Perang Saudara Tetangga RI Makin Ngeri, Militer Pecah

26 January 2024, 17:05

Jakarta, CNBC Indonesia – Situasi di wilayah Myanmar terus menerus memanas. Setelah mulai banyak pihak yang memutuskan untuk mengkritik atau melawan junta militer yang berkuasa, kali ini perpecahan muncul di kalangan aparatur negara .
Komandan Pasukan Perbatasan wilayah Kayin, Kolonel Saw Chit Thu, mengatakan Pasukan Penjaga Perbatasan (BGF) yang berafiliasi dengan junta, tidak akan lagi bertanggung jawab kepada militer. Figur beretnis Karen itu juga menyatakan netralitas BGF dalam perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan junta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Sudah 30 tahun masyarakat Karen saling berperang dan membunuh. Jika kami terus menerima dukungan dari junta, kami harus terus menjalankan tugas tentara di bawah bimbingannya,” ujarnya dikutip Radio Free Asia (RFA), Jumat (26/1/2024).
“Bagi kami gaji bukan yang utama, tapi hidup damai,” tegasnya.
Myanmar berada dalam perang saudara sejak junta militer pimpinan Min Aung Hlaing mengkudeta pemerintahan sipil pada Februari 2021. Kudeta, yang terjadi pada bulan Februari 2021 memicu reaksi publik yang besar, dengan demonstrasi besar-besaran yang menolaknya, yang kemudian dibubarkan secara brutal.
Ini kemudian memicu reaksi keras dari beberapa milisi etnis di Negeri Seribu Pagoda. Mereka mulai melancarkan perlawanan terhadap rezim junta yang dianggap tidak demokratis.
Di sisi lain, pengumuman Saw Chit Thu muncul setelah pihaknya menarik sekitar 300 tentara BGF dari pangkalan militer yang digunakan bersama dengan pasukan junta di dekat perbatasan dengan Thailand.
Kolonel tersebut mengawasi 13 batalyon dengan lebih dari 7.200 tentara di Kayin dan negara bagian Mon yang berdekatan, berkuasa atas perbatasan dengan Thailand dan Zona Ekonomi Khusus Yatai Shwe Kokko yang didukung China.
Pengamat dan analis politik mengatakan pembelotan ini telah menggembosi kekuatan junta. Hla Kyaw Zaw, seorang analis politik yang berbasis di China, mengatakan keputusan tersebut merupakan revolusi damai melawan junta.
Hla menambahkan hal ini berdasarkan fakta bahwa Saw Chit Thu pernah bertemu dengan wakil pemimpin junta, Letnan Jenderal Soe Min, terkait masalah ini. Soe ataupun junta hingga saat ini belum merespon langkah Swas dan BGF.
“Militer tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Itu sebabnya mereka meninggalkan pembicaraan. Mereka tidak berani mengatakan bahwa mereka akan melawan, atau bahwa mereka akan mengizinkan perpisahan,” paparnya.
Meski begitu, komentator politik Than Soe Naing mempertanyakan niat dari BGF. Menurutnya, pihak tersebut tidak dapat hanya bisa netral dan pada akhirnya akan terpaksa untuk memihak.
“Jika kartunya ditumpuk melawan junta, maka mereka akan bergabung dengan KNU (milisi pemberontak Karen), tetapi jika sebaliknya, mereka akan kembali bekerja sama dengan junta dan terus menjadi Pasukan Penjaga Perbatasan.”
Junta Mulai Kalah
Kekuatan militer Myanmar pun juga akhir-akhir ini dipertanyakan lantaran beberapa kekalahan. Seorang blogger terkemuka baru-baru ini menyebut Min Aung Hlaing “tidak kompeten”, dan mengatakan Myanmar telah mengalami kerugian yang sangat besar dalam sejarah, sehingga Min harus mundur.
Kerugian yang maksud adalah luasnya wilayah di Negara Bagian Shan Utara yang direbut oleh pemberontak dari Aliansi Persaudaraan, tiga kelompok etnis yang kini menguasai sebagian besar perbatasan dengan China. Mereka telah mengunggah video yang menunjukkan pasukan yang basah kuyup dan berseragam lusuh dibawa pergi dengan tangan diborgol, dan sejumlah besar senjata dan amunisi yang disita disimpan dalam jumlah besar.
Karena tidak dapat mengamankan jalan dari penyergapan, militer mengandalkan jumlah helikopter yang terbatas untuk memasok kembali pangkalan-pangkalan yang dikepung, dan melakukan serangan udara sehingga menyebabkan banyak korban sipil. Pemberontak di Negara Bagian Kachin mengatakan mereka telah menembak jatuh satu helikopter dan satu jet tempur bulan ini.
Di sisi lain, ratusan orang memilih mengungsi ke perbatasan ke India dan ribuan pendukung Min Aung Hlaing telah menyerah tanpa perlawanan. Enam jenderal militer yang dikalahkan di Negara Bagian Shan difoto setelahnya sedang bersulang dengan para penculiknya, dan tampak lebih lega daripada terhina.
Setelah diserahkan kembali ke tentara, tiga dari mereka dijatuhi hukuman mati, dan tiga lainnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Ini diprediksi dilakukan untuk dapat menghalangi militer lain untuk menyerah.
Kantor berita BBC menyatakan keadaan seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam 75 tahun sejarah kampanye militer Myanmar melawan pemberontak. Moral di jajaran telah jatuh. Perekrutan dalam kondisi seperti ini terbukti sulit.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Pemberontakan di Tetangga RI Memanas, Militer Mulai Kewalahan

(sef/sef)

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi