Baru-baru ini, istilah abolisi kembali menjadi sorotan publik menyusul keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, atau yang dikenal sebagai Tom Lembong. Pemberian abolisi ini secara efektif menghentikan seluruh proses hukum yang menjerat mantan Menteri Perdagangan tersebut terkait kasus dugaan korupsi importasi gula.
Pemberian abolisi oleh Presiden tidak dapat dilakukan secara sepihak, melainkan harus melalui mekanisme yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Presiden wajib memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) terkait abolisi, memastikan adanya checks and balances dalam penggunaan hak prerogatif ini.
Secara fundamental, abolisi adalah tindakan penghapusan proses hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang, baik yang sedang berjalan maupun yang baru akan dimulai.
Ini berarti penuntutan pidana dihentikan sepenuhnya, dan segala akibat hukum dari perkara tersebut ditiadakan sebelum pengadilan menjatuhkan vonis. Abolisi juga dapat menghentikan penyelidikan atau pemeriksaan hukum terhadap suatu kasus.
Penting untuk membedakan abolisi dengan bentuk pengampunan hukum lainnya, yaitu amnesti dan grasi. Abolisi secara spesifik menghentikan proses penuntutan sebelum adanya putusan pengadilan yang inkrah. Amnesti adalah pengampunan yang diberikan secara kolektif kepada sekelompok orang atau individu yang melakukan tindak pidana tertentu, seringkali terkait dengan masalah politik atau konflik.
Amnesti dapat diberikan meski tanpa adanya pengajuan permohonan terlebih dahulu. Hal ini berdasar pada Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan Presiden berwenang memberikan amnesti dan abolisi, namun kewenangan itu tetap harus mempertimbangkan pendapat DPR.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5092182/original/096033300_1736755503-20250113-Hasto-GANG_3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)