Pasuruan (beritajatim.com) – Proses alih fungsi lahan di wilayah Prigen kembali menjadi sorotan setelah sejumlah dokumen menunjukkan perubahan status kawasan dari lahan hijau menjadi lahan kuning. Perubahan tersebut memicu perdebatan karena dinilai tidak sesuai dengan karakter lingkungan setempat.
Dalam rapat pansus, Susanti Edi Peni dari Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang menjelaskan bahwa pada tahun 2011 kawasan tersebut masih milik PT Kusuma Raya. Namun, pada 2014 kepemilikan berubah menjadi PT Stasiun Kota Sarana Permai.
Tak sampai di situ, pada tahun 2021 permohonan alih fungsi lahan diajukan oleh PT Stasiun Kota Sarana Permai. Pengajuan tersebut beracuan pada SK Kementerian Kehutanan yang terbit di tahun yang sama, di mana kawasan tersebut sudah tidak lagi masuk kawasan hutan.
Sehingga pada 2024 lalu, kawasan tersebut yang semula kawasan hijau kini berganti menjadi kawasan kuning. “Kalau bunyi dari SK Kementerian Kehutanan itu, wilayah tersebut berada di dekat permukiman dan hanya 1 persen dalam kawasan hutan,” terangnya dalam rapat di Gedung DPRD Kabupaten Pasuruan, Senin (24/11/2025).
Santi juga mengatakan bahwa pada awalnya, kawasan tersebut hanya memiliki izin untuk kawasan wisata terpadu sehingga bisa dilaksanakan. Namun, Santi menegaskan bahwa perubahan ke real estat sangat bertentangan dengan kondisi geografis wilayah itu.
Ia juga menyampaikan bahwa lahan tersebut sejak awal memiliki karakter sebagai kawasan resapan. Karena itu, pengalihfungsian menjadi kawasan perumahan dinilai berisiko terhadap lingkungan sekitar.
“Dari sisi tata ruang, kawasan ini tidak sesuai untuk pengembangan real estat,” tambahnya. Ia menyebut bahwa rekomendasi tetap dikeluarkan karena mengikuti alur permohonan yang sudah diproses sejak lama.
Ketua Pansus Realestat Prigen, Sugiyanto, menyoroti bahwa investasi memang penting namun harus memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Ia menyebut bahwa dua OPD telah menyatakan kawasan tersebut merupakan area resapan air yang seharusnya tidak layak dijadikan permukiman.
“Kami sadar investasi tidak perlu ditolak, tapi kalau membahayakan lingkungan tentu harus dikaji ulang,” tegas Sugiyanto. Ia meminta seluruh pihak terbuka mengenai dokumen dan proses pengajuan agar tidak menimbulkan kecurigaan publik.
Sugiyanto juga menilai bahwa adanya perbedaan rekomendasi antarinstansi harus dibahas lebih mendalam. Menurutnya, pansus masih memerlukan data tambahan untuk memastikan tidak ada penyimpangan prosedural. “Kami belum sampai pada dugaan kriminal, namun ruang untuk menelusuri lebih jauh tetap ada,” ujarnya. Ia memastikan pansus akan menindaklanjuti seluruh temuan dalam rapat lanjutan berikutnya. (ada/kun)
