dulu mendominasi industri satelit.
“Beberapa satelit uji coba sudah berada di orbit dan telah diperiksa. Produksi berikutnya juga telah dimodifikasi sesuai kebutuhan. Kami bergerak dengan cepat ke arah ini,” kata Bakanov dikutip dari laman Reuters pada Minggu (21/9/2025).
Pengembangan sistem internet satelit orbit rendah (LEO) ini ditangani oleh perusahaan kedirgantaraan Rusia, Bureau 1440. Proyek tersebut ditujukan untuk menyediakan layanan internet pita lebar ke berbagai belahan dunia.
Bakanov juga menyebut Rusia telah banyak belajar dari kesalahan masa lalu, termasuk ketika pada 2002 mereka menolak tawaran Musk yang ingin membeli rudal balistik antarbenua (ICBM) untuk peluncuran luar angkasa.
Penolakan tersebut justru memicu Musk mendirikan SpaceX dan menekan biaya peluncuran, yang pada akhirnya merugikan Rusia. Sejarah mencatat, Uni Soviet pernah memimpin dalam perlombaan antariksa dengan meluncurkan satelit pertama, Sputnik 1, pada 1957, dan mengirim Yuri Gagarin sebagai manusia pertama di luar angkasa pada 1961.
Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, program luar angkasa Rusia dilanda keterbatasan dana, praktik korupsi, hingga keluhan generasi muda soal manajemen yang buruk.
Ambisi Rusia untuk kembali bersaing di antariksa sempat terpukul pada Agustus 2023 ketika misi tanpa awak Luna-25 gagal mendarat dan justru menabrak permukaan Bulan.
Sebelumnya, Rusia telah menikmati hebatnya Starlink untuk memperkuat sistem drone pertahanan mereka.
Perusahaan asal Rusia, KB Valkyriya, memamerkan drone induk RD-8 yang dapat dikontrol melalui kanal radio konvensional, jaringan satelit Starlink, hingga jaringan seluler.
Berdasarkan informasi di situs pengembang Rusia, seri drone yang ditawarkan mencakup RD-7, RD-8, RD-10, dan RD-12. Seluruh model tersebut dapat dikendalikan lewat Starlink atau jaringan seluler.
Adapun, pemanfaatan masif teknologi ini berpotensi mempermudah operasi drone bagi militer Rusia di wilayah belakang garis depan Ukraina, karena layanan Starlink tersedia di Ukraina, namun tidak di Rusia.
Produsen membuat produk ini sebagai platform multi-guna, karena dapat berfungsi sebagai drone pengintai, drone induk (mothership), dan repeater, termasuk untuk drone pencegat (interceptor).
Drone RD-8, yang dipresentasikan di pameran, diklaim sebagai drone untuk mendukung pasukan penyerang dan mengisolasi garis pertempuran hingga 150 km. Drone ini dirancang untuk menyisir area benteng pertahanan sebelum penyerangan menggunakan FPV.
Drone ini memiliki lebar sayap 3,8 meter, dilengkapi dua motor listrik dan mesin hybrid, dengan tangki berkapasitas 5 liter bensin. Berat lepas landasnya 30 kg dalam konfigurasi pengintai dan 35 kg sebagai drone induk.
Durasi terbang drone itu masing-masing hingga 4,5 jam dan 3 jam, ketinggian maksimum hingga 3 kilometer dan jangkauannya hingga 150 km. Sementara itu, kecepatan jelajah 80 km per jam dan kecepatan maksimum 200 km per jam.
Drone ini dapat membawa dua drone FPV dengan hulu ledak masing-masing seberat 3 kg. Drone pengintai ini dilengkapi dengan kamera siang dan malam. Kamera siang hari memiliki zoom 30x, dan kamera malam hari memiliki pencitraan termal dengan matriks 640×512 piksel.
