Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencari cara untuk menutup penerimaan yang hilang, sebagai imbas dari batalnya implementasi PPN 12% untuk barang jasa secara umum dan hanya berlaku untuk barang mewah.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan memprediksi implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%—untuk barang/jasa umum dan barang mewah—akan memberikan penerimaan negara senilai Rp75 triliun.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyampaikan untuk mencari pengganti penerimaan tersebut, otoritas fiskal akan memaksimalkan sumber penerimaan selain PPN.
“Bagaimana untuk mencari pengganti [penerimaan]? Kami maksimalkan yang lain. Kalau saya di sisi penerimaan ya kami mencoba untuk mencari sumber-sumber penerimaan, ekstensifikasi dan intensifikasi,” ujarnya dalam Media Briefing di Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Meski demikian, Suryo tidak menjelaskan langkah ekstensifikasi dan intensifikasi apa yang akan dijalankan oleh pihaknya untuk menutup penerimaan yang hilang tersebut.
Teranyar, Ditjen Pajak meluncurkan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau juga dikenal dengan Core Tax Administration System (CTAS) yang diyakini dapat menambah penerimaan negara.
Sesuai dengan kajian World Bank atau Bank Dunia sebelumnya, di mana implementasi sistem baru dalam perpajakan Indonesia ini dapat mengerek rasio pajak atau tax to GDP ratio sebesar 1,5%.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti kebijakan tersebut akan berisiko menurunkan penerimaan negara dan akan berdampak pada belanja negara yang ditargetkan senilai Rp3.621,3 triliun.
Kekhawatiran tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang memproyeksi PPN 12% khusus untuk barang mewah mengurangi penerimaan negara hingga Rp71,8 triliun. Dia mengatakan potensi pendapatan negara dari penerapan PPN 12% khusus barang mewah hanya sekitar Rp3,2 triliun.
Padahal, sambungnya, potensi penerimaan negara apabila PPN 12% diberlakukan pada semua barang/jasa mencapai Rp75 triliun.
Dalam APBN tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan negara dari PPN dan PPnBM senilai Rp945,12 triliun yang terdiri dari PPN Dalam Negeri senilai Rp609,5 triliun dan PPN Impor senilai Rp308,74 triliun.
Sumber lainnya, yakni dari Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Dalam Negeri senilai Rp10,78 triliun, PPnBM Impor Rp5,8 triliun, dan PPN/PPnBM Lainnya senilai Rp10,7 triliun.
Membandingkan dengan 2022, kala itu PPN naik dari 10% menjadi 11%, Sri Mulyani berhasil mengantongi Rp60 triliun. Artinya penerimaan negara dari kenaikan PPN 12% akan lebih besar dari periode kenaikan tarif 2022 lalu.