Pernyataan Mantan Ketua KPK soal Dugaan Intervensi Presiden Perlu Didalami

3 December 2023, 12:55

PENELITI Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Zaenur Rohman mengatakan pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo perlu didalami untuk melihat ada atau tidaknya intervensi dari presiden. Agus mengaku diminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi KTP-elektronik atau KTP-E.

Zaenur menjelaskan tidak ada satupun pihak atau pejabat yang berwenang meminta penghentian perkara. Jika ada pihak yang melakukan ini, bahkan diikuti dengan perbuatan yang mengganggu jalannya penyidikan, menurutnya itu bisa masuk kategori obstruction of justice atau merintangi penyidikan.

“Pasal 21 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diatur soal perbuatan merintangi penyidikan. Memang harus dibuat clear dahulu. Apakah permintaan (Jokowi) tersebut diiringi dengan upaya-upaya merintangi penyidikan, kalau ada itu merupakan sebuah tindak pidana,” terang Zaenur ketika dihubungi, Minggu (3/12).

Baca juga: ILDES: Ungkapan Agus Rahardjo Rentan Terjerat Pasal UU ITE

Zaenur menambahkan apabila permintaan tersebut memang untuk menghentikan sebuah perkara yakni kasus korupsi KTP-E, hal itu bisa dianggap bentuk intervensi nyata dari presiden pada KPK.

Seperti diberitakan, Agus Rahardjo mengungkapkan dalam sebuah wawancara yang disiarkan stasiun TV swasta, bahwa ia dipanggil Presiden Jokowi ke istana dan diminta menghentikan perkara korupsi KTP-E yang menjerat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu Setya Novanto. Namun, KPK tetap melanjutkan perkara tersebut. Agus merasa kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-undang KPK dari UU No.3/2002 menjadi UU No.19/2019.

Baca juga: Presiden Diminta Terbuka tentang Intervensinya kepada KPK

Menanggapi itu, Zaenur sepakat bahwa revisi UU KPK membuat lembaga anti-rasuah itu tidak lagi independen. Padahal, sambung Zaenur, KPK merupakan lembaga negara yang seharusnya bersifat independen dan tidak tunduk pada kekuasaan manapun. Revisi UU KPK, menurut Zaenur merupakan awal mula persoalan dari berbagai masalah yang dialami KPK saat ini.

“Ketika berhasil melakukan revisi UU, KPK sudah tunduk berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif dan eksekutif punya instrumen untuk melakukan intervensi terhadap KPK,” terang Zaenur.

Dari sana, menurut Zaenur KPK periode 2019-2024 mulai dipenuhi masalah antara lain pelanggaran kode etik pimpinan, perkara – perkara di KPK dianggap mencurigakan, dianggap tidak bebas dari politisasi, serta berujung pada penetapan Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri sebagai tersangka dugaan pemerasan. “Itu karena masuknya orang-orang bermasalah melalui seleksi pimpinan KPK ketika itu (2019),” papar Zaenur.

Permasalahan di KPK, terang Zarnur, menunjukkan bahwa dalam carut-marutnya pemberantasan korupsi, ada andil besar dari kekuasaan yang tidak berpihak pada pemberantasan korupsi.

Hasilnya, imbuh Zaenur, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022, ada pada skor 34. Menurutnya sama persis seperti pada 2014 ketika Presiden Jokowi menjabat. Dengan kata lain, ujar Zaenur, Selama 9 tahun, tidak ada progres dalam pemberantasan korupsi.

“Elit-elit politik harus punya komitmen mengembalikan independensi KPK, caranya merevisi kembali UU KPK. Memberikan sumber daya pada KPK dan mereposisi diri. (Pemilu) 2024 menjadi kesempatan bagi Indonesia karena ada pergantian kepemimpinan nasional,” tukasnya.

Di sisi lain, seperti diberitakan, sejumlah anggota dan pimpinan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewacanakan akan meminta keterangan Agus Rahardjo terkait pernyataannya soal permintaan Presiden Jokowi menghentikan kasus korupsi KTP-E. (Z-3)

PENELITI Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Zaenur Rohman mengatakan pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo perlu didalami untuk melihat ada atau tidaknya intervensi dari presiden. Agus mengaku diminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi KTP-elektronik atau KTP-E.

Zaenur menjelaskan tidak ada satupun pihak atau pejabat yang berwenang meminta penghentian perkara. Jika ada pihak yang melakukan ini, bahkan diikuti dengan perbuatan yang mengganggu jalannya penyidikan, menurutnya itu bisa masuk kategori obstruction of justice atau merintangi penyidikan.

“Pasal 21 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diatur soal perbuatan merintangi penyidikan. Memang harus dibuat clear dahulu. Apakah permintaan (Jokowi) tersebut diiringi dengan upaya-upaya merintangi penyidikan, kalau ada itu merupakan sebuah tindak pidana,” terang Zaenur ketika dihubungi, Minggu (3/12).

Baca juga: ILDES: Ungkapan Agus Rahardjo Rentan Terjerat Pasal UU ITE 

Zaenur menambahkan apabila permintaan tersebut memang untuk menghentikan sebuah perkara yakni kasus korupsi KTP-E, hal itu bisa dianggap bentuk intervensi nyata dari presiden pada KPK.

Seperti diberitakan, Agus Rahardjo mengungkapkan dalam sebuah wawancara yang disiarkan stasiun TV swasta, bahwa ia dipanggil Presiden Jokowi ke istana dan diminta menghentikan perkara korupsi KTP-E yang menjerat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu Setya Novanto. Namun, KPK tetap melanjutkan perkara tersebut. Agus merasa kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-undang KPK dari UU No.3/2002 menjadi UU No.19/2019.

Baca juga: Presiden Diminta Terbuka tentang Intervensinya kepada KPK

Menanggapi itu, Zaenur sepakat bahwa revisi UU KPK membuat lembaga anti-rasuah itu tidak lagi independen. Padahal, sambung Zaenur, KPK merupakan lembaga negara yang seharusnya bersifat independen dan tidak tunduk pada kekuasaan manapun. Revisi UU KPK, menurut Zaenur merupakan awal mula persoalan dari berbagai masalah yang dialami KPK saat ini.

“Ketika berhasil melakukan revisi UU, KPK sudah tunduk berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif dan eksekutif punya instrumen untuk melakukan intervensi terhadap KPK,” terang Zaenur.

Dari sana, menurut Zaenur KPK periode 2019-2024 mulai dipenuhi masalah antara lain pelanggaran kode etik pimpinan, perkara – perkara di KPK dianggap mencurigakan, dianggap tidak bebas dari politisasi, serta berujung pada penetapan Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri sebagai tersangka dugaan pemerasan. “Itu karena masuknya orang-orang bermasalah melalui seleksi pimpinan KPK ketika itu (2019),” papar Zaenur.

Permasalahan di KPK, terang Zarnur, menunjukkan bahwa dalam carut-marutnya pemberantasan korupsi, ada andil besar dari kekuasaan yang tidak berpihak pada pemberantasan korupsi.

Hasilnya, imbuh Zaenur, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022, ada pada skor 34. Menurutnya sama persis seperti pada 2014 ketika Presiden Jokowi menjabat. Dengan kata lain, ujar Zaenur, Selama 9 tahun, tidak ada progres dalam pemberantasan korupsi.

“Elit-elit politik harus punya komitmen mengembalikan independensi KPK, caranya merevisi kembali UU KPK. Memberikan sumber daya pada KPK dan mereposisi diri. (Pemilu) 2024 menjadi kesempatan bagi Indonesia karena ada pergantian kepemimpinan nasional,” tukasnya.

Di sisi lain, seperti diberitakan, sejumlah anggota dan pimpinan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewacanakan akan meminta keterangan Agus Rahardjo terkait pernyataannya soal permintaan Presiden Jokowi menghentikan kasus korupsi KTP-E. (Z-3)

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi