PLTU Batu Bara Disuntik Mati, RI Jangan Sampai Krisis!

18 October 2023, 19:45

Jakarta, CNBC Indonesia – Dewan Energi Nasional (DEN) menyoroti rencana Indonesia yang akan memensiunkan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dalam negeri. Hal ini jangan sampai membuat Indonesia mengalami krisis energi.

Anggota DEN, Herman Darnel Ibrahim mengatakan bahwa pemerintah harus memperhitungkan dengan detail jika ingin memensiunkan dini PLTU batu bara dan memastikan sumber energi penggantinya khususnya oleh energi baru terbarukan (EBT) yang bisa dipastikan keandalannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Phase out coal (pensiun dini batu bara) apakah memang sudah bisa digantikan dengan EBT. Jangan sampai kalau sudah di phase out tahu-tahu setelah itu krisis (energi),” jelas Herman dalam konferensi pers Energy Transition Conference di Jakarta Selatan, Rabu (18/10/2023).

Adapun, Herman juga mengungkapkan dalam mencapai target Indonesia mencapai netral emisi karbon (NZE) di tahun 2060 termasuk dnegan menggantikan sumber energi kotor dalam hal ini batu bara dengan EBT harus memperhatikan ketahanan energi terlebih dahulu di dalam negeri.

“Sebenarnya kita itu phase out batu bara yang perlu berhitung-hitung bahwa kita terpenting adalah energy security,” tambahnya.

Selain itu, Herman mengatakan untuk rencana pensiun dini PLTU, bahkan perusahaan kelistrikan dalam negeri yakni PT PLN (Persero) belum mengetahui sumber energi yang paling bisa diandalkan untuk menggantikan PLTU batu bara khususnya di Pulau Jawa.

“Ini yang perlu dipahami dengan baik dan saat ini masih dalam taraf berunding. Tapi ketika berdialog dengan PLN mereka nggak tahu juga digantikan dengan apa kalau ada phase out coal di Jawa,” tandasnya.

Seperti diketahui, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu strategi yang digenjot saat ini yakni dengan pensiun dini sumber energi dengan emisi karbon tinggi, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.

Hal ini sejalan dengan Indonesia yang harus mengurangi sebesar 290 juta ton emisi karbon di sektor kelistrikan dan menerapkan sebesar 34% bauran energi terbarukan pada tahun 2030.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih berasal dari batu bara. Persentasenya tercatat sebesar 67,21% pada 2022.

Bauran energi primer pembangkit listrik dari batu bara terpantau mengalami kenaikan pada tahun lalu. Hal itu seiring dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga uap yang naik menjadi 42,1 Giga Watt (GW).

Bauran energi primer pembangkit listrik terbesar kedua berasal dari gas. Proporsinya tercatat sebesar 15,96% pada tahun lalu. Kemudian, bauran EBT baru mencapai 14,11% pada 2022. Persentasenya mengalami kenaikan dibandingkan pada 2021 yang sebesar 13,65%.

Dengan begitu, peran batu bara sebagai bahan baku energi di Indonesia sulit tergantikan. Hal ini tentunya membuat batu bara tak tergantikan dengan adanya energi baru terbarukan (EBT).

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengungkapkan bahwa terdapat berbagai tantangan bagi Indonesia yang ingin melakukan transisi energi menggunakan EBT. Walaupun memang, potensi EBT di Indonesia terhitung cukup besar.

“Betul kita punya sumber energi baru terbarukan cukup besar begitu, tetapi juga ada beberapa problem di sana. Salah satunya adalah problem intermitensi artinya pasokannya kan tidak stabil, di fosil ini yang saya kira juga perlu disiapkan oleh pemerintah karena kan pasti butuh backup,” jelas Komaidi kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (3/10/2023).

Dia mengatakan, ada pula sumber energi terbarukan yang tidak terganjal intermitensi seperti yang bisa dimanfaatkan pada panas bumi. Sayang, kata Komaidi, sumber energi panas bumi juga memiliki keterbatasan lantaran berada di lokasi yang jauh dari pusat kegiatan masyarakat.

“Sementara panas bumi sejauh ini kan lokasinya ada di daerah-daerah remote area, ada di pegunungan yang memang secara infrastrukturnya masih belum siap, relatif belum siap dibandingkan sumber energi baru terbarukan yang lain sehingga biayanya tentu lebih besar,” tambahnya.

Dengan berbagai tantangan yang ada, Komaidi menyebutkan bahwa hal ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama semua pihak agar bisa mendorong pembiayaan yang lebih murah ke depannya.

“Nah ini yang menjadi PR kita bersama, terutama pengambil kebijakan bagaimana bisa mendorong cost structure-nya itu menjadi lebih murah nantinya ke depan,” tandasnya.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Jreng.. 14 PLTU Batu Bara RI Siap-siap ‘Disuntik Mati’

(mij/mij)

Partai

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi