Pasuruan (beritajatim.com) – Polemik rencana pembangunan Batalyon di wilayah Lekok–Nguling kembali memasuki tahap krusial setelah pembahasan kembali digelar di DPRD Kabupaten Pasuruan. Rapat dengar pendapat (RDP) Jumat (28/11) menjadi forum besar yang mempertemukan Forkopimda, camat, kepala desa, perwakilan warga, serta jajaran TNI AL.
Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Samsul Hidayat, menyampaikan bahwa forum ini dibuka untuk memberi ruang kepada semua pihak yang mengajukan keberatan maupun dukungan. “Kami ingin semua suara didengar, karena keputusan ini menyangkut hajat hidup masyarakat,” ujarnya.
Perwakilan warga tetap mempertanyakan legalitas tanah yang selama ini menjadi sumber konflik terkait proyek tersebut. Ketua Forum Komunikasi Tani Antar Desa, Lasminto, menegaskan bahwa SHP tahun 1992 tidak memenuhi prosedur karena didasarkan pada peta situasi 1987 yang dianggap tidak memuat informasi lengkap tentang hak atas tanah.
Ia menambahkan bahwa sejumlah dokumen lama menunjukkan peruntukan tanah seluas sekitar 600 hektare adalah permukiman, bukan pertahanan. Lasminto juga menyebut stagnasi revisi RTRW sejak 2019 semakin membuat warga terhimpit dan berharap Forkopimda memfasilitasi pertemuan langsung dengan Kementerian Pertahanan.
Keluhan juga datang mengenai dampak sosial dan fasilitas umum yang dinilai terhambat akibat status tanah yang belum tuntas. Ketua BPD Semedusari, Amir, menyebut pembatasan pemasangan trafo listrik hingga kerusakan akses jalan berdampak pada pelayanan publik dan mobilitas pendidikan anak.
Dari pihak TNI AL, Komandan Kolatmar Brigjen TNI (Mar) Agus Dwi Laksana Putra menegaskan bahwa perbedaan pandangan hukum tidak seharusnya membentuk sekat antara institusi dan masyarakat. “Semua putusan sudah jelas, mulai PN Bangil hingga kasasi, tapi kami tidak ingin memperlebar perbedaan,” ujarnya.
Agus menambahkan bahwa Batalyon 15 bukan batalyon tempur dan rencananya berfungsi untuk upaya ketahanan pangan dan pembangunan wilayah. Ia juga memastikan tidak ada warga yang akan tergusur dan menyatakan pihaknya sejalan dengan warga dalam hal tidak merugikan masyarakat sekitar.
Sumber ketegangan, menurut Agus, muncul dari misinformasi yang berkembang di tengah masyarakat. Ia menyampaikan bahwa Kementerian Pertahanan telah menyiapkan sejumlah alternatif penyelesaian dan para pejabat pusat dijadwalkan turun langsung ke wilayah.
Anggota DPRD Kabupaten Pasuruan asal Nguling, Eko Suryono, menyebut bahwa 40 ribu warga tinggal di atas tanah yang disengketakan seluas 3.676 hektare dengan berbagai bangunan fasilitas umum yang dibangun menggunakan instruksi dan dana pemerintah. Ia menilai kondisi saat ini sebagai anomali.
“Di sisi lain, ada larangan membangun jalan, irigasi, bahkan mengurus KTP dan KK. Ini situasi yang sangat anomali bagi kami. Negara harus hadir menyamakan persepsi. Presiden pun menegaskan komitmen pemberantasan mafia tanah,” jelasnya.
Menutup rapat, Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Samsul Hidayat, menegaskan bahwa persoalan tanah Lekok–Nguling sudah berulang kali dibahas dan tiga pansus telah dibentuk. Ia menambahkan bahwa penyelesaian berada di kewenangan pemerintah pusat dan pihaknya akan mengirim surat agar konflik ini masuk dalam pembahasan Pansus Agraria DPR RI untuk memastikan ada keputusan yang adil dan tidak menghambat pembangunan daerah. (ada/kun)
