Produsen & Pedagang Teriak Utang Migor, Ini Jawab Kemendag!

18 October 2023, 20:15

Tangerang, CNBC Indonesia – Polemik pembayaran utang selisih harga atau rafaksi minyak goreng masih belum menemukan titik terangnya. Padahal, pengusaha ritel telah berulang kali menagih pembayaran hutang ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebesar Rp 344 miliar, untuk 31 perusahaan yang memiliki kurang lebih 45.000 toko yang mengikuti program refraksi minyak goreng 2022.

Namun kini, tak hanya peritel yang menyuarakan protesnya, melainkan pabrikan minyak goreng selaku produsen juga mulai membuka tabir nilai kerugian yang diperoleh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tiga raksasa perusahaan produsen minyak goreng yakni Wilmar, Musim Mas hingga Permata Hijau Grup mengungkapkan nilai kerugian akibat polemik minyak goreng hampir tembus Rp 2 triliun. Angka ini diperoleh berdasarkan perhitungan dari Kantor Akuntan Publik seperti Ernst & Young.

“Wilmar rugi Rp 947.379.412.161, Permata Hijau Grup Rp 140.823.360.233 dan Musim mas Rp 551.585.768.587, total sekitar Rp 2 triliun,” ungkap Kuasa Hukum ketiga perusahaan tersebut, Marcella Santoso kepada CNBC Indonesia, seperti dikutip Rabu (18/10/2023).

Nilai kerugian ini terjadi karena kerap berubahnya regulasi dari pemerintah. Dimulai ketika keluarnya Permendag 1 Tahun 2022 Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyarakat pada 11 Januari 2022. Dari aturan ini produsen dapat menyediakan minyak goreng kemasan sederhana dengan mekanisme Rafaksi subsidi, dimana produsen akan memperoleh Dana Pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setelah melakukan penjualan kepada konsumen sesuai dengan HET.

“Pertama penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) ditetapkan Rp 14 ribu/liter, padahal biaya produksinya 17 ribu/liter. Pengusaha protes karena setiap liter kita rugi Rp 3 ribu, kata pemerintah tenang aja dibikin peraturan kalian disubsidi BPDPKS, Pokoknya cepat disebarkan. Baru dua Minggu nilai subsidi Rp 800 miliar, dianggap terlalu besar BPDPKS menyubsidi, jadi dibatalkan diganti syarat Persetujuan Ekspor (PE),” tutur Marcella.

Baru satu minggu berjalan, pada 18 Januari aturannya berubah dimana keluar Permendag Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur persyaratan bagi produsen/eksportir CPO dan produk turunannya untuk memperoleh Persetujuan Ekspor melalui domestic market obligation (DMO). Semula nilai DMO nya sebesar 20% lalu naik menjadi 30%. Berubahnya aturan membuat kewajiban subsidi pemerintah melalui BPDPKS jadi menggantung dan belum terbayarkan hingga kini.

Namun, ketika pabrikan tetap melakukan DMO demi bisa mendapatkan PE hingga keluar PE tersebut, rilis lagi aturan baru Permendag Nomor 12 Tahun 2022 yang mengatur permohonan Perizinan yang masih dalam proses penerbitan tidak dapat diproses lebih lanjut, sehingga ekspor tidak bisa lanjut.

Kerap berubahnya regulasi membuat pabrikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Kementerian Perdagangan. Dari dokumen gugatan yang diterima CNBC Indonesia, baik Wilmar, Musim Mas dan Permata Hijau Grup mendaftarkan gugatan pada 18, 19 dan 20 September 2023 lalu. Hingga kini sudah menjalani tiga kali persidangan.

“Goals gugatan bukan untuk memenjarakan Menteri atau Dirjen, nggak. Kalau gugatan dipenuhi hukumannya pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk memulihkan kerugian kita untuk dasar hukum sebagai pembayaran yang dikeluarkan,” ucap Marcella.

Polemik kerugian migor ini mirip seperti utang pemerintah terhadap pengusaha ritel yang mencapai Rp 344 miliar. Pemerintah belum bisa membayarkan hutang tersebut karena kerap berubahnya regulasi.

Kejaksaan Agung sampai memberikan legal opinion hingga perlu ada verifikasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) demi meminimalisir terjadinya salah prosedur pembayaran.

Sebelumnya, Direktur Ekonomi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Mulyawan Ranamanggala menyampaikan bahwa akibat pemerintah tidak melaksanakan kebijakan Permendag Nomor 3 tahun 2022, diperkirakan terdapat tagihan rafaksi sebesar Rp 1,1 triliun yang tidak dibayarkan.

Adapun pihak yang memiliki hak tagih dalam pembayaran rafaksi tersebut, kata Mulyawan, ialah produsen minyak goreng dan distributor, serta pelaku usaha ritel-ritel modern. Untuk produsen minyak goreng dan distributor diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 700 miliar sehingga kemudian untuk ritel mencapai Rp 334 miliar.

“Jadi total tagihan rafaksi pada bulan Januari 2022 itu mencapai Rp 1,1 triliun,” ungkap Mulyawan dalam konferensi pers terkait pembayaran rafaksi minyak goreng, Rabu (10/5/2023).

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim mengungkapkan alasan mandeknya pembayaran utang rafaksi karena perbedaan angka pada klaim penagihan.

“KPPU itu kan angka di KPPU yang Rp1,3 triliun. Jadi yang di Kemendag yang rafaksi itu angkanya bukan segitu. Data perusahaan itu datanya Rp800 jutaan, (sekitar) Rp814 juta atau Rp812 juta. Itu data resmi dari perusahaan-perusahaan yg ikut rafaksi. Tagihan hitam di atas putih. Nah dari angka itu kemudian dilakukan verifikasi akhirnya keluar jadi Rp470 jutaaan, itu hasil verifikasi Sucofindo sebagai surveyor independen yang ditunjuk oleh kemendag,” jelas Isy Karim saat ditemui di ICE BSD Tangerang, Rabu (18/10/2023).

Sementara itu, Isy Karim mengatakan pihaknya saat ini masih menunggu diagendakannya kembali pertemuan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk membahas lebih lanjut putusan akhir pembayaran utang rafaksi.

“Sekarang masih nunggu pertemuan lagi. Kan kemarin ada surat dari Kemenkopolhukam bahwa surat itu isinya dikembalikan ke Kemendag, sama Kemendag untuk berkirim surat ke Kemenko Perekonomian. Sekarang kan Kemenko Perekonomian yang jadi deputinya masih Plt (Pelaksana Tugas) karena sedang istirahat kan, jadi ini yang perlu kita komunikasikan lagi,” tuturnya.

“Jadi intinya sih akan kita usulkan untuk diangkat ke tingkat Rakortas. Cuma kan waktunya belum memungkinkan. Kan sebelum kami kirim surat resmi, kita koordinasi dulu, tapi belum ada kesepakatan mengenai waktunya,” tambah dia.

Selain masalah perbedaan angka klaim pembayaran, kata Isy, perbedaan penafsiran Permendag juga menjadi hambatan dalam pembayaran utang rafaksi.

“Karena Permendagnya dicabut itu dianggap tidak berlaku lagi. Namun ada juga yang menyatakan bahwa Permendag itu dicabut, tapi akibat hukum dari pelaksanaan itu kan tetap harus pemerintah, dalam hal ini Kemendag masih punya kewajiban. Itu adalah pendapat kedua. Nah itu yang untuk menyatukan pendapat-pendapat itu, sehingga nanti baru selesaikan,” terang dia.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Diserang Habis Eropa, Ternyata Ini Keunggulan Minyak Sawit RI

(mij/mij)

Tokoh

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi