Relasi Kuasa Bermodal Kontrak Kerja, Buruh Perempuan Masih Dapat Kekerasan Seksual

3 November 2023, 7:10

UNDANG-UNDANG tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan pada Mei 2022. Hanya saja, fakta menunjukkan kehadiran undang-undang tersebut tidak serta-merta mampu melindungi korban.

Media Indonesia masih mendapati kekerasan seksual terhadap buruh perempuan. Bila menggunakan analogi rantai makanan, buruh perempuan berada di posisi terendah.

Pelaku ternyata tidak hanya orang dengan jabatan. Para predator yang mencari korban justru berasal dari rekan buruh sendiri. Seperti buruh bagian mekanik, mereka punya kendali atas lancarnya mesin jahit sebagai alat kerja. Padahal, para korban membutuhkan kelancaran alat kerja untuk memenuhi target kerja. Meski sama-sama bagian dari buruh, mekanik merasa memiliki kuasa mengambil kesempatan dalam bentuk bujuk rayu dan sentuhan terhadap korban.

Buruh perempuan juga berhadapan dengan atasannya lantaran sang atasan merasa memiliki kuasa dalam menentukan keberlanjutan mereka untuk bekerja. Padahal, buruh perempuan membutuhkan kepastian bekerja karena kerap tak sekadar menjadi tulang rusuk, tapi juga tulang punggung bagi suami dan keluarganya.

Persoalannya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi alas dalam pemberlakuan perjanjian kerja watu tertentu (PKWT).

Kontrak kerja sejumlah buruh di Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Cilicing, Jakarta Utara, misalnya, ada yang berdurasi 6 bulan, 4 bulan, bahkan ada yang hanya 1 bulan.

Akibatnya, atasan mesum merasa memiliki kuasa terhadap buruh perempuan untuk menilai hingga memperpanjang kontrak kerja.

Pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar menilai, dengan status kontrak, pekerja berada pada situasi relasi kuasa yang sangat timpang. Mereka takut melaporkan kekerasan seksual karena terancam diputus hubungan kerja.

“Kekerasan seksual terhadap buruh perempuan ini sebuah proses yang sudah lama terjadi dan suka dimanfaatkan para atasan,” ujar Timboel.

Program Manager Perempuan Mahardhika Vivi Widyawati menambahkan, pelecehan seksual terhadap Alfi Damayanti, buruh yang diajak staycation untuk perpanjangan kontrak, menjadi bukti belum berfungsinya UU TPKS menghadapi dampak PKWT.

“Colak-colek, catcalling, meminta PAP (post a picture) bagian tubuh tertentu, hampir setiap hari ada saja. Kalau colek-colek itu biasanya di sektor produksi, yang di bagian jahit. Itu pelakunya kadang-kadang pengawas, kadang mekanik,” tutur Vivi.

Mereka memilih tidak melawan karena takut kehilangan pekerjaan seperti yang dialami seorang korban, Nita. Nita menolak permintaan atasannya agar mengirim foto telanjang. Ujung-ujungnya, Nita harus diputus kontrak.

Pencegahan
Terkait dengan pencegahan kekerasan seksual juga belum mendapati kejelasan yang tegas. Kementerian Ketenagakerjaan menekankan pada perusahaan.

Adapun Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Myra M Hanartani menilai, kekerasan seksual baik verbal maupun nonverbal, sudah membudaya bahkan sudah dianggap hal biasa. (Nav/X-7)

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi