Rapat dengan DPRD Jember, Pegiat Srawung Sastra Bacakan Puisi Politik

Rapat dengan DPRD Jember, Pegiat Srawung Sastra Bacakan Puisi Politik

Jember (beritajatim.com) – Gunawan Tri Pamungkas, pegiat Srawung Sastra dan Board Manager Balai RW Institute, membacakan puisi ‘Kita Harus Terus Begerak – Atau Dirampok Seluruhnya’, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi B DPRD Kabupaten Jember, Rabu (7/5/2025).

Dalam rapat tersebut, sejumlah perwakilan seniman, budayawan, dan pegiat literasi menyampaikan sejumlah persoalan dan tuntutan kepada pemerintah daerah. Salah satunya adalah menolak penggabungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan Dinas Kepemudaan dan Olahraga Jember.

“Urusan kebudayaan saat berdiri dalam dinas tersendiri saja masih sering dipinggirkan, apalagi jika digabungkan,” kata Istono, salah satu aktivis.

Saat mendapat kesempatan bicara, Gunawan memilih memanfaatkannya dengan membacakan puisi yang bertema politik di hadapan Ketua Komisi B Candra Ary Fianto dan dua anggota komisi Nilam Noor Fadilah dan Khurul Fatoni

“Banyak hal yang sudah disampaikan teman-teman. Saya bagian hiburan saja,” kata Gunawan, tertawa.

Berikut isi puisi tersebut.

Saudaraku
Lihatlah, lihatlah !
Negeri ini bukan lagi tanah pertiwi yang dahulu,
Tanah ini kini tumpukan sampah janji,
gundukan terus membumbung busuk karena puja-puji palsu
Negeri telah tergerus, terus di petak jadi pasar kekuasaan,
tempat harga diri dijual kiloan,
dan mimpi anak-anak negeri dijadikan pajangan
dilelang di etalase istana.

Para pemimpin bertakhta
di singgasana bau wangi parfum impor, tersenyum lebar—
di atas bangkai budaya
dari manusia yang dibunuhnya berkali–kali
setiap musim pemilu
Wajah manisnya kian glowing
di bawah langit yang kian koyak—
ditopang oleh tulang-belulang petani
dikipasi para ledek
ditandu para seniman tradisi
dan dipelitur dengan air mata buruh pabrik.

Sementara barisan pengagumnya
terus berkerubung diteras, duduk diundakan
berdoa pada Tuhan dompet
bermazhab pada kitab jabatan
menjilat lumpur sepatu para cukong
mengagungkan para perampok
dengan kalimat manis :
“Duli Tuanku…”
Mereka pun rela menjilat sepatu tirani,
berteriak “hidup Tuan”
asal perut bisa buncit dan tersohor
mereka tak sadar telah dicetak jadi patung upacara
di panggung demokrasi palsu.

Kita adalah pemilik sah republik ini !
kini seperti tikus-tikus gudang,
kita diburu, diumpankan, dipaksa diam—
dengan nasi dua genggam nasi bungkus
dan satu spanduk pemilu.
Budaya di pakai saat sebatas lomba selfie dan kunjungan
Hukum hanya payung bolong
di buka cerah saat kampanye saja
dan hilang saat petaka datang

Tidak ada pilihan lain !
Kita harus bergerak, harus berjalan terus
karena berhenti atau mundur—
berarti hancur
Berhenti adalah memberi kursi
pada para pendusta yang tanpa malu menulis sejarah –
dengan tinta korupsi dan peluru.

Apakah akan kita jual keyakinan kita,
dalam pengabdian tanpa harga diri?
Apakah kita akan menjual nurani,
untuk sepiring nasi oplosan?
Akankah kita bersalaman,
dengan tangan berdarah orba,
yang kini dicuci parfum demokrasi digital ?
Akankah kita duduk satu meja ?!

Tidak
Tidak ada pilihan lain !
Kita harus bergerak, berjalan terus !
Meski lutut kita berdarah,
dan lidah kita dijahit aturan—
dan dikerdilkan lewat undang undang.

Kita adalah manusia bermata sayu,
yang beribu waktu di tepi jalan, berdiri di halte impian,
mengacungkan tangan
untuk bus dan alphard terus berlalu
bus kemakmuran itu tak pernah berhenti untuk kita—
kita yang setiap hari dihitung suaranya
tapi tak pernah diperhitungkan kesejahteraannya.

Kita adalah berpuluh juta anak kandung pertiwi
yang bertahun hidup sengsara,
dipukul banjir, gunung api, kutuk, dan hama
Dan bertanya-tanya :
Inikah yang namanya merdeka?
dijanjikan surga tapi dikirim ke neraka pasar bebas,
diberi upacara bendera tapi tak pernah punya rumah.
Inikah yang disebut merdeka?
jika tanah habis terjual, hutan masih bisa dibakar,
laut dipagar dan langit pun bisa disewakan
kepada investor asing yang mengaku dewa.

Kita tidak punya kepentingan
dengan seribu slogan, dengan seribu pengeras suara—
yang hampa makna
hanya berwajah selebritas
hanya hadir saat kamera menyala
Kami butuh keadilan.

Sungai kami bau busuk,
hutan kami gundul,
sekolah kami roboh,
hukum hanya hiasan pidato,
dan tahta adalah gunungan sampah—
yang hanya jadi bahan gunjingan sosial media
tanpa satu pun tangan sungguh-sungguh mengangkatnya.

Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita harus bergerak terus !
Kita harus berjalan terus !
bergandeng rapat satu jiwa satu perjuangan
Meski jalan kita
adalah tanah batu berlumpur,
adalah malam gelap pekat,
adalah dunia yang mencibir hina
Saudaraku, Indonesia
Kita harus berjalan terus!
dari seluruh penjuru
Illu—
Pa’sanding—
Lojeng—
Durindeng—
Kita harus ambil tanah dan kedaulatan itu kembali
karena berhenti adalah mati.
karena mundur adalah membiarkan bumi luhur ini
dirampas seluruhnya—
sama saja menandatangani akta kematian negeri ini!
Kita harus ambil tanah dan kedaulatan itu kembali [wir]