Rangkap Jabatan Wakil Menteri: Menabrak Etika, Merusak Tata Kelola

Rangkap Jabatan Wakil Menteri: Menabrak Etika, Merusak Tata Kelola

Rangkap Jabatan Wakil Menteri: Menabrak Etika, Merusak Tata Kelola
Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XXIII/2025 kembali menegaskan satu prinsip penting dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan efisien, yakni terkait larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri, termasuk sebagai komisaris di badan usaha milik negara (BUMN).
Meski permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak dapat diterima karena pemohon meninggal dunia, substansi
putusan MK
tetap menegaskan bahwa wakil menteri tunduk pada larangan yang sama seperti menteri dalam hal merangkap jabatan.
Putusan ini merujuk pada
Putusan MK
Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang menyatakan secara tegas bahwa karena menteri dan wakil menteri sama-sama diangkat oleh presiden, maka keduanya memiliki status hukum yang setara dan karenanya tunduk pada larangan yang sama dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara.
Pasal ini menyebutkan bahwa menteri tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, direksi atau komisaris BUMN, pimpinan organisasi swasta, atau profesi lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Namun realitas berbicara lain. Per Juli 2025, catatan
Kompas.com
, sedikitnya 30 wakil menteri aktif merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Nyatanya, fenomena ini bukan hanya menabrak norma etika publik, tetapi juga memicu persoalan serius dalam hal efektivitas birokrasi dan potensi konflik kepentingan yang menggerogoti akuntabilitas kebijakan.
Pemerintah berdalih bahwa larangan tersebut hanya muncul dalam pertimbangan hukum, bukan dalam amar putusan. Namun, pandangan ini menyederhanakan esensi putusan MK sebagai satu kesatuan norma.
Jangan lupa, pertimbangan hukum dalam putusan MK memiliki kekuatan hukum yang mengikat, karena ia menjadi bagian tak terpisahkan dari
ratio decidendi
, atau landasan utama dari putusan peradilan.
Dalam praktik hukum tata negara modern, ini dikenal sebagai
binding precedent
, yang berarti bahwa pertimbangan hukum harus dipatuhi sebagaimana amar putusan.
Lebih jauh, Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang MK menyebutkan bahwa MK berwenang memutus permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan putusannya bersifat final dan mengikat.
Artinya, argumen bahwa putusan tidak sah karena hanya berada dalam pertimbangan hukum adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip hukum acara dan supremasi konstitusi.
Dari perspektif teori administrasi publik, larangan rangkap jabatan didasarkan pada asas integritas dan fokus kelembagaan.
Dwight Waldo, dalam
The Administrative State
(1948), menekankan pentingnya pembedaan peran antara pembuat kebijakan dan pelaksana agar tidak terjadi
role conflict
yang melemahkan institusi negara.
Dalam kerangka itu, rangkap jabatan seorang wakil menteri sebagai komisaris di BUMN akan menimbulkan situasi di mana satu orang memainkan dua kepentingan institusional yang berbeda, di mana satu sebagai regulator, satu sebagai pelaku usaha negara.
Ini juga bertentangan dengan prinsip
Good Corporate Governance
(GCG) yang diatur dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Implementasi GCG di BUMN, yang mensyaratkan pemisahan yang tegas antara pengawasan dan pelaksanaan bisnis.
Konflik kepentingan bukan hanya potensi, tapi nyaris keniscayaan dalam rangkap jabatan semacam ini.
Dalam laporan
State and Civil Service Performance
yang diterbitkan oleh OECD (2021), disebutkan bahwa pejabat negara dengan beban kerja ganda mengalami penurunan kinerja hingga 24 persen dibanding pejabat tunggal, khususnya dalam fungsi pengambilan keputusan yang memerlukan perhatian penuh dan koordinasi intensif.
Di Indonesia, riset Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 2023 menunjukkan bahwa beban kerja wakil menteri di kementerian dengan fungsi teknis (seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian ESDM) rata-rata menyentuh 52 jam kerja per minggu. Artinya, jabatan komisaris hanya akan menjadi sumber
overlap
, bukan sinergi.
Jika beban kerja sebagai wakil menteri begitu tinggi, maka mengapa masih dirangkap dengan posisi komisaris?
Apakah jabatan komisaris hanya menjadi bentuk
political reward
atau bahkan rente politik yang dikemas secara legalistik?
Rangkap jabatan wakil menteri
sebagai komisaris juga memperlihatkan kecenderungan politisasi jabatan publik. Banyak dari nama-nama wamen yang merangkap adalah figur partai atau orang dekat lingkar kekuasaan.
Dalam jangka panjang, praktik semacam ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap meritokrasi dalam birokrasi dan memperdalam kesan bahwa jabatan publik lebih sebagai alat akomodasi politik daripada fungsi pelayanan.
Dalam sistem demokrasi modern, etika jabatan publik harus lebih tinggi dari sekadar formalitas hukum.
Presiden dan jajaran Istana sepatutnya menunjukkan
political leadership
dengan memastikan semua pejabat publik – termasuk wakil menteri – menjalankan tugas secara penuh, fokus, dan bebas dari konflik kepentingan.
Putusan MK Nomor 21/PUU-XXIII/2025 adalah pengingat penting bahwa tata kelola pemerintahan tidak bisa dijalankan dengan akal-akalan legalistik.
Semua pejabat publik, termasuk presiden dan para menterinya, wajib tunduk pada konstitusi dan semangat reformasi birokrasi. Kita tak boleh membiarkan praktik rangkap jabatan terus berlangsung atas nama efisiensi atau loyalitas politik.
Etika, efektivitas, dan konstitusionalitas adalah tiga pilar yang seharusnya menuntun setiap kebijakan publik. Dan dalam konteks ini, ketiganya sudah cukup menjadi alasan bahwa wakil menteri tidak boleh rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Kini saatnya pemerintah menunjukkan komitmen nyata pada tata kelola yang bersih dan profesional. Sebab kalau tidak, publik punya hak untuk bertanya: siapa sesungguhnya yang sedang dilayani—negara, partai, atau kepentingan pribadi?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.