Jombang (beritajatim.com) – Di banyak kota, massa turun ke jalan, menyuarakan aspirasi, namun tak jarang berakhir dengan kerusuhan dan luka sosial. Di tengah suasana yang memanas, suara dari Jombang—sebuah kota yang sejak lama dikenal sebagai pusat spiritual dan intelektual Islam—kembali menggaung.
Dari kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang, KH. Fahmi Amrullah Hadziq, cucu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, menyampaikan pesan kebangsaan. Suaranya tegas, tapi tetap menenangkan, mengajak bangsa untuk kembali pada akal sehat dan nurani.
Ia membuka dengan sebuah seruan yang mengandung peringatan mendalam. “Ingat, kedaulatan tertinggi Bangsa Indonesia ada di tangan rakyat, bukan ditangan wakilnya,” ucapnya pada Minggu (31/8/2025).
Kiai Fahmi tidak sekadar bicara, ia menuturkan lima imbauan yang ia sebut sebagai jalan keselamatan bangsa.
Kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, ia meminta agar kebijakan yang menambah beban masyarakat segera dicabut. Menurutnya, di tengah ekonomi yang lesu, rakyat butuh ketenangan, bukan aturan yang menekan. Dari Jombang, pesan itu mengalir ke Jakarta, seolah menjadi pengingat bahwa kepemimpinan tertinggi adalah merawat harapan rakyat kecil.
Kepada para anggota DPR RI, nada kritik terdengar lebih tajam. Kiai Fahmi meminta mereka meminta maaf kepada rakyat, membatalkan kenaikan gaji dan tunjangan, serta menjaga ucapan agar tidak melukai hati orang-orang yang mereka wakili. Kritik itu lahir dari keresahan publik—sebuah penolakan terhadap jarak yang makin lebar antara rakyat dengan wakilnya.
Pesan ketiga ia tujukan kepada seluruh elemen bangsa. Demonstrasi, kata dia, memang hak rakyat. Namun ketika protes berubah menjadi anarki, menjarah, membakar, maka di situlah demokrasi ternodai. “Lakukan demonstrasi dengan tertib dan santun. Jangan nodai demokrasi dengan tindakan-tindakan kriminal,” begitu imbauannya.
Keempat, kepada aparat keamanan TNI dan Polri, ia berpesan untuk tegas menindak pelaku kriminal, tetapi juga wajib melindungi masyarakat yang menyampaikan aspirasi secara damai. Menurutnya, aparat keamanan harus ditempatkan sebagai sahabat rakyat, bukan musuh.
Dan akhirnya, kepada seluruh bangsa Indonesia, khususnya warga Nahdlatul Ulama, ia menyerukan doa dan istighosah. Di balik seruan politiknya, terselip keyakinan spiritual bahwa doa kolektif mampu mengubah keadaan. Di pesantren-pesantren, di masjid-masjid kecil hingga surau kampung, doa itu kini mungkin tengah bergema, mengikat persaudaraan di tengah ujian bangsa.
Pesan dari Jombang ini bukan sekadar imbauan formal. Ia lahir dari tradisi panjang para ulama Nusantara yang selalu hadir di setiap titik genting sejarah. Di masa lalu, Tebuireng menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme. Kini, dari tempat yang sama, lahir seruan moral agar bangsa tidak tergelincir dalam pertikaian.
Di luar sana, demonstrasi mungkin masih berlangsung. Spanduk-spanduk perlawanan masih terbentang. Namun suara dari Jombang seakan menegaskan: bangsa ini akan selamat bukan dengan amarah, melainkan dengan kebijaksanaan, dengan keberanian berkata benar, dan dengan doa yang tak pernah putus. [suf]
