Peran Penting Kolegium Kedokteran Spesialis yang tak Mungkin Dimungkiri

28 November 2023, 5:00

SEBAGAIMANA kita ketahui, UU 17/2023 mengusung model pendidikan dokter spesialis yang tidak berbasis universitas seperti yang berlangsung selama ini. Apa pun namanya, hospital based atau collegium based, pendidikan dokter spesialis model yang digagas menteri kesehatan itu sejatinya sudah pernah terjadi di negeri ini sekitar 50-60 tahun yang lalu.

Saat itu, terbatasnya jumlah dokter spesialis, belum adanya kolegium bidang ilmu, serta belum adanya standar-standar terkait pendidikan dan kompetensi seperti sekarang ini, model pendidikan amat bergantung pada keilmuan dan kehendak ‘guru’ di setiap RS/pusat pendidikan. Terkait dengan ujian dan kelulusan tentu saja ditentukan sang guru di setiap RS masing-masing, tidak ada ujian nasional yang terstandar seperti saat ini.

Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan spesialis dan membuatnya lebih terstandardisasi terus-menerus dilakukan berdasar atas best practices di banyak negara maju. Pembentukan pelbagai kolegium bidang ilmu di mulai awal 1990-an oleh Perhimpunan Ahli Bedah (IKABI), dan diikuti perhimpunan-perhimpunan lain, termasuk Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) pada 1996.

Adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dihapus ataupun diputarbalikkan begitu saja, bahwa kolegium bidang ilmu atau kolegium dokter spesialis ialah sebuah lembaga independen/mandiri (self regulating body) yang dibentuk Organisasi Profesi Spesialis untuk menjaga baku mutu pendidikan, kompetensi, sampai pada praktik dokter spesialis.

Pada Muktamar IDI 2000 di Malang, disepakati pembentukan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) sebagai induk dari semua kolegium bidang ilmu dan merupakan badan otonom dalam kepengurusan Pengurus Besar (PB) IDI, selain MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dan MPPK (Majelis Pengembangan Praktik Kedokteran). Dalam wadah MKKI inilah, diselesaikan dan dilakukan harmonisasi kompetensi banyak bidang spesialisasi yang saling beririsan/overlapping.

Sesuai dengan UU No 29/2004 Pasal 1 butir 13, kolegium ialah badan otonom yang dibentuk Organisasi Profesi (OP) untuk setiap cabang disiplin ilmu, yang bertugas mengampu pendidikan bidang ilmu tersebut. Kolegium memiliki tugas utama untuk menjaga baku mutu pendidikan profesi dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis.

Keanggotaan kolegium ialah para guru besar bidang ilmu tersebut dan para pengelola pendidikan bidang ilmu yang terdiri atas ketua program studi dan ketua departemen/institusi pendidikan dokter spesialis terkait. Keberadaan kolegium juga mengacu pada UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, yang menyebut fakultas kedokteran sebagai penyelenggara program pendidikan bersama, dengan rumah sakit pendidikan berkoordinasi dengan kolegium sebagai bagian dari organisasi profesi.

Jelas terlihat di sini adanya pengakuan negara atas peran kelompok masyarakat terpelajar, yaitu Perhimpunan Dokter Spesialis yang telah memilih yang paling terpelajar di antara mereka, yaitu para guru besar bidang ilmu untuk mengampu dan mengembangkan pendidikan spesialis tersebut.

Rasanya tidak mungkin dibantah bahwa kelompok guru besar bidang ilmu inilah yang paling pantas mengampu dan mengelola pendidikan spesialis, tidak mungkin digantikan bahkan oleh presiden sekalipun, apalagi seorang menteri kesehatan yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran.

Sejarah ialah rangkaian peristiwa yang sudah terjadi dan punya andil besar atas apa yang kita capai saat ini. Proklamasi Kemerdekaan 1945 oleh Soekarno-Hatta tidak akan terjadi tanpa kehadiran para founding fathers yang tergabung dalam BPUPKI, atau kehadiran penjajah Jepang yang membentuk dan melatih pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Sejarah ini tidak bisa ditolak atau dinegasikan, bahkan melalui undang-undang yang kehadirannya dipaksakan.

Mengerdilkan peran kelompok terpelajar

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU 17/2023 Pasal 732 butir 1 menyatakan untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan, kelompok ahli tiap disiplin ilmu kesehatan dapat membentuk kolegium.

Pasal 733 menyatakan kolegium bertanggung jawab kepada menkes melalui konsil. Pasal 734 butir 1 menyatakan kolegium diangkat dan diberhentikan menkes, dan pada butir 3 disebutkan keanggotaan kolegium dipilih melalui seleksi oleh panitia seleksi yang ditunjuk menkes.

Lagi-lagi terlihat upaya untuk mengerdilkan peran dari kelompok terpelajar dalam civil society, yaitu perhimpunan dokter spesialis dan para guru besar bidang ilmu dan menggantikannya dengan para petugas menkes. Sebuah pola pikir yang naif dan kembali ke zaman jahiliah, sebagaimana 50-60 tahun yang lalu. Apa pun maksud dan tujuan yang melandasi, tampak kasatmata bahwa UU 17/2023 dan RPP-nya berusaha menegasikan dan memutarbalikkan fakta sejarah bahwa kolegium bidang ilmu itu dibentuk oleh dan berakar dari setiap perhimpunan dokter spesialis.

Para guru besar bidang ilmu yang terhimpun dalam pelbagai kolegium ilmu kedokteran dan kesehatan tersebut, selama ini secara mandiri dan independen telah menyusun berbagai standar pendidikan, standar kompetensi, sampai standar praktik profesi spesialis dan subspesialis yang mengikuti perkembangan global, tapi tetap menampung kearifan lokal.

Seluruh standar-standar itu, bahkan telah disahkan konsil kedokteran Indonesia dan tertuang dalam lembaran negara RI.

Semua itu dilakukan demi kepentingan ilmu kedokteran dan demi menghasilkan dokter-dokter spesialis yang selain berkompeten dalam bidang spesialisasinya, juga memiliki etika profesi yang luhur dan selalu mengutamakan keselamatan pasien.

Jadi, sesungguhnya, para guru besar yang ada dalam berbagai kolegium bidang ilmu tersebut melakukan peran dan tugas konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun kesejahteraan bagi semua. Mereka bekerja secara tulus dan sukarela, bahkan tanpa menggunakan anggaran negara maupun makan gaji pemerintah, baik dari Kemendikbud-Ristek maupun Kemenkes.

Saat ini, dalam wadah MKKI setidaknya ada 38 kolegium bidang ilmu yang semua anggotanya ialah orang-orang yang terpilih dari setiap perhimpunan dokter spesialis, yang dianggap paling mampu dan credible dalam mengampu pendidikan spesialis.

UU No 17/2023 serta RPP-nya, Pasal 733 dan 734, hendak menggantikan mereka, para putra terbaik bangsa dalam setiap bidang spesialis tersebut, dengan para petugas menkes yang bekerja dan bertanggung jawab kepada menkes, dengan kriteria yang tidak jelas.

Bisa jadi inilah kedunguan terbesar yang akan menjadi awal kemunduran dan porak-porandanya sistem pendidikan dokter spesialis yang sudah baik saat ini kembali ke model home schooling (Https://m.mediaindonesia.com/opini/628479/pendidikan-dokter-spesialis-bukan-home-schooling) seperti yang pernah kita alami 50-60 tahun yang lalu. Tentu saja langkah dungu itu akhirnya akan mengorbankan hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan spesialistik yang berkualitas dan terjangkau.

SEBAGAIMANA kita ketahui, UU 17/2023 mengusung model pendidikan dokter spesialis yang tidak berbasis universitas seperti yang berlangsung selama ini. Apa pun namanya, hospital based atau collegium based, pendidikan dokter spesialis model yang digagas menteri kesehatan itu sejatinya sudah pernah terjadi di negeri ini sekitar 50-60 tahun yang lalu.

Saat itu, terbatasnya jumlah dokter spesialis, belum adanya kolegium bidang ilmu, serta belum adanya standar-standar terkait pendidikan dan kompetensi seperti sekarang ini, model pendidikan amat bergantung pada keilmuan dan kehendak ‘guru’ di setiap RS/pusat pendidikan. Terkait dengan ujian dan kelulusan tentu saja ditentukan sang guru di setiap RS masing-masing, tidak ada ujian nasional yang terstandar seperti saat ini.

Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan spesialis dan membuatnya lebih terstandardisasi terus-menerus dilakukan berdasar atas best practices di banyak negara maju. Pembentukan pelbagai kolegium bidang ilmu di mulai awal 1990-an oleh Perhimpunan Ahli Bedah (IKABI), dan diikuti perhimpunan-perhimpunan lain, termasuk Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) pada 1996.

Adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dihapus ataupun diputarbalikkan begitu saja, bahwa kolegium bidang ilmu atau kolegium dokter spesialis ialah sebuah lembaga independen/mandiri (self regulating body) yang dibentuk Organisasi Profesi Spesialis untuk menjaga baku mutu pendidikan, kompetensi, sampai pada praktik dokter spesialis.

Pada Muktamar IDI 2000 di Malang, disepakati pembentukan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) sebagai induk dari semua kolegium bidang ilmu dan merupakan badan otonom dalam kepengurusan Pengurus Besar (PB) IDI, selain MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dan MPPK (Majelis Pengembangan Praktik Kedokteran). Dalam wadah MKKI inilah, diselesaikan dan dilakukan harmonisasi kompetensi banyak bidang spesialisasi yang saling beririsan/overlapping.

Sesuai dengan UU No 29/2004 Pasal 1 butir 13, kolegium ialah badan otonom yang dibentuk Organisasi Profesi (OP) untuk setiap cabang disiplin ilmu, yang bertugas mengampu pendidikan bidang ilmu tersebut. Kolegium memiliki tugas utama untuk menjaga baku mutu pendidikan profesi dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis.

Keanggotaan kolegium ialah para guru besar bidang ilmu tersebut dan para pengelola pendidikan bidang ilmu yang terdiri atas ketua program studi dan ketua departemen/institusi pendidikan dokter spesialis terkait. Keberadaan kolegium juga mengacu pada UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, yang menyebut fakultas kedokteran sebagai penyelenggara program pendidikan bersama, dengan rumah sakit pendidikan berkoordinasi dengan kolegium sebagai bagian dari organisasi profesi.

Jelas terlihat di sini adanya pengakuan negara atas peran kelompok masyarakat terpelajar, yaitu Perhimpunan Dokter Spesialis yang telah memilih yang paling terpelajar di antara mereka, yaitu para guru besar bidang ilmu untuk mengampu dan mengembangkan pendidikan spesialis tersebut.

Rasanya tidak mungkin dibantah bahwa kelompok guru besar bidang ilmu inilah yang paling pantas mengampu dan mengelola pendidikan spesialis, tidak mungkin digantikan bahkan oleh presiden sekalipun, apalagi seorang menteri kesehatan yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran.

Sejarah ialah rangkaian peristiwa yang sudah terjadi dan punya andil besar atas apa yang kita capai saat ini. Proklamasi Kemerdekaan 1945 oleh Soekarno-Hatta tidak akan terjadi tanpa kehadiran para founding fathers yang tergabung dalam BPUPKI, atau kehadiran penjajah Jepang yang membentuk dan melatih pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Sejarah ini tidak bisa ditolak atau dinegasikan, bahkan melalui undang-undang yang kehadirannya dipaksakan.

 

Mengerdilkan peran kelompok terpelajar

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU 17/2023 Pasal 732 butir 1 menyatakan untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan, kelompok ahli tiap disiplin ilmu kesehatan dapat membentuk kolegium.

Pasal 733 menyatakan kolegium bertanggung jawab kepada menkes melalui konsil. Pasal 734 butir 1 menyatakan kolegium diangkat dan diberhentikan menkes, dan pada butir 3 disebutkan keanggotaan kolegium dipilih melalui seleksi oleh panitia seleksi yang ditunjuk menkes.

Lagi-lagi terlihat upaya untuk mengerdilkan peran dari kelompok terpelajar dalam civil society, yaitu perhimpunan dokter spesialis dan para guru besar bidang ilmu dan menggantikannya dengan para petugas menkes. Sebuah pola pikir yang naif dan kembali ke zaman jahiliah, sebagaimana 50-60 tahun yang lalu. Apa pun maksud dan tujuan yang melandasi, tampak kasatmata bahwa UU 17/2023 dan RPP-nya berusaha menegasikan dan memutarbalikkan fakta sejarah bahwa kolegium bidang ilmu itu dibentuk oleh dan berakar dari setiap perhimpunan dokter spesialis.

Para guru besar bidang ilmu yang terhimpun dalam pelbagai kolegium ilmu kedokteran dan kesehatan tersebut, selama ini secara mandiri dan independen telah menyusun berbagai standar pendidikan, standar kompetensi, sampai standar praktik profesi spesialis dan subspesialis yang mengikuti perkembangan global, tapi tetap menampung kearifan lokal.

Seluruh standar-standar itu, bahkan telah disahkan konsil kedokteran Indonesia dan tertuang dalam lembaran negara RI.

Semua itu dilakukan demi kepentingan ilmu kedokteran dan demi menghasilkan dokter-dokter spesialis yang selain berkompeten dalam bidang spesialisasinya, juga memiliki etika profesi yang luhur dan selalu mengutamakan keselamatan pasien.

Jadi, sesungguhnya, para guru besar yang ada dalam berbagai kolegium bidang ilmu tersebut melakukan peran dan tugas konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun kesejahteraan bagi semua. Mereka bekerja secara tulus dan sukarela, bahkan tanpa menggunakan anggaran negara maupun makan gaji pemerintah, baik dari Kemendikbud-Ristek maupun Kemenkes.

Saat ini, dalam wadah MKKI setidaknya ada 38 kolegium bidang ilmu yang semua anggotanya ialah orang-orang yang terpilih dari setiap perhimpunan dokter spesialis, yang dianggap paling mampu dan credible dalam mengampu pendidikan spesialis.

UU No 17/2023 serta RPP-nya, Pasal 733 dan 734, hendak menggantikan mereka, para putra terbaik bangsa dalam setiap bidang spesialis tersebut, dengan para petugas menkes yang bekerja dan bertanggung jawab kepada menkes, dengan kriteria yang tidak jelas.

Bisa jadi inilah kedunguan terbesar yang akan menjadi awal kemunduran dan porak-porandanya sistem pendidikan dokter spesialis yang sudah baik saat ini kembali ke model home schooling (Https://m.mediaindonesia.com/opini/628479/pendidikan-dokter-spesialis-bukan-home-schooling) seperti yang pernah kita alami 50-60 tahun yang lalu. Tentu saja langkah dungu itu akhirnya akan mengorbankan hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan spesialistik yang berkualitas dan terjangkau.

 

 

Tokoh

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi