Sidoarjo (beritajatim.com) – Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Sidoarjo Tahun Anggaran 2026 dinilai Fraksi Gerindra belum mencerminkan keseriusan pemerintah daerah dalam memperkuat ketahanan pangan, padahal isu ini telah menjadi prioritas nasional dalam RPJMN 2025–2029 dan agenda jangka panjang daerah dalam RPJPD Sidoarjo 2025–2045.
Data RPJPD menunjukkan tren penurunan produksi pangan dalam satu dekade terakhir, luas panen padi turun dari 37.277 hektare pada 2018 menjadi 30.915 hektare pada 2023, sementara produksi beras merosot dari 142.577 ton menjadi 112.426 ton. Penurunan ini mendorong munculnya defisit beras tahunan yang pada 2026 diproyeksikan mencapai 88.870 ton dan meningkat tajam menjadi 170.289 ton pada 2045.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD Sidoarjo, H. Ahmad Muzayin Syafrial, menyatakan bahwa situasi ini merupakan alarm keras bagi pemerintah daerah. Ia menilai RAPBD 2026 justru menjauh dari mandat nasional maupun arah pembangunan jangka panjang daerah.
“Sidoarjo menghadapi defisit pangan setiap tahun hingga 2045, tapi arah RAPBD justru menjauh dari mandat nasional. Ini sangat kontradiktif dan tidak boleh dibiarkan,” tegasnya, Senin (17/11/2025).
Anggota Banggar DPRD Sidoarjo itu juga mengingatkan bahwa KLHS RPJPD turut menyoroti penurunan daya dukung pangan akibat penyusutan lahan pertanian, perubahan iklim, keterbatasan air, serta masifnya alih fungsi lahan yang terus menggerus kapasitas produksi.
Fraksi Gerindra juga menyoroti sektor perikanan yang sesungguhnya merupakan kekuatan besar Sidoarjo, namun tidak memperoleh dukungan anggaran memadai dalam RAPBD 2026.
Data Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka 2025 mencatat total luas tambak mencapai 14.794 hektare, menjadikannya salah satu daerah tambak terbesar di Jawa Timur. Produksi komoditas unggulan pada 2024 sangat besar: 35,3 juta kg bandeng, 4,03 juta kg udang windu, 5,96 juta kg udang vaname, dan 15,7 juta kg ikan nila.
Produksi ikan lele dari kolam bahkan lebih dari 2 juta kg per bulan, sementara perairan umum menghasilkan lebih dari 563 ribu kg per tahun. Namun dalam RAPBD 2026 tidak terdapat anggaran untuk cold storage, sentra tambak, peningkatan alat tangkap, maupun unit pengolahan hasil ikan.
Menurut Muzayin, ini adalah kelemahan mendasar. “Produksi besar tanpa dukungan rantai dingin sama saja membiarkan petambak merugi,” tukasnya.
Pada sektor pertanian, ketiadaan anggaran alsintan seperti traktor, pompa irigasi, cultivator, transplanter, hingga combine harvester membuat Fraksi Gerindra mempertanyakan arah pembangunan daerah.
Muzayin menegaskan bahwa tanpa mekanisasi dan infrastruktur pendukung, peningkatan produktivitas mustahil dicapai. Mantan aktivis PMII Jatim itu mengutip kaidah ushul fiqh “Maa laa yatimmu al-waajibu illaa bihii fahuwa waajib.” Bahwa kewajiban tidak akan sempurna tanpa sarana pendukungnya. “Ketahanan pangan itu wajib. Maka penyediaan alat, air, dan seluruh infrastruktur penunjangnya juga wajib,” urainya menegaskan.
Fraksi Gerindra juga menilai ketimpangan prioritas belanja semakin terlihat dari dominasi anggaran pembangunan jalan dibandingkan irigasi, embung, dan drainase pertanian.
Sementara itu, sektor penataan ruang juga dinilai tidak menunjukkan komitmen terhadap perlindungan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), padahal RPJPD secara eksplisit menempatkan perlindungan lahan pertanian sebagai pilar ketahanan pangan jangka panjang.
Muzayin menilai bahwa absennya penguatan KP2B dapat mempercepat penyusutan lahan produktif dan memperburuk defisit pangan di masa depan.
Melihat berbagai persoalan tersebut, Fraksi Gerindra mendesak pemerintah daerah melakukan realokasi besar-besaran dari belanja operasional seperti rapat, honor, perjalanan dinas, dan konsumsi ke belanja strategis yang berdampak langsung pada sektor pangan.
Dinilainya bahwa prioritas anggaran harus diarahkan pada pengadaan alsintan, pembangunan sistem cold chain terpadu, penguatan jaringan irigasi dan embung, perlindungan KP2B, serta pengembangan sentra hortikultura, biofarmaka, dan tambak. Ia menekankan bahwa ketahanan pangan bukan sekadar isu sektoral, tetapi fondasi stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat Sidoarjo.
“Tanpa intervensi yang serius dan terukur, Sidoarjo akan terus berada dalam bayang-bayang defisit pangan. Jika ketahanan pangan itu wajib, maka seluruh sarana pendukungnya juga wajib untuk diwujudkan. Ini bukan pilihan, tetapi keharusan,” pungkasnya. (isa/kun)
