Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 126/PUU-XXII/2024 terkait waktu pelaksanaan pilkada ulang di daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong. MK memutuskan pilkada ulang tersebut harus digelar paling lambat pada 27 November 2025.
“Pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak hari pemungutan suara, dan kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan berikutnya tersebut memegang masa jabatan sampai dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak berikuthya, sepanjang tidak melebihi masa waktu 5 (lima) tahun sejak pelantikan,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam pengucapan putusan dalam sidang MK di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 14 November 2024.
Baca juga: 7 Fakta Gugatan Alexander Marwata ke MK Terkait Larangan Pimpinan KPK Bertemu Pihak Berperkara
Perkara ini menguji materiil Pasal 54D UU 10 Tahun 2016. MK menyatakan bahwa frasa “pemilihan berikutnya” harus dipahami sebagai satu kesatuan waktu, yaitu paling lama satu tahun setelah pemungutan suara awal, yakni 27 November 2024.
Kepala Daerah Terpilih Berisiko Kehilangan Masa Jabatan Penuh
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyoroti kekhawatiran terkait masa jabatan kepala daerah hasil pilkada ulang yang berpotensi lebih singkat dari lima tahun. Saldi menyatakan bahwa dalam situasi ini, perlu dipikirkan perlindungan hukum berupa kompensasi untuk kepala daerah yang mengalami pengurangan masa jabatan.
“Jika pilkada ulang dilakukan paling lambat pada 27 November 2025, kepala daerah terpilih mungkin hanya menjabat kurang dari lima tahun demi menjaga keserentakan pilkada nasional 2029,” ujar Saldi.
Dampak pada Pilkada Serentak 2029
Putusan ini memberi implikasi besar pada penjadwalan pilkada serentak 2029. Dengan adanya pilkada ulang hingga akhir 2025, terjadi pergeseran masa jabatan yang dikhawatirkan dapat mengganggu keserentakan pilkada nasional lima tahun mendatang.
Ia juga menyebut opsi kompensasi, yang bisa diatur dalam bentuk tunjangan atau mekanisme lain yang disesuaikan dengan kondisi ini.
“Pengurangan masa jabatan kepala daerah hasil pilkada ulang adalah konsekuensi logis dari menjaga keserentakan di masa mendatang,” jelas Saldi.
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 126/PUU-XXII/2024 terkait waktu pelaksanaan pilkada ulang di daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong. MK memutuskan pilkada ulang tersebut harus digelar paling lambat pada 27 November 2025.
“Pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak hari pemungutan suara, dan kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan berikutnya tersebut memegang masa jabatan sampai dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak berikuthya, sepanjang tidak melebihi masa waktu 5 (lima) tahun sejak pelantikan,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam pengucapan putusan dalam sidang MK di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 14 November 2024.
Baca juga: 7 Fakta Gugatan Alexander Marwata ke MK Terkait Larangan Pimpinan KPK Bertemu Pihak Berperkara
Perkara ini menguji materiil Pasal 54D UU 10 Tahun 2016. MK menyatakan bahwa frasa “pemilihan berikutnya” harus dipahami sebagai satu kesatuan waktu, yaitu paling lama satu tahun setelah pemungutan suara awal, yakni 27 November 2024.
Kepala Daerah Terpilih Berisiko Kehilangan Masa Jabatan Penuh
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyoroti kekhawatiran terkait masa jabatan kepala daerah hasil pilkada ulang yang berpotensi lebih singkat dari lima tahun. Saldi menyatakan bahwa dalam situasi ini, perlu dipikirkan perlindungan hukum berupa kompensasi untuk kepala daerah yang mengalami pengurangan masa jabatan.
“Jika pilkada ulang dilakukan paling lambat pada 27 November 2025, kepala daerah terpilih mungkin hanya menjabat kurang dari lima tahun demi menjaga keserentakan pilkada nasional 2029,” ujar Saldi.
Dampak pada Pilkada Serentak 2029
Putusan ini memberi implikasi besar pada penjadwalan pilkada serentak 2029. Dengan adanya pilkada ulang hingga akhir 2025, terjadi pergeseran masa jabatan yang dikhawatirkan dapat mengganggu keserentakan pilkada nasional lima tahun mendatang.
Ia juga menyebut opsi kompensasi, yang bisa diatur dalam bentuk tunjangan atau mekanisme lain yang disesuaikan dengan kondisi ini.
“Pengurangan masa jabatan kepala daerah hasil pilkada ulang adalah konsekuensi logis dari menjaga keserentakan di masa mendatang,” jelas Saldi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(DHI)