Jakarta: Rekayasa dinilai lebih realistis dibandingkan dengan pelarangan. Pernyataan ini mengacu pada aturan pelarangan truk sumbu 3 di saat libur nasional, dalam hal ini Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 (Nataru).
“Saya setuju agar dilakukan rekayasa jalan saja untuk menghindari kemacetan saat libur Nataru nanti, dan bukan pelarangan,” kata Ekonom dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Aknolt Kristian Pakpahan, melalui keterangan tertulis yang diterima, Senin, 2 Desember 2024.
Aknolt berharap, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai leading sector untuk mempertimbangkan kebijakannya tersebut. Agar tidak hanya ditujukan untuk kepuasan para pemudik, tapi juga kepentingan pengusaha.
“Artinya, aturan yang dibuat tidak sekadar copy paste dari aturan sebelumnya, tapi juga harus disertai data terbaru,” kata dia.
Agar kebijakan yang diambil komprehensif, Aknolt pun meminta Kemenhub mempertimbangkan masukan dari para stakeholder lain. Pada Surat Keputusan Bersama (SKB) sebelumnya, aturan pelarangan angkutan barang hanya melibatkan Kemenhub, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), serta Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri saja.
“Mungkin untuk tahun ini perlu juga meningkatkan scope yang lebih luas. Seperti, melibatkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, atau mungkin Kementerian Investasi,” kata dia.
Kaji ulang barang yang dikecualikan
Pembina Industri Ahli Muda Direktorat Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian, Rizal, mengatakan pihaknya telah memberikan masukan kepada Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub untuk mengkaji ulang bahan pokok yang masuk ke dalam barang yang dikecualikan. Salah satunya adalah air minum dalam kemasan (AMDK).
Menurut dia, AMDK saat ini sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat. “Sudah masuk kebutuhan strategis masyarakat dan patut dikecualikan dalam kebijakan pelarangan tersebut,” kata dia.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin), Rachmat Hidayat, menyampaikan keluhan dari industri AMDK terhadap kebijakan pelarangan tersebut. Pelaku industri AMDK banyak mengeluhkan terkait meningkatnya biaya produksi.
”Karena kami harus building stock, yang mengakibatkan working capital yang menumpuk. Dan itu tidak produktif,” kata dia.
Rachmat menjelaskan industri AMDK memiliki umur penyimpanan sangat pendek. Maksimum 2×24 jam. Itu disebabkan karena AMDK adalah produk yang cepat terjual dan memiliki harga terjangkau.
“Jadi, begitu diproduksi di pabrik, AMDK harus segera dikirim dan disalurkan ke konsumen melalui distributor, agen, subagen, dan seterusnya sampai outlet,” ujar dia.
Apalagi, lanjut dia, permintaan AMDK di kota-kota besar sangat tinggi di saat libur panjang seperti Nataru dan Lebaran.
“Nah, bayangkan jika suplainya dibatasi, kemudian konsumsinya meningkat. Yang terjadi, di hilir terjadi pengambilan opportunity yang membuat harga tak terkendali,” kata Rachmat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(UWA)