Purbaya di Antara Godaan Turunkan Tarif atau Benahi Administrasi PPN

Purbaya di Antara Godaan Turunkan Tarif atau Benahi Administrasi PPN

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka opsi untuk menurunkan tarif pajak pertambahan nilai alias PPN. Rencana penurunan tarif PPN diklaim akan membantu meningkatkan daya beli masyarakat. 

Namun demikian, di luar kebijakan populis tersebut, langkah pemerintah untuk membenahi administrasi PPN juga diperlukan untuk memastikan ada keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan penerimaan negara.

Sekadar catatan, pemerintah telah menaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 lalu. Kenaikan tarif PPN itu merupakan konsekuensi dari pelaksanaan Undang-undang No7/2001 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang lebih condong kepada dunia usaha.

Sejatinya, beleid itu juga mengatur bahwa tarif PPN naik menjadi 12% pada 2025. Namun karena penolakan publik, kenaikan tarif PPN hanya berlaku secara terbatas, yakni untuk barang mewah. 

Meski demikian, Purbaya mengemukakan bahwa pihaknya perlu melihat kondisi perekonomian ke depan, setidaknya sampai dengan Maret 2026 untuk menentukan kebijakan tarif PPN. Dia menyebut perlu dorongan tambahan untuk memperbaiki daya beli masyarakat, setelah sebelumnya menginjeksi likuiditas ke sistem keuangan melalui himbara senilai Rp200 triliun. 

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa-JIBI

Bekas Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu juga mengatakan otoritas fiskal akan berhati-hati dalam mengambil keputusan soal opsi penurunan PPN. Dia pun tak ingin perubahan kebijakan pajak itu bisa berdampak ke semakin lebarnya defisit APBN melewati batas 3% terhadap PDB. 

“Jadi setelah triwulan pertama tahun depan, saya akan bisa lihat sepertinya respons sistem terhadap perubahan kebijakan fiskal dalam hal manage uang seperti apa. Kalau mau kita dorong, kita dorong di sebelah mana. Dari situ kan kelihatan,” ujar Purbaya.

Rumitnya Administrasi PPN 

Terlepas dari rencana penurunan tarif, administrasi PPN di Indonesia tergolong rumit. Hal itu terjadi karena semakin banyaknya kebijakan yang membebaskan pengenaan PPN atau tax exemption. 

Sekadar ilustrasi, pada tahun 2024 lalu penerimaan PPN tercatat hanya sebesar Rp828,5 triliun. Meski tercatat tumbuh, kinerja penerimaan PPN pada 2024 lalu hanya sebesar 6,9% dari total konsumsi rumah tangga atas harga berlaku yang angkanya sebesar Rp11.1964,9 triliun. Padahal, normalnya, kalau mengacu kepada tarif PPN sebesar 11%, penerimaan PPN seharusnya bisa menembus angka Rp1.316,13 triliun. 

Tidak hanya itu kalau menggunakan rumus VAT gross collection ratio yang rumusnya adanya realisasi penerimaan PPN dibagi dengan tarif PPN dikalikan konsumsi rumah tangga, maka penerimaan PPN yang dipungut oleh pemerintah hanya sekitar 62,9% dari potensinya. Padahal, kalau mengacu kepada benchmark negara lain, angka ideal PPN yang seharusnya dipungut pemerintah ada di kisaran 70% dari potensi PPN.

Tahun
PPN
Konsumsi RT
Ratio
VAT Gross Ratio

2022 
687,6
10.161,7
6,76
61,5

2023
764,3
11.109,6
6,8
62,5

2024
828,5
11.964,9
6,9
62,9

Sumber: Kemenkeu, BPS, diolah

Belum optimalnya kinerja pemungutan PPN itu merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang royal menggelontorkan insentif dan stimulus yang efeknya tidak terlalu signifikan ke perekonomian. Pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5%. Tidak pernah menembus angka 6% kecuali ada booming komoditas. 

Bukti royalnya insentif dan stimulus pemerintah itu tampak dari realisasi belanja pajak. Saat ini, insentif untuk aktivitas konsumsi masih mendominasi struktur belanja pajak atau tax expenditure yang digelontorkan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Besarannya mencapai Rp371,9 triliun atau 65,9% dari total belanja perpajakan tahun depan sebesar Rp563,6 triliun.

Sementara itu, belanja perpajakan untuk Pajak Penghasilan (PPh) pada RAPBN 2026 diproyeksikan sebesar Rp160,1 triliun atau lebih besar dari 2025 yakni Rp150,3 triliun.

Kemudian, untuk bea masuk dan cukai diproyeksikan Rp31,1 triliun atau lebih kecil dari tahun sebelumnya yakni Rp36,2 triliun. Sedangkan, PBB P5L diproyeksikan pada 2026 sebesar Rp0,1 triliun atau hampir sama dengan tahun sebelumnya. 

Penerimaan Pajak 2025

Adapun kinerja APBN 2025 membukukan penerimaan pajak sebesar Rp1.295,3 triliun sampai dengan akhir September 2025. Realisasinya turun sebesar 4,4% (yoy) dari September 2024 yakni Rp1.354,9 triliun.

Purbaya masih membutuhkan setoran sebesar Rp781,6 triliun untuk menutup celah penerimaan pajak tahun 2025 yang outlooknya sebesar Rp2.076,9 triliun.

Secara umum, pendapatan negara sampai dengan 30 September 2025 adalah sebesar Rp1.863,3 triliun atau turun 7,2% (yoy) dari periode yang sama pada 2024 yang sudah mencapai Rp2.008,6 triliun. Realisasinya baru 65% dari outlook yakni Rp2.865,5 triliun.

“Lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu bersumber dari penerimaan akibat penurunan harga migas dan tambang,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa di gedung kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta.

Secara terperinci, penerimaan perpajakan September 2025 yakni Rp1.516,6 triliun atau mencapai 63,5% dari outlook. Realisasinya turun 2,9% dari periode yang sama tahun lalu. Penerimaan pajak turun hingga 4,4% yoy dari September 2024. Realisasinya baru 62,4% terhadap outlook penerimaan pajak yakni Rp2.076,9 triliun.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara melaporkan bahwa penerimaan pajak bruto per September 2025 sebesar Rp1.619,2 triliun atau sudah lebih tinggi dari September 2024 yakni Rp1.588,2 triliun.

Dari penerimaan PPh badan, PPh orang pribadi, PBB, hanya PPN dan PPnBM yang realisasinya masih turun yakni 3,2% dari tahun sebelumnnya pada September 2025. Nilainya yakni Rp702,20 triliun hingga 20 September 2025. “Akan kita pantau terus semoga-moga semakin menuju ke belakang perekonomian semakin baik, realisasi bruto semakin meningkat,” katanya.

Sementara itu, penerimaan pajak secara neto Rp1.295,28 triliun atau turun dari September 2024 yakni Rp1.354,86 triliun. Suahasil menjelaskan bahwa kondisi tersebut karena masih ada restitusi pajak. “Restitusi artinya dikembalikan kepada masyarakat, dunia usaha, wajib pajak sehingga uangnya beredar di tengah-tengah perekonomian. Kita berharap dengan uang beredar di tengah perekonomian termasuk yang berasal dari restitus membantu gerak ekonomi kita selama ini,” pungkasnya.