FAJAR.CO.ID, JAKARTA–Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak pernah benar-benar mereda sejak masa kepemimpinan Presiden Donald Trump, dan kembali memanas dalam era pemerintahan Joe Biden.
Kini, di bawah pemerintahan baru AS tahun 2025, kebijakan res-shoring dan deglobalisasi makin diperkuat, dengan tarif ekspor baru terhadap semikonduktor, mineral kritis, dan bahkan hasil pertanian.
Imbas dari perang dagang ini tidak hanya melibatkan AS dan Tiongkok, namun juga pemicu lemahnya nilai tukar rupiah yang bukan sekadar fluktuasi teknikal.
Namun, ini merupakan dampak struktural dari ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap impor, utang luar negeri, dan ekspor komoditas mentah.
Sebelumnya, saat penutupan perdagangan Jumat, 28 Maret 2025, mata uang Indonesia semakin tak berharga di hadapan mata uang negeri Uncle Sam. Rupiah melemah 14 poin atau 0,08 persen, menjadi roboh di titik Rp16.676 per dolar AS, ketimbang sehari sebelumnya sebesar Rp16.562 per dolar AS.
Kemudian dikabarkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali mengalami pelemahan. Pada pembukaan perdagangan pada Kamis, 3 April 2025. Rupiah melemah 0,35 persen ke Rp16.772 dari perdagangan sebelumnya Rp16.713 per dolar AS.
Saat yang sama, Bank Indonesia mengumumkan telah menghabiskan lebih dari USD 4,2 miliar cadangan devisa hanya dalam dua bulan pertama 2025 untuk melakukan intervensi pasar. Namun, cadangan devisa Indonesia saat ini menurun dari USD 144 miliar (Desember 2024) menjadi USD 135 miliar.