Perusahaan RI Ngebet Adopsi Agen AI, Sayang Fondasi Belum Siap

Perusahaan RI Ngebet Adopsi Agen AI, Sayang Fondasi Belum Siap

Bisnis.com, JAKARTA — Cisco mengeluarkan laporan AI Readiness Index yang mengungkap ambisi perusahaan di Indonesia untuk mendekatkan agen kecerdasan buatan (AI) dalam pekerjaan sehari-hari karyawannya tahun depan tidak berjalan mulus akibat infrastruktur pendukung yang kurang siap.

Cisco AI Readiness Index adalah studi global yang melibatkan 8.000 pemimpin IT senior yang bertanggung jawab atas strategi AI di organisasi, dengan lebih dari 500 karyawan di 26 industri. Salah satu negara yang menjadi obyek studi tersebut adalah Indonesia.

Khusus di Indonesia, masalah utama dalam implementasi AI adalah kesiapan yang kurang matang di tengah ambisi besar.  

Index ini menunjukkan bahwa 97% organisasi di Indonesia berencana menerapkan agen AI, dan hampir 45% mengharapkan agen AI tersebut akan bekerja berdampingan dengan karyawan di tahun depan. Namun bagi mayoritas perusahaan-perusahaan tersebut, agen AI tidak dapat diterapkan karena fondasi perusahaan yang lemah.

Cisco menyebut sistem perusahaan nyaris tidak mampu menangani AI reaktif berbasis tugas, apalagi sistem AI nantinya berpikir, bertindak secara otonom, dan belajar terus-menerus. Fondasi infrastruktur jaringan diakui belum cukup matang. 

“Sebanyak 29% responden mengatakan jaringan mereka tidak bisa ditingkatkan untuk mengatasi kompleksitas atau volume data, dan hanya 27% yang menyebutkan bahwa jaringan mereka fleksibel atau bisa beradaptasi,” kata Country Leader Interim Cisco Indonesia Sheldon Chen, Rabu (15/10/2025).

Sheldon mengatakan meski demikian, kondisi tersebut tidak berlaku bagi Pacesetters, kelompok yang menjadikan AI sebagai bagian bisnis bukan sampingan. Pendekatan mereka yang disiplin dan sistematis  membantu membangun fondasi untuk adopsi AI.

Sheldon mengatakan secara menyeluruh, perusahaan-perusahaan yang siap memanfaatkan AI, yaitu para Pacesetters, telah membuktikan hal ini. Mereka tiga kali lebih mungkin untuk membawa uji coba AI ke tahap produksi/implementasi penuh, dan 20% lebih mungkin untuk mendapatkan nilai yang terukur.

“Ketika banyak organisasi berupaya menerapkan agen AI, kesuksesan mereka tergantung pada kesiapan, disiplin dan tindakan mereka,” kata Sheldon.

Riset Cisco juga mengungkap hampir semua perusahaan dalam kategori Pacesetters ini (99%) di tingkat global sudah memiliki peta jalan AI yang jelas (vs 78% di Indonesia) dan 91% (vs 51% di Indonesia) memiliki rencana manajemen perubahan.

Anggaran sesuai dengan tujuan, dengan 79% menjadikan AI sebagai prioritas investasi teratas (vs 37% di Indonesia) dan 96% dengan strategi pendanaan jangka pendek dan panjang (vs 69% di Indonesia).

Mereka mendesain infrastruktur untuk era AI yang terus-menerus aktif. 71% dari Pacesetters di tingkat global mengatakan bahwa jaringan mereka yang sepenuhnya fleksibel dan bisa segera ditingkatkan untuk proyek AI apa pun (vs 27% di Indonesia), dan 77% berinvestasi di pusat data dengan kapasitas baru dalam 12 bulan mendatang (vs 55% di Indonesia)

Di tingkat global, 62% memiliki proses inovasi yang matang dan bisa diulangi untuk menghasilkan dan meningkatkan kasus penggunaan AI (vs 19% secara keseluruhan di Indonesia), dan tiga perempat (77%) sudah merampungkan kasus penggunaan tersebut (vs 26% di Indonesia) 

“Para Pacesetters mendapatkan hasil yang lebih luas dibandingkan rekan-rekannya karena pendekatan ini: di tingkat global, 90% melaporkan peningkatan dalam profitabilitas, produktivitas, dan inovasi, dibandingkan dengan 81% secara keseluruhan di Indonesia,” kata Sheldon.