TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan kebijakan penghapusan kuota impor untuk komoditas pangan penting seperti daging dan bawang putih.
Langkah ini bertujuan untuk mendorong stabilitas harga dan keberlanjutan pasokan pangan dalam negeri.
Namun, menurut analis kebijakan pangan, Syaiful Bahari, penghapusan kuota ini perlu diikuti dengan revisi peraturan yang mengatur impor agar kebijakan Presiden tidak hanya menjadi wacana semata.
Syaiful menegaskan bahwa beberapa peraturan yang mengatur impor pangan, seperti Permentan Nomor 17 Tahun 2022 dan Permendag Nomor 20 Tahun 2021, harus dicabut atau direvisi. Jika tidak, perintah Presiden akan kehilangan dampaknya, karena regulasi-regulasi tersebut masih menciptakan potensi monopoli dan ketidakadilan dalam distribusi impor.
“Peraturan-peraturan tersebut berisi pasal-pasal yang mengatur impor daging dan hortikultura,” kata Syaiful.
Menurut Syaiful, peraturan-peraturan tersebut menciptakan ketidaksetaraan antara BUMN dan pihak swasta yang ingin ikut terlibat dalam impor. Pelaku usaha swasta yang tidak berafiliasi dengan BUMN sering kali kesulitan untuk mendapatkan penunjukan sebagai importir atau kuota impor.
Selain itu, penetapan kuota impor daging diputuskan melalui Ratas Kemenko Perekonomian atau Pangan berdasarkan neraca komoditi dari Bapanas.
“Regulasi ini tentu saja menciptakan potensi monopoli impor dan pengendalian harga oleh BUMN atau swasta yang berafiliasi dengan BUMN sebagai distributor. Pelaku usaha lain di luar BUMN, selain sulit mendapat penunjukan sebagai importir, juga peluang untuk mendapatkan kuota sangat kecil,” kata Syaiful.
Syaiful juga mengungkapkan bahwa kebijakan kuota impor selama ini telah menyebabkan gejolak harga yang tidak terkendali di pasar, terutama pada komoditas hortikultura seperti bawang putih dan buah impor.
Menurutnya, fenomena ini merugikan masyarakat dan menciptakan ekonomi rente, di mana segelintir pihak mendapatkan keuntungan besar sementara rakyat terbebani harga tinggi.
Lebih lanjut, Syaiful menyoroti bahwa Ombudsman RI bahkan telah mengungkapkan kerugian masyarakat yang mencapai Rp4,5 triliun akibat permainan kuota impor bawang putih. Laporan ini pun menunjukkan bahwa kebijakan impor tersebut merugikan ekonomi negara dan masyarakat kecil.
“Sebenarnya, peringatan ini sudah disampaikan oleh Ombudsman RI dalam Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) akhir 2023, menyebutkan kerugian masyarakat atas permainan kuota impor bawang putih mencapai Rp. 4,5 triliun. Bahkan, sebelum perang tarif diluncurkan oleh Trump, Amerika Serikat sudah merilis Laporan Estimasi Perdagangan Nasional Tahunan Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United State Trade Representative/USTR) pada Maret 2025 yang menyoroti RIPH sebagai salah satu isu non tarif barrier,” ujarnya.
Syaiful optimistis penghapusan kuota impor tidak akan mengganggu upaya pemerintah untuk mencapai swasembada pangan. Ia menjelaskan bahwa komoditas yang dibebaskan dari sistem kuota impor adalah produk pangan yang memang sulit diproduksi di dalam negeri atau, jika diproduksi, tidak secara efisien.
Menurutnya, tidak ada negara yang 100 persen swasembada, beberapa produk pangan memang tidak bisa diproduksi di dalam negeri atau hanya dapat diproduksi dengan biaya yang tinggi. Jadi, penghapusan kuota impor justru membuka ruang untuk kebijakan yang lebih adil dan efisien.
“Jadi, kalau ada yang mengatakan penghapusan kuota impor pangan ini akan mengancam produk pertanian lokal, itu salah besar,” katanya.
Sebagai solusi, Syaiful menyarankan agar penghapusan kuota impor digantikan dengan kebijakan tarifisasi yang wajar dan variatif, tergantung pada jenis komoditas yang diimpor. Hal ini akan memungkinkan negara untuk mengumpulkan dana yang dapat digunakan untuk mendukung petani lokal dan meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia di pasar global.
Sebagaimana yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani dalam pernyataannya bahwa “negara selama ini tidak pernah mendapat pemasukan dari penerapan kuota impor”.
“Dana dari tarifisasi ini bisa digunakan untuk program-program yang menguatkan daya saing produk pertanian dalam negeri, agar Indonesia tidak tertinggal dari negara lain. Pada saat yang sama, konsumen bisa mendapatkan harga yang lebih terjangkau,” tambahnya.